Di sebuah negeri kerajaan nan elok permai, terdapatlah sebuah desa dimana tinggal seorang gadis yang cantik jelita. Sang Gadis hanyalah seorang anak petani yang bersahaja hidupnya. Tentunya kecantikan sang Gadis ini begitu alami, sehingga sebagai seorang bunga desa, dia sangat didambakan para pemuda di desa itu.  Terlebih sang pemuda miskin yang bernama Jack Ndableque.

Nina Damaihati, begitulah nama si gadis. Seperti namanya, pesona wajah yang cantik itu seolah senantiