Akhirnya aku berkesempatan untuk melihat Bali. Yah, menyedihkan memang! Hari gini belum tau Bali. Baru tau sekarang. Tapi apa daya, ini kenyataan.

Keindahan pulau ini sudah terdengar di telinga saya sejak duduk di bangku SD, waktu itu sekitar tahun 80an. Lewat pelajaran sekolah, lewat media cetak maupun televisi. Sekarang di tahun 2012 baru lihat. O, gini to yang namanya Bali.  Jujur saja waktu itu dalam bayangan saya jauh lebih indah. Media cetak belum banyak warna-warni seperti sekarang ini. Apalagi televisi, masih hitam-putih. Itupun hanya televisi milik pemerintah.

Tapi ya itu, seperti dugaan saya, Bali sekarang pasti sudah beda dengan yang dulu. Yang sekarang pastilah sudah tak seindah dulu. Dalam hal ini alamnya lho! Keindahan alam sudah tergantikan oleh keindahan hasil karya manusia: gedung-gedung baru, jalan-jalan tembus yang baru, dan yang pasti semua itu lebih mendominasi keindahan alamnya.

Saat ini baru itu yang kulihat. Kalau begini sih, apa ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya? Hanya berbeda di ciri khas ukiran dan patung-patungnya saja yang turut menghiasi setiap bangunan arsitektur di mana-mana.

Begitu datang di bandara, gedung terminal Ngurah Rai saja sedang direnovasi, masih tampak berantakan. Abis itu, keluar bandara jalanan macet total, panas, berdebu, tampak banyak perkakas seperti kayu-kayu, besi dan seng di sela-sela pembatas jalan yang memenuhi pemandangan lantaran jalan raya itu juga sedang dalam perbaikan.

Lantas dimana indahnya? Untungnya saya sudah tidak menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi untuk menikmati keindahan Bali yang legendaris itu.

Yah, superfisial memang. Yang kulihat juga hanya itu. Toh saya ke sini juga bukan dalam rangka wisata. Hanya memenuhi instruksi dari pimpinan perusahaan tempat saya bekerja, untuk mengikuti sebuah pelatihan yang kebetulan diadakan di Bali. Empat hari di Bali sudah full acara pelatihan dari pagi sampai larut malam. Kalaupun masih ada waktu ya cuman buat istirahat, sudah capek!

Halooooooo....?
Apa kabar duniaaa?
Lama tak berjumpa nih!
Maklum lagi sibuk di dunia nyata!
Hahahaaa...

OK, deh! Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya karena rahmatNyalah kita masih bisa bertemu di blog saya yang bersahaja ini untuk sekedar membaca tulisan dalam rangka say hello dan say something.

Barangkali kalau bukan hari penting nih, saya juga belum mau nongol. Berhubung hari ini kembali jadi hari bersejarah bagi saya, maka sayapun menyempatkan diri untuk mengetik. Tak, tik, tak, tik, bunyi kibod saya. Walaupun cuman kibod virtual, tapi sengaja dikasih click-sound biar efeknya lebih mantap!

Hari bersejarah? Yup! Sembilan belas Oktober sekian tahun yang lalu adalah hari lahir saya. Sori, tahunnya nggak usah disebutin, ya? Malu, dah tua soalnya! Dah om-om nih!

Walaupun sebenarnya nggak perlu malu sih. Kan nggak ada alasannya untuk malu? Tapi nggak tahu juga kenapa orang suka malu kalau diketahui umurnya. Bahkan di setiap penampilan profil di media sosial semacam Facebook dan kawan-kawan biasanya ada fitur untuk menyembunyikan tahun kelahiran. Nah, pasti tetep ada alasannya donk?

Mungkin malu itu memang berlaku bagi mereka yang pada usia tertentu belum mencapai visi tertentu pula. Nah biasanya ada semacam standar yang berlaku bahwa di usia sekian harus sudah mencapai level sekian, tentu saja ditinjau dari aspek kehidupan yang beraneka ragam. Anggaplah contoh mudahnya aspek kehidupan yang saya maksud adalah karir, kekayaan, cinta, ataupun tingkat pendidikan.

Pada umur sekian kok karirnya masih mentok sampai disitu, tentu malu donk? Usia segitu kok belum berkeluarga? Nggak laku donk? Nah, begitulah kira-kira alasannya kenapa kemaluan itu ada. Hohohooo... Kemaluan?

Karena bersyukur itu wajib, maka ya sebaiknya bersyukur saja. Itulah mengapa di awal tulisan ini saya ajak Anda semua bersyukur. Supaya inget bahwa kenikmatan itu sudah banyak kita terima. Walaupun hidup kadang terasa pahit, tapi dengan bersyukur kepahitan itu nggak akan lama. B'ner deh!

Walaupun di sisi lain kita juga harus inget, bahwa semakin tua usia kita berarti makin dekat dengan titik umur kematian kita. Makin sempit kesempatan memperbaiki diri. Jadi mestinya makin kesini makin banyak perbuatan baiknya daripada mudorotnya (pinjem istilah ustad saya). Kalau perlu pakai ilmu padi, makin merunduk makin jadi. Bukan malah ilmu keladi.