Tampilkan postingan dengan label tentang cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang cinta. Tampilkan semua postingan


Pagi masih berpalut kabut ketika renda-renda awan bergelombang seperti rindu di hati.
Kemudian seperti genderang tertabuh detik-detik waktu terus menghunjam tanpa ampun.
Seperti sepasang burung terbang rendah menggapai harapan kecil yang sederhana.
Di permukaan bening itu terpantul cahaya keheningan yang tidak lagi sempurna.

Semburat jingga di angkasa mengingatkanku kepada rona merah di pipimu.
Gerimis yang kemarin tak lagi hadir seandainya angin bertiup seperti sedia kala.
Jangan kauhiraukan lambaian luka di dalam mimpi, keruhkanlah dengan kelabu.
Hanya sedikit pedih menanti gerhana hati berlalu sambil bersenandung rindu.


Aku masih meregangkan keangkuhan di tengah pedihnya duri yang menancap di dada. Masih setega itu kau membuka diri untuk dihinggapi kekejaman itu? Lalu dimanakah kausimpan cintamu padaku di saat itu? Aku sungguh tidak percaya dan tidak terima ini semua.

Engkau telah berguru kepada keledai dungu itu selama bertahun-tahun, maka kinipun kau tak lagi bisa membedakan kasih sayang dengan kekejaman. Bagaimana bisa, ketika kau sudah dihempaskan, diludahi, dihina, dan disiksa, lalu kaubalas dengan tempat teduh yang berisikan kasih sayang itu?

Dari dulupun aku hanyalah angin yang jauh. Yang berhembus tak tentu arah dan waktu. Hanya terkadang mampu terbang menghampiri di saat masih cukup tenaga dan waktu. Begitu juga dengan hujan, di saat musimnya tidak datang, akupun hanya bisa diam. Menunggu dan bersabar.

Masih embun pagi jugalah aku. Bening, kosong, tercerai-berai dari luapan rindu yang menggumpal. Tapi akan selalu membeku selama kehangatan itu tidak pernah terbit. Hanya hujan yang terus berbicara. Seperti tangismu. Terisak dalam kegetiran.

Lautan masih bergelombang ketika serpihan rindu itu beradu dan semakin menyatu. Bergumpal di permukaan dan menelusuri lekuk-lekuk hingga pedalaman. Menciptakan sensasi keinginan untuk bertemu dan mencairkan kembali gumpalan bermuatan gairah itu melalui sentuhan-sentuhan cinta.

Akhir-akhir ini aku lebih suka menyepi. Sendiri dalam hamparan khayalan. Menatap pemandangan di sebalik pelupuk mataku dan menciptakan kenyataan semu demi sebuah keindahan sesaat. Walau radang dalam rongga dada ini semakin tak bisa ditahan lagi, tapi semakin aku merasa tidak punya daya meraih harapan itu. Maka sebaiknya aku menunggui detik waktu, sambil terus menghitung hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan seterusnya. Karena aku yakin, kereta cinta akan segera menjemputku untuk menemui harapan itu, dimana pernah aku titipkan sebagian dari hati ini disana.

***

Sebagian harapan itupun terpercik. Kenangan tercipta walau tak sempurna tertulis di dalam catatanku. Kupeluk dahan-dahan kerinduan dan kupanjat ketinggian hasrat. Seperti biasa, akupun menemukan seonggok cinta yang beradu dalam desah nafas dan deru dendam kerinduan.

Lalu kutuliskan kenangan, tentang mengapa hanya ada kebersamaan yang bisa mengijinkan kerinduan itu mencair, mengalir dan menggenangi relung-relung yang dalam. Sehingga bisa dibayangkan betapa tersiksanya ketika kebekuan tergumpal sesak menggelayut di rongga dada.

Lalu kembali kupeluk ranting-ranting yang tersisa, dan kupanjat ketinggian hasrat untuk kedua kalinya. Kembali, akupun menemukan seonggok cinta yang terbuai di sebalik lagu merdu dan deru dendam kerinduan itu lagi.

Suatu hari, Ken Endok mengantarkan makanan untuk suaminya, Gajah Para, di ladang. Di tengah jalan, dia dihadang dewa Brahma dan disetubuhi. Suaminya tahu dan menceraikannya namun lima hari kemudian dia meninggal dunia. Karena malu, Ken Endok membuang bayinya, Ken Arok, yang mengeluarkan sinar di malam hari.

Ken Arok hidup mengembara sebagai pencuri, perampok, pembunuh, dan pemerkosa. Dia dikejar-kejar rakyat dan utusan Tumapel atas perintah raja Daha (Kediri). Berkat bantuan dewa-dewa, dia selalu lolos. Bahkan dia diaku anak dewa Siwa dan penjelmaan dewa Wisnu.

Ken Arok menghambakan pada penguasa (akuwu) Tumapel, Tunggul Ametung, melalui perantaraan pendeta Lohgawe. Dia membunuh Tunggul Ametung dan menikahi istri mudanya, Ken Dedes, yang sedang mengandung tiga bulan. Dia pun menjadi akuwu di Tumapel. Semua itu dibiarkan saja oleh keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel.

Setelah 40 tahun memimpin Tumapel, dia dinobatkan sebagai raja di Tumapel oleh para brahmana dari Daha. Sebagai raja, Ken Arok bergeral Sri Rajasa san Amurwabhumi.

Raja Daha, Dandan Gendis, pernah mengatakan hanya kalau Bhatara Guru sendiri turun ke bumi, kerajaannya dapat dikalahkan. Maka, atas izin para pendeta, Ken Arok memakai nama Bhatara Guru untuk menyerang dan mengalahkan Daha. Dia menjadi maharaja di Tumapel (kemudian terkenal dengan nama Singhasari) pada tahun 1222.

Kisah Ken Arok tersebut termuat dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya).

Kisah Ken Arok juga termuat dalam kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365 dan Kidung Harsawijaya. Nagarakrtagama menyebut Ken Arok sebagai keturunan dewa yang lahir tanpa melalui kandungan atau tidak beribu. Sedangkan Kidung Harsawijaya menyebut Ky Anrok keturunan orang Pankur, anak Ni Ndok, yang menjadi raja dengan gelar Sri Rajasa.


Membaca judul di atas, apa yang ada di benak kalian? Sinetron? Kisah cinta remaja yang bingung menentukan siapa pilihan hatinya untuk dipacarin/dinikahin? Atau jangan-jangan kamu mengira saya mau curcol soal masalah pribadi? Masalah cinta? Elo kira gue udah mulai mendua? Elo aja kalik, gue enggak! Wkwkwkwk....


Tapi ada benarnya kok. Benarnya di bagian curcolnya itu. Masalah pribadi juga sih. Tapi bukan masalah cinta. Loh... loh... Tapi kan judulnya cinta? Iya, tapi bukan cinta-cintaan ala sinetron seri yang sering ditonton ibu-ibu dan remaja putri di televisi. Ini tentang "sebentuk cinta yang lain". Waw...! Penasaran kan? Makanya, simak nih!

Tak terasa pada hari ini kita sudah memasuki hari ke-21 di bulan puasa tahun ini. Bulan puasa adalah tempatnya umat muslim menjalankan ibadah secara "padat karya" (Istilah tepatnya apa ya? Ntar saya revisi deh kalau udah ketemu). Bukan saja menahan nafsu untuk sekedar makan dan minum, tapi juga nafsu-nafsu yang lain. Termasuk menahan diri dari nafsu amarah dan godaan emosional terhadap lawan jenis, entah itu orang lain maupun pasangan hidup, entah itu pacar atau istri sendiri.

Di bulan puasa umat muslim bukan saja harus menghindari larangan-larangan, melainkan juga memperbanyak ibadah yang sunah. Tentu saja yang wajib tetep jalan terus. Disinilah saya menyebutnya "padat karya" karena segala bentuk ibadah akan dilakukan oleh umat muslim sebanyak-banyaknya. Demikian juga larangan-larangan akan dihindarinya sejauh-jauhnya.

Halo?
Apa kabar para sahabat yang seksi dan seksi sekali?
Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu dilimpahkan buat kita semua, di awal bulan Mei yang indah dan seksi ini. Seiring rasa syukur yang selalu kita panjatkan dimanapun kita berada. Karena hanya dariNya lah, segala cinta dan kasih sayang bersumber dan berlimpah berupa anugerah yang tak terhitung jua. Fiuuh....

Kali ini saya nggak akan ngomong pakai bahasa metafora dulu deh. Beberapa postingan terakhir memang sarat metafora, sampai kalian kira ini blognya manusia planet mana, gitu. Tapi saya juga nggak akan pakai bahasa tinggi, bahasa dewa, bahasa politik dan hukum yang biasa menggunakan kata "dan/atau", bahasa hewan yang sama sekali saya sendiri nggak ngerti, pokoknya bahasa yang bikin kalian nggak bingung aja lah! Yang jelas bukan bahasa galau ya? Apalagi namanya kalau bukan: bahasa cinta. Ciee... preeetz!

Jujur kalau lagi ngomongin bahasa, nih, jadi inget bahwa kita dulu kan dididik buat bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar, yach? Tapi nggak ngerti kenapa kita cenderung males pakai bahasa resmi itu. Mungkin kalau kita lagi bikin makalah ilmiah atau artikel formal, bolehlah kita makek bahasa itu. Bahkan wajib! Tapi kalau buat dipakai di dunia pergaulan ala social media macam blog gini ya sebaiknya pakai bahasa slang aja kan lebih nyantai, nggak terlalu serius, tapi bukan berarti bahasannya nggak penting. Ya kan? Kayak gini penting? Penting apanya? Ya penting bagi yang berkepentingan lah. Masa' penting dari Hongkong? Kok nggak nyambung ya?

Oke, kembali ke laptop deh. Eh, ngomong-ngomong saya udah lama nggak nonton Tukul Arwana tampil di Bukan Empat Mata. Apa programnya sudah nggak ada ya? Maklumlah, saya kan nggak punya televisi? Hehehe... bukan berarti nggak punya pesawat televisi, hanya saja channelnya nggak ada. Udah diputus! Gara-gara saya nggak bayar langganannya. Hehe... jujur banget ya, saya? Tapi don't try this at home, ya? Ini contoh yang buruk! Jangan ditiru!

Kucium jejak aroma itu di udara sore yang hangat, ketika aku sedang melayang di atas awan. Diantara hembusan angin yang bertebarkan kerinduan, kutemukan sebuah harapan untuk sekedar menggapainya, dari mana jejak itu berasal. Aku terus mengendus-endus, sepertinya bidadari itu biasa beterbangan disini. Rupanya aku sedang memasuki jalur lalu lintas penerbangan hari-harinya, sehingga aroma itu tak pernah lepas dari atmosfer yang menyelubungi bumi, dimana dia tinggal.

Gemuruh rindu tidak pernah berhenti mengajakku untuk mencumbu senja yang jingga, sebelum tiba-tiba berubah menjadi hitam kelam malam. Aku tahu dia masih berada di sekitaran sini untuk menuai beberapa senandung cinta. Maka akupun mencoba menebar sinyal-sinyal, agar dia tau aku ada disini. Kalau saja ada rindu di hatinya, dia tak akan lari menghindariku. Tapi bila ternyata sebaliknya yang terjadi, ya nggak apa-apa. Aku masih punya waktu bersabar menunggu besok untuk menemukan aroma itu lagi. Karena setiap malam menjelang, jejak itu pasti tiba-tiba hilang, tak terlacak lagi.

Akhirnya kutemukan dia di semacam pintu lorong, yang terbentuk dari sela-sela gumpalan mega yang berwarna senja. Sedang terbang menyambutku. Ternyata dia tidak saja sekedar membaca sinyalku, tapi masih menyala juga kerinduan di hatinya. Rona wajah itu masih sama saja seperti biasanya, dengan tatapan malu-malu, membuang pandang ke arah mega-mega berwarna gradasi biru-jingga dan tak pernah melawan tatapanku terlalu lama.

Senja masih bercengkrama dengan suara-suara angin dan deru ombak. Udara terasa hangat menghembus ke wajah yang letih. Sejenak mengheningkan diri dengan segumpal harapan yang tak pernah hilang. Sesekali melemparkan kerikil ke arah laut sambil membuang angan-angan yang tersabur antara kenyataan dan kepalsuan.

Tidak banyak yang bisa mengubah angan-angan itu selagi angin hanya sekedar berhembus, tak membawa perubahan apapun selain hujan kata-kata yang ditebarkan ke langit. Tidak semua orang sama dalam memahami cerita dan pesan di baliknya. Cenderungnya akan selalu saja menilai buku dari sampulnya.

Maka cemburulah hanya kepada ombak yang memesrai pantai, kepada ciuman yang membelai setiap saat. Jangan kepada badai yang hanya datang semusim sekali. Harusnya kaupahami letihnya penantian dalam kesendirian menunggu musim baru yang kadang tidak muncul tepat waktu. Tidak juga banyak yang bisa dilakukan buat mengubah sejarah ini sekarang.

Namun yang selalu jelas tersirat disetiap berkas sinar bintang-bintangmu hanyalah kebencian. Tak pernah kausadari bahwa perasaan itu hanya membuang energi yang dari pelepasan cahayanya yang redup-terang. Kamu selalu membuat nafasku berhenti hanya untuk bayang-bayangmu yang kelam. Kamu selalu membakar belantara cinta ini hanya dengan sepercik api yang tak pernah terduga datangnya.

Setengah malam telah bersemayam. Menyanyikan lagu begitu indah. Walau tidak tau sejauh mana angan-angan telah mengembara. Kemelut sudah sedemikian kejam membakar cinta yang beku. Rindupun menggunung bagai sampah yang tertimbun dan mengotori hati dengan prasangka negatif akan harapan-harapan palsu. Bahkan janjipun melahirkan keraguan, akankan cinta sudah sedemikian pantas untuk ditinggalkan.

Tidak tahu seberapa dalamnya hati. Tapi tidak juga bisa dijelaskan, karena ketidakberdayaan selalu membelenggu. Terkesan rapuh, lemah, tak berguna. Tidak pernah berhenti keyakinan disiramkan bagai hujan, membanjiri setiap media dengan kata-kata. Yang namanya keterbatasan walaupun bisa dimaklumi namun begitu sering malahan menjadi makan hati. Tinggal sejauh mana kita akan memaknai cinta, walaupun seringkali kita mendapati segalanya berada di atas penyesalan masa silam.

Maka sang Jiwa kembali terbang melesat membumbung tinggi, menuju lapis langit tiga ratus sekian. Disitulah sang Jiwa kembali berharap bertemu sang Sandaran Hati. Tidak tahu lagi dimana bidadari itu kini berada, karena dia selalu mengepakkan sayapnya ke sana, ke mari, demi sebuah pengharapan yang bisa mencukupi diri akan semua kebutuhan kesehariannya. Hanya satu tempat yang pasti dia kunjungi, tempat yang selalu meneduhkan hati dikala segala beban terasa sedemikian berat untuk terus dijinjing.

Aminah, mungkin begitulah nama aslinya. Dia sering dipanggil Minah saja atau sebagian orang memanggilnya Mimin. Perempuan muda berhati emas itu selalu menyusuri jalan hampir di setiap pagi menuju pasar. Langkahnya anggun, selalu mengenakan baju rapi dengan bawahan warna-warni yang menutupi hingga ke bawah lututnya. Sesekali tertiup angin, roknya itu selalu berkibar-kibar memperlihatkan betisnya yang indah bagai pualam. Mengingatkan semua orang pada betis Ken Dedes yang memikat hati Ken Arok. Siapa yang tidak tahu kisah betis yang melegenda dari negeri Singasari itu?

Wajahnya yang sejuk, menentramkan hati setiap orang yang memandangnya. Apalagi senyumnya yang selalu membuat hati tergoda. Sekali tersenyum, barangkali berjuta bintang langsung berguguran di pangkuannya. Penampilannya sederhana. Tak nampak seperti perempuan kebanyakan yang gemar merias wajah berlebihan. Rambutnya diikat di belakang kepala, ujungnya terurai dan melambai-lambai di belakang punggungnya. Menambah keanggunan perempuan itu.

Seperti biasanya, pagi itu dia pergi ke pasar berjalan kaki. Walaupun mungkin dia bisa naik ojek atau membawa motor sendiri, tapi jalan kaki dia rasa lebih menyehatkan. Ia juga tidak pernah khawatir bahwa matahari akan membakar kulitnya yang kuning bagai langsat. Sinar matahari pagi bisa menjaga kesehatan kulit dan tulang belulangnya. Barang belanjaannya ditenteng di tangan. Tidak banyak, hanya kebutuhan sehari-hari yang selalu habis dikonsumsi. Dia tahu, makanan yang selalu baru bisa lebih menyehatkan.

Meliuk, mendayu, manja. Begitulah sang Jiwa kalau sudah bertemu sandarannya. Sepertinya segala kerinduan yang dibendungnya selama tujuh purnama, kini ditumpahkan begitu saja. Demikian pula sang Sandaran Hati, serasa menenggak hujan pertama di akhir kemarau panjang, tersenyum bahagia.

Ketika itu wacana untuk menyelipkan selembar rencana di dalam serangkaian skedul yang teramat padat telah menjadi nyata. Dibayarnya sang Angin yang biasanya hanya dititipi salam, untuk mengangkat sayapnya terbang menuju kekasih hati pada hari itu. Beban rindu di pundaknya sudah melebihi segalanya, hingga harga mahal yang dimintapun tak dihiraukannya. Yang dia tahu hanya satu: menciptakan kebersamaan, walau dia tahu itu hanya untuk sesaat.

Tidak semudah itu juga sih. Kegagalan pernah terjadi ketika wacana hanya tinggal wacana. Kekecewaanpun bergulir. Menangis. Mengelus dada dan bergumam, sabar, sabar, sabar, .... Akan indah pada waktunya,....

Masih seperti mimpi, ketika sang Jiwa tiba di tempat yang dijanjikan. Di bawah atap Surga itu ia masih terus berkelahi dengan dirinya sendiri. Berharap segera bertemu agar pertengkaran itu bisa rehat sejenak seperti kisah bersambung. Sang Sandaran Hatipun masih mengatur waktu dan berhadapan dengan hujan. Hanya serbuan pesan pendek yang bisa dia kirim-terimakan melalui jaringan, kebetulan cukup bersahabat di siang yang basah itu.

Segaris cahaya menerobos celah pintu kamarku di tengah malam buta. Melintas tepat di mataku yang masih sayu, belum kuat untuk membelalak sempurna. Siapa yang datang?

Seperti biasa, perempuan itu lagi. Perempuan yang selalu hadir dalam mimpiku akhir-akhir ini. Perempuan yang mengaku datang dari masa lalu, beberapa generasi sebelum aku. Dia mengaku nenek dari buyutku. Entah sudah berapa generasi itu? Dia selalu datang dengan pakaian yang sama, model rambut yang sama, serta senyuman yang selalu menyejukkan hati itu. Tubuhnya yang indah seperti terbuat dari cahaya, penuh kehangatan.

Kali ini dia datang untuk mengatakan, "Selamat hari jadi, Nak!"

Kupeluk kebekuan cinta, ketika Nirwana menyapa untuk bahagia. Entah mengapa aku tiba-tiba tersentak di tengah lengahnya keheningan hidup. Aku lantas menghitung, sudah berapa lama aku ada di sini. Akhirnya akupun tersenyum sendiri. Bergumam senandung cinta di malam purnama. Alangkah indahnya hidup....

Letih, lelah, lesu, lemah.... Begitu yang kurasakan. Sepertinya aku sedang menderita anemia atau gejala kurang darah. Hasil pemeriksaan laboratorium darah ternyata normal. Bahkan semua hasil pemeriksaan yang ada, menunjukkan hasil yang sangat mengagumkan. Tapi kenapa gejala-gejala aneh itu selalu mengusik hari-hariku?

