Malam itu tidak seperti malam Minggu yang lainnya. Aku lebih suka menyendiri di kamar, dengan alunan musik yang ala kadarnya. Lagu-lagu MP3 yang sudah lama tersimpan di flashdisk dan tidak lagi update seperti yang sekarang sedang ngehit-ngehitnya di media elektronik. Pikiran sedang galau setelah siang tadi mas Basiran tumben-tumbennya datang ke kantorku untuk mengabarkan sesuatu yang sangat tidak ingin aku dengar.

Mas Basiran bekerja di sebuah perusahaan yang agak jauh dari kantorku. Kami memang tidak saling akrab satu sama lain. Dulu ketika masih sama-sama hidup di kampung pun, aku juga jarang bertemu dia. Disamping tinggalnya di kampung seberang, kami juga jauh terpaut umur dan sangat jarang bertemu. Sudah tiga hari dia mencariku dan baru bertemu siang itu. Hari Sabtu kebetulan kantornya libur, jadi ada waktu lebih banyak untuk mencari alamat kantorku. Walaupun sebenarnya kantorku juga libur di hari Sabtu namun kebetulan aku sempat ke kantor hanya untuk mengambil cas HP yang ketinggalan kemarin sore. Siang itu dia datang untuk sesuatu yang sangat penting: Simbok sakit keras!

Memang sudah beberapa hari perasaanku selalu tidak enak, entah mengapa. Resah, tidak semangat dalam bekerja. Seperti rasa cemas tanpa sebab yang jelas. Ingin mengambil cuti, tetapi rasanya pekerjaan masih terlalu menumpuk dan sepertinya tak mungkin ditinggalkan. Tapi setelah kabar siang hari itu, apapun yang terjadi aku harus segera memutuskan sebelum ada hal-hal yang tidak diinginkan.

"Simbok, maafkan aku ya, Mbok?" sepertinya kata-kata itu terucap begitu saja lirih keluar dari mulutku. Sungguh, aku benar-benar terjerumus dalam dilema besar. Pada saat aku tidak ingin lagi pulang-pulang ke kampung, di sisi lain sepertinya aku harus ke sana secepatnya.

Lima tahun tidak terasa kutinggalkan simbok sendiri di kampung setelah peristiwa itu. Sungguh sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak ingin aku kenang. Aku tahu benar perasaan simbok waktu melepas kepergianku ke Jakarta untuk waktu yang lama. Tapi perasaanku waktu itu jauh lebih hancur. Kuharap simbok dapat mengerti perasaanku waktu itu.

Aku masih ingat betul hari itu Rabu, malam Kamis saat bulan Purnama. Selepas isya' kami datang ke rumah pak Kusnadi untuk melamar Sekar, gadis kembang desa yang benar-benar menawan hatiku. Kami sudah dari kecil saling kenal dan akrab. Dia sering main ke rumah, baik untuk menemuiku ataupun sekedar berbincang-bincang dengan simbok di dapur. Kadang dia juga menemani simbok sambil bantu-bantu mengiris-iris bawang, ataupun mengaduk-aduk masakan di atas tungku. Setidaknya hari-hari simbok tak lagi sepi setelah aku sering meninggalkan rumah selama beberapa hari sekedar mencari penyambung hidup dengan menjadi pekerja kasar. Tapi rupanya sejak malam itu, semuanya seakan berubah. Pak Kusnadi menolak lamaranku, dan mengatakan bahwa Sekar sudah dijodohkan dengan mas Rudiatmo, anaknya pak Margono. Mereka akan dinikahkan bulan depan.

Seperti petir menggelegar menyambar telinga hingga ke dadaku. Nafas seakan terhenti sejenak, bahkan langit malam itu tampak semakin kelam ketika kami pulang menyusuri pematang. Seakan semuanya menyadarkan aku bahwa aku memang bukan siapa-siapa dibandingkan dengan mas Rudi, ataupun pemuda-pemuda desa yang lainnya. Simbok sendiri sebenarnya sudah mengingatkanku bahwa kalau masih jadi pengangguran sebaiknya jangan melamar dulu. Tapi apa mau dikata, takdir ataupun nasib sudah kepalang tanggung. Padahal sebenarnya aku hanya ingin menyatakan maksud, bahwa aku sudah benar-benar cinta mati dengan Sekar. Sekaligus berharap tidak ada pria lain yang akan dijodohkan dengannya sementara aku mencari pekerjaan layak di kota. Pengangguran memang bukan pilihanku. Aku terpaksa kerja apa adanya, mencoba mencari penyambung hidup untuk sekedar tidak disebut pengangguran. Tapi ternyata pekerjaan tidak jelas seperti itu masih tidak cukup untuk menghilangkan label pengangguran pada diriku.

Huh, seharusnya aku tahu diri. Mestinya aku malu seakan memperlihatkan kebodohan, sekaligus kepolosanku di depan pak Kusnadi. Aku hanyalah anak orang miskin. Semua sawah dan ladang milik bapak sudah habis terjual semenjak kepergiannya. Semua hanya untuk membesarkan aku dan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Rumah dan pekarangan tinggalah harta satu-satunya yang tidak mungkin diuangkan lagi. Simbok menjadi janda tua yang sedikitpun tidak mempunyai apa-apa untuk dibanggakan.

Sejujurnya aku sempat menyadari itu semua sebelum kejadian malam itu. Tapi keteguhan cinta dari Sekar, kekasihku, membuatku berani untuk bertindak selangkah kedepan. Sekar sendiri rupanya ingin memberikan sinyal akan kedatangan mas Rudiatmo di hidupnya. Memang benar, dia memang butuh kepastian dan ketegasan dariku untuk melangkah malam itu. Walaupun akhirnya kusadari malam itu menjadi sebuah titik perubahan, agar jelas apakah kisah cinta ini sanggup untuk diteruskan.

Mas Rudi memang orang baik. Aku juga mengenal dia sebagai kakak tingkatku di sekolah dulu. Bahkan kami juga pernah main bersama. Dia suka berbagi apapun yang dia miliki. Sebagai anak orang kaya, dia juga tidak kelihatan sombong. Hidup selalu berkecukupan, tentu saja jauh lebih baik dari apa yang kualami. Oh, Sekarku Sayang... semoga kau bahagia bersamanya sekarang.

Lima tahun berlalu, aku masih jelas menyimpan kenangan dengan perempuan itu Kami sering ngobrol dan bercanda di belakang rumah. Kami juga pernah berlari-lari mengitari pekarangan. Pohon randu di sudut pekarangan rumahku menjadi saksi kisah cintaku. Di pohon itu pernah hinggap sepasang burung merpati. Mereka juga menjadi saksi, bahwa bukan hanya mereka yang bisa bermesraan di atas sana. Kisah cintaku jauh lebih mesra.

Oh, malam Minggu itu benar-benar menjadi malam panjang. Tapi kali ini beda. Biasanya aku menghabiskan waktu bersama teman-teman di kafe, di Bioskop, atau sekedar nongkrong di pinggiran jalan. Menghilangkan penat akibat kerja selama seminggu, sambil merokok, minum kopi, kami suka melihat-lihat pemandangan malam. Siapa tahu ada cewek cakep yang bisa diajak kencan. Tapi malam itu aku hanya termenung di ruang apartemenku yang bersahaja, berantakan, tapi seakan aku melihat semua pemandangan seolah aku kembali ke kampung halaman di saat lima tahun silam.

Aku pergi jauh untuk melupakan semua itu. Aku tak mungkin menyaksikan semuanya, melihat dia menjadi miliknya orang. Tak kan kubiarkan semua orang seakan menyaksikan kekalahanku dari sebuah kisah cinta yang pupus di tengah jalan. Bahkan cinta simbok untukku tak bisa menghalangi niat bulatku untuk merantau, menghapus lembaran paling pedih dalam sejarah hidupku. Aku bertekad tidak akan kembali lagi ke sana, entah sampai kapan.

Kembali dilema menghantuiku. Simbok sedang sakit keras. Aku tidak mungkin hanya diam saja disini. Aku hanyalah anak semata wayangnya, yang jadi tumpuan harapan untuk saat-saat sulit seperti ini. Biarpun jaman sudah modern, aku juga tidak mungkin menghubungi simbok lewat telepon, apalagi simbok tidak mungkin punya HP. Kalaupun misalnya sudah ada tetangga yang punya HP, tetangga sebelah mungkin adalah orangnya. Tapi aku juga tidak tahu nomornya. Aku benar-benar telah kehilangan kontak. Dengan begitu aku telah berhasil melupakan kampung kepedihan itu, walaupun sayangnya ada simbok disana sebagai bagian dari hal besar yang ingin kulupakan selamanya.

Tapi seharusnya tidak bisa begitu. Bagaimanapun juga seharusnya aku sering-sering berkirim kabar. Toh simbok juga tidak buta huruf, setidaknya berhak tahu kabar dariku. Mungkin sedikit kata-kata yang menyertai kiriman foto sudah cukup bagi simbok tahu keadaanku. Tapi rupanya kejadian lima tahun lalu itu membutakanku untuk terfikir hal-hal seperti itu.

Bayangan simbok kembali datang. Dalam pikiranku, simbok memanggil-manggil namaku. Aku harus pulang. Betapa berdosanya aku membiarkan simbok sakit tanpa ada orang yang dicintainya disisinya. Betapa durhakanya aku, tega membiarkan orang tua yang telah membesarkan aku, mendidikku, menjagaku sejak dilahirkan, dikala lemah terkulai tak berdaya, memberikan air susunya demi tumbuh-kembang jiwa-ragaku. Semuanya hampir dilakukannya sendirian, sebab bapak telah berpulang semenjak aku dalam kandungan. Oh, Simbok! Maafkan anakmu ini.

***

Sekitar jam setengah tiga sore, aku sampai di depan rumahku. Langkah sempat gemetar ketika aku sampai di depan rumah itu. Rumah bambu yang sudah cukup tua, saksi sejarah masa laluku, termasuk masa kelam lima tahun yang lalu. Seharusnya aku sudah bisa membangun rumah baru buat simbok. Tapi tidak disini. Kampung kepedihan ini tidak layak untuk ditinggali lagi. Pintu rumahku sedikit terbuka, mungkin simbok ada di dalam sana.

Kucoba melangkah, lalu kuucap salam dan kupanggil simbok. Tidak ada suara menyahut. Hatiku semakin khawatir dengan keadaan simbok. Mungkin sedang tidur, atau mungkin ... . Ah, tidak!

"Mbok? Ini aku, anakmu! Aku pulang, Mbok! Simbok dimana?"

Hanya sepi yang kudengarkan. Hatiku semakin tidak karuan. Aku beranikan masuk. Gelap suasana didalam. Dari ruangan satu ke ruangan lain, setiap kamar tidak ada simbok. Kamar terakhir, ya, mungkin simbok ada di dalam.

"Mbok...?"

Aku terkejut bukan kepalang dan seketika menangis sejadi-jadinya melihat simbok dalam keadaan kaku dengan wajah pucat dan dingin. Aku berteriak ... .

"Simbooook!"

Suara HP berbunyi, membangunkan aku. Leganya aku karena rupanya semua tadi hanya mimpi. Waktu baru menunjukkan jam sembilan malam. Rupanya aku ketiduran karena begitu capeknya hari itu. Kuangkat HP, hanya sebuah pesan singkat dari si Maya, sekretaris bosku.

"Pak Herman, Bos sudah menyetujui permohonan cuti Bapak. Tadi saya telpon beliau, saya bilang orang tua Pak Herman sakit. Beliau titip salam buat orang tua Bapak."

Wajah simbok dalam mimpiku tiba-tiba tertimpa oleh wajah Maya begitu saja dalam bayanganku. Tapi kurasakan dadaku masih berdegup kencang.

"OK! Makasih, May! Hari Senin aku langsung absen ya?"

"Semoga cepet sembuh ortunya, Ya, Pak? Ditunggu traktirannya!"

"Traktiran? Apaan?"

"Kan udah dibantuin telpon Bos? Coba kalau Bapak sendiri yang ijin. Belum tentu acc!"

"Hehehe... ya dah. Doain ya? Mkasih!"

Entah mengapa SMS dari Maya tadi semakin menguatkan niatku untuk pulang.

***

Hari masih pagi, udara begitu cerah. Burung-burung berkicau lebih merdu dari hari-hari biasanya. Angin berhembus begitu segar. Aku baru saja landing. Perjalanan ke kampungku masih harus ditempuh dengan jalan darat. Aku masih belum tahu apakah saat ini taksi sudah bisa masuk sampai ke sana. Dengan segala perbekalan seadanya, akupun beranjak menuju tempat yang sudah lima tahun tidak kusinggahi.

Sedikit berdegup dadaku ketika melewati rumah pak Margono. Tapi tumben rumah itu sepi. Biasanya ramai dengan para pegawainya bekerja di sana.

Akhirnya sampai juga di rumah simbok. Tidak jauh berbeda dengan kondisi semalam dalam mimpiku. Rumah simbok memang sudah tidak layak huni. Ah, itu tidak penting. Yang penting bagaimana keadaan simbok sekarang.

Tanpa bersuara aku langsung masuk ke rumah. Aku tidak sabar ketemu simbok. Kamar demi kamar kumasuki, "Mbok? Simbok?" Tidak ada suara menyahut.

Aduh, jangan-jangan benar mimpiku. Kali ini kamar terakhir, dimana simbok kutemui di mimpi itu.

"Mbok?"

Kok tidak ada? Kemana? Kekhawatiranku muncul kembali. Dimana simbok?