Lebih cermat lagi aku lihat di hasil-hasil pemeriksaan gula darah, kholesterol, fungsi hati, fungsi ginjal, semua hasilnya membuat aku mengucap puji syukur alhamdulillah, karena sampai detik itu masih dikaruniai kesehatan yang luar biasa. Tapi semoga aku sedang tidak tertipu, semoga hasil pemeriksaan darahku tidak sedang tertukar sama punya orang. Satu lagi, semoga aku tidak sedang bermimpi!

Oke, anggap saja hasil itu bisa dipercaya. Berarti nggak ada masalah di sana. Tapi tetap ada sesuatu yang nggak beres disini. Dimana? Ya di dalam tubuh ini. Kenapa? Hmm... itu yang sedang diselidiki. Karena kenyataannya, aku sedang merasakan kehadiran sesuatu yang tidak seimbang, sesuatu yang tengah melanda. Membuatku terus menerus gelisah dan resah sepanjang hari, sepanjang malam. Lebay but true.

Kalau penyakit fisik sudah tersingkirkan, masih mungkin adanya gangguan non fisik yang bisa saja melanda setiap orang. Penyakit jiwa! Ya. Tapi jangan negatif dulu, karena penyakit jiwa tak selamanya gila. Stress, galau, trauma, fobia, depresi, itu semua bisa saja diderita setiap orang normal. Nggak ada orang yang sepanjang hidupnya bisa benar-benar terhindar dari penyakit-penyakit jiwa itu.

Semakin berumur seseorang, tentu sudah sedemikian kenyang dengan apa yang disebut kegagalan. Kegagalan adalah hal biasa dalam hidup. Kegagalan inilah yang biasanya dekat dengan gejala-gejala gangguan jiwa itu.

Hadehhh... kok aku jadi takut, yah? Tapi yang ini gejala apa sebenarnya?


Sepining ratri nuwuhake kangening ati. Udan kan sing nembe riwis-riwis nambahi miris. Sajroning ati kang tansah ngreronce tembung-tembung katresnan, sanajan datan nate bisa kawetu. Wus pirang-pirang sasi nggonku luru tamba kanggo sepining ati, nanging amung bisa nyawangi lintang-lintang sing sorote katon abra ing antarane mendhung-mendhung kang mentiyung.

Kok ndilalah, kidung-kidung katresnan iku uga tansah nambahi kandeling rasa iki. Kala-kala katut ing rengenging kidung mau, sanadyan durung bisa mareni ati sing kekuncen ing kangen. Sanityasa kasiksa dening rasa sujana lan cubriya, embuh geneya.

Prasasat ngronce kembang melathi, nggonku tansah ngreronce ratri kang kebak rasa iki. Ing mangka saben dina wus tansah ngreronce seseratan lumantar angin kang midid sumilir. Ronce rinonce, dadiya reroncen wangi wernaning ati.

Mangsa bodhoa aku ora preduli manawa ing tembe dadi kaya ngapa. Aku mung ngerti rasaning tyas iki tansah sumedhot adheming hawa udan riwis ing wanci bengi.

Haus masih melanda, terus menerus. Hanya embun pagi dan air mata yang dijadikan tumpuan untuk dapat diteguk. Walau jelas-jelas tidak ada harapan dapat melegakan dahaga dengan cara seperti itu. Tapi karena terbiasa, akhirnya menjadi kebutuhan untuk melepas dahaga walau kenikmatannya tidak seberapa. Akhirnya lupa bagaimana seharusnya menghilangkan rasa haus yang sesungguhnya. Tidak dikenali lagi air jernih, melainkan kenikmatan sesaat yang terus dinikmati, walau penuh kepalsuan.

Kegelisahan melanda, seperti sunyi yang selalu mengajak perasaan untuk senantiasa resah. Cinta yang diharapkan selalu menjadi penghibur, pengisi hati, pikiran dan jiwa, seakan sudah tidak ada lagi. Mimpi itupun perlahan sirna. Harapan semakin jauh, tak tergapai. Hingga suatu ketika sampailah pada masa dimana keberanian untuk mengutarakan keinginan bersama mencapai tujuan itu sudah tidak ada lagi.

Kebersaman kian terasa semakin abstrak. Sepi selalu menyelimuti. Segala problema dihadapi sendiri-sendiri tanpa adanya sinkronisasi. Hanya tuntutan kewajiban yang terus menerus diminta. Walau kecukupan masih memadai namun jelas terjadi kesenjangan prioritas masing-masing pribadi. Tidak terlihat kejelasan masa depan yang menyatu. Kebersamaanpun makin pudar, luntur, antara ada dan tiada.

Maunya semua dibiarkan mengalir begitu saja. Tetapi ganjalan-ganjalan itu membuat friksi yang semakin mengiris hati. Menjaga dan mengatur perasaan serta pikiran agar senantiasa positif merupakan hal yang tidak selalu mudah dilakukan. Ibarat menaklukkan diri sendiri dan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, tidak semua orang mampu melakukannya dengan sempurna.


Ngapuranen aku, ya, Nimas?
Amarga mangajab ing pepisahan iki
Mungguh aku mangerteni rasa tresna ing atimu
Nanging kabeh wis mokal bisane kelakon

Nimas, lali-lalinen aku saka sajroning atimu
Lalenana uga reronce critaning katresnan kang wingi
Aku ora ngira uga kabeh bakal kaya mangkene
Nimas, coba mangertenana wae

Ngapuranen aku sepisan maneh,
Nadyan sliramu isih ing atiku
Nadyan tresnamu isih rumaket
Sing gedhe ngapuramu, Nimas!

Aku ngerti laraning atimu
Nanging percayaa marang aku, Nimas!
Sliramu bakal ketemu katresnan
kang luwih becik tinimbang aku

Capek, jemu, dan bete melanda. Tak ada lagi gairah untuk melakukan sesuatupun. Semuanya begitu flat dan tidak ada yang berbeda maupun baru. Ingin rasanya menyandarkan diri untuk sekedar berlabuh melepaskan semua rasa. Tapi ke mana?!

Malam begitu panjang, detik jam dinding menghitung, membawaku berangan-angan betapa malam ini dipenuhi desah penuh cinta. Banyak pasangan yang tengah asyik masyuk dan larut tenggelam melepaskan segala kerinduan. Ooohhh!!!

Asyiknya bila bisa saling bersandar sambil membisikkan kata cinta. Menyatukan hati dan bercinta tiada henti. Hmmmhhh!!!

Aku masih suka cemburu kepada pantai. Ketika ombak datang membelai bebatuan di tepian. Riak yang basah itu terpercik menjadi tempias-tempias yang hangat. Seperti para bidadari yang turun ke bumi.

Bahkan alampun tak memberiku waktu untuk berguru, berbagi inti untuk sekedar pelarut kesedihan. Kalaupun ada kepedihan, hanyalah aku tahan saja semampuku sambil menyalakan api unggun. Semoga hujan tidak mengacaukan acaraku dengan kebekuan dingin yang selalu merenggut keleluasaan.

Aku masih lelaki yang dulu. Lelaki biasa yang juga harus bersandar sambil membisikkan kata cinta. Aku tidak sanggup berdoa untuk hal-hal seperti ini. Karenanya aku juga tidak pernah meminta. Aku malu. Aku tidak menjiwai peminta-minta yang selalu mengharap dibelaskasihani. Bukannya harus saling mengerti?

Di sebuah negeri kerajaan nan elok permai, terdapatlah sebuah desa dimana tinggal seorang gadis yang cantik jelita. Sang Gadis hanyalah seorang anak petani yang bersahaja hidupnya. Tentunya kecantikan sang Gadis ini begitu alami, sehingga sebagai seorang bunga desa, dia sangat didambakan para pemuda di desa itu.  Terlebih sang pemuda miskin yang bernama Jack Ndableque.

Nina Damaihati, begitulah nama si gadis. Seperti namanya, pesona wajah yang cantik itu seolah senantiasa memancarkan cahaya penuh kedamaian. Bagi yang menatapnya, serasa dibuat teduh hatinya.

Hari-hari Jack selalu diliputi perasaan tak menentu. Dia sangat mencintai gadis itu, tapi ia tak pernah berani menyatakannya, lantaran dia menyadari bahwa dia tak memiliki apapun untuk dipersembahkan buat sang pujaan hatinya itu. Walaupun sama-sama hidup bersahaja, hati Jack selalu merasa bahwa gadisnya itu lebih layak hidup bersama pemuda yang lain. Tentu saja dia berharap Nina akan mendapatkan jodoh seorang pemuda yang lebih baik darinya, bukan pemuda-pemuda yang suka keluyuran malam dan suka mabuk-mabukan.

Namun sang Gadis sendiri sangat mendambakan dirinya bisa hidup bersama sang Pangeran di kerajaan itu. Yang pasti menurutnya hidup bersama sang Pangeran tidak akan kekurangan apapun. Tapi sebagai gadis miskin, iapun menyadari bahwa tak mungkin dia meraih harapan setinggi itu. Diapun memendam harapan itu dalam-dalam,  tak perlu seorangpun tahu.

Dimanakah pangeran pembawa sekuntum cinta itu? Tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin kini dia tengah berdansa bersama bidadari-bidadari yang lain.

Batu hitam, dingin dan diam. Walau bayang-bayang hendak menyeruak sekalipun, tak ada tanda-tanda bergeming. Bukankah aku telah menasihatimu lebih dari seribu satu kali? Oke, sekarang aku menyerah. Aku mengaku tak lagi punya kompetensi untuk memberimu khotbah agama ataupun dongeng malam menjelang tidur. Barangkali lebih mirip raungan serigala atau lolongan anjing yang hanya bisa menyayat telingamu hingga bercucuran darah.

Sampai saat ini aku masih juga tidak habis mengerti, mengapa masih juga kausimpan ketololan itu sedemikian lama. Aku sudah sangat bosan mendengar kegalauan yang kaunyanyikan, juga melalui puisi, tarian, dan bisikan-bisikan yang terus menggerogoti hati. Menusuk kalbu. Bahkan anginpun tak mampu menghalau awan yang menggelapi langit biru.

Tidakkah terpikir untuk berhenti menggerutu, menggenggam tangan dan menyematkan senyum. Berlinangan tangis telah menyudutkanmu dalam sebuah bilik, gelap, sepi, terisolir jauh dari kegaduhan dunia. Tidakkah terlihat olehmu bunga-bunga mawar yang bermekaran yang selalu bercerita tentang "duri" hari esok. 

Kalaupun sekarang kaupilih sendiri jalanmu dengan menapaki kegelapan, di bawah cucuran hujan lebat yang terus menghunjam punggungmu dengan cambukan demi cambukan, itu bukan skenario dalam pelajaran kita terdahulu. Aku juga tidak punya semacam jaminan untuk memberikanmu sekedar kesejahteraan, apalagi kebahagiaan.

Baiklah, mari kita bicara cinta.

Bicara cinta sesungguhnya nggak akan ada habisnya. Apalagi di bulan Februari ini. Bulan penuh cinta. Sebagian orang memperingatinya sebagai hari Valentin. Saya sendiri nggak paham betul latar belakang pervalentinan. Tapi yang pasti akan jadi pas banget buat saya kalau bulan Februari ini menjadi bulan penuh cinta. Pasalnya di bulan Februari inilah saya bisa memperingati hari pernikahan. Cihuui! Ada cerita seru yang selalu terkenang di bulan Februari. Begitu indah! Begitu seksi!

Nah, cinta itu makanan apa? Belum ada yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Tapi menurut saya, sebagai kata benda, cinta itu sesuatu untuk diberikan, bukan diminta. Pengucapan kata cinta harus sambil dibayangkan disitu ada unsur memberi, bukan meminta. Ada unsur persembahan, bukan perampasan. Lebih jauh lagi mestinya ada unsur keikhlasan, bukan mengharap sesuatu atau balasan langsung. Apalagi disertai unsur paksaan.

Hal ini sangat berlawanan makna dengan "nafsu", disitu ada unsur mengharap, meminta, bahkan memaksa/merampok! Boleh jadi lawan kata atau anonim dari cinta adalah nafsu.

Sinonimnya yang paling tepat adalah "kasih". Coba perhatikan makna "kasih" kalimat percakapan berikut:

"Nich, saya kasih duit. Jangan buat beli rokok, ya?"