"Siapa itu?" kudengar suara itu dari arah belakang rumah, suara simbok.

"Mbok?" sambil ku bergegas menuju belakang.

"Kamu Le? Akhirnya pulang juga kamu, Ngger?" kata simbok tergopoh-gopoh menuju aku.

Akupun segera memeluk simbok.

"Oalah, Le! Simbok kangen!" kata simbok kemudian.

"Simbok sehat-sehat saja? Ada yang bilang Simbok sakit?"

"Maafkan simbok, Le. Terpaksa Simbok minta tolong sama dik Muji yang kebetulan mau ke Jakarta untuk nyusul kangmasnya, Basiran. Simbok kan tahu sifatmu, kalau tidak dikabari simbok sakit, kamu pasti tidak mau pulang."

"Yaah, Simbok!" aku sejujurnya lega melihat simbok begitu segar bugar seperti itu. Tapi hatiku sedikit kecewa karena kepulanganku harus menghadapi sesuatu yang lain.

"Sudahlah, Le! Yang lalu biarlah berlalu. Semua penyakit pasti ada obatnya. Simbok selama ini sakit-sakitan karena kangen sama kamu. Tapi sekarang simbok sudah punya obatnya. Jangan khawatir, Ngger! Simbok juga punya obat untukmu."

"Obat?" tanyaku.

"Kamu pasti lapar, istirahatlah dulu. Simbok mau keluar beli makanan. Nanti sore obatnya datang."

Obat apaan sih? Simbok kok langsung pergi begitu? Padahal aku kan belum selesai melepas rinduku. Hanya simbok tujuanku pulang. Tapi melihat simbok sesehat itu aku benar-benar bersyukur.

Aku sempat menengok pekarangan belakang rumah. Suasana masih seperti lima tahun lalu sebelum kutinggalkan. Pohon randu di sudut pekarangan masih membisu di luar sana. Tapi sudah tidak ada lagi burung-burung merpati yang hinggap. Tapi hatiku mendadak jadi pedih mengingat segala kejadian di pekarangan belakang rumahku. Akupun segera masuk dan berdiam diri di sebuah kamar, bermain HP dan membalas beberapa pesan yang tidak sempat kubaca. Tak lama kemudian simbok datang membawa makanan untukku.

***

Sore itu di kampungku begitu sepi. Aku berharap orang kampung tidak tahu kedatanganku siang tadi. Aku sedang malas berbasa-basi dengan mereka. Apalagi pembicaraan pasti akan mengarah ke hal-hal yang tidak aku inginkan.

Kudengar ada yang mengetuk pintu depan, memanggil simbok. Suara perempuan itu seperti pernah kukenal. Tapi siapa? Kubuka pintu, dan betapa terkejutnya aku siapa yang ada di hadapanku.

"Mas Herman? Apa kabar, Mas?"

"Ba... Baik!" aku sedikit terbata-bata menjawabnya karena tidak sadar mulutku menganga dan masih tidak percaya siapa yang kulihat. "S... Sekar? Kok ada disini? Em... Ada perlu sama simbok?" lanjutku.

Senyum manis yang penghias bibir itu sepertinya tidak pernah berubah. Walaupun aku sangat yakin, pasti sudah banyak perubahan selama lima tahun berpisah.

"Simbok bilang, Mas Herman sudah datang. Jadi saya kesini." jawabnya.

Aku masih bingung, sampai kudengar simbok menyahut dari belakangku, "Eh, Ndhuk Sekar! Mari masuk!" "Kamu ini lho, Le? Kok tamunya tidak disuruh masuk, sih?" lanjut simbok.

Akhirnya aku mendapat pejelasan panjang lebar dari simbok dan Sekar. Singkatnya, Sekar tidak jadi menikah dengan mas Rudiatmo. Beberapa hari sebelum hari pernikahan yang ditentukan, pak Margono ditangkap Polisi karena usaha kayunya ternyata ilegal. Rumah dan. Seluruh harta usahanya disita. Perkawinan sempat ditunda, tapi akhirnya dibatalkan oleh pak Kusnadi karena enam bulan kemudian Mas Rudi gantian yang ditangkap lantaran terlibat dalam kegiatan transaksi obat terlarang.

"Pak Kusnadi juga sempat menemui simbok, minta maaf. Sempat juga menanyakan Kamu, Le!" cerita simbok, yang intinya hubungan kami boleh dilanjutkan lagi setelah aku menemui pak Kusnadi.

Malam itu juga kami menemui pak Kusnadi di rumahnya untuk kedua kalinya.

0 komentar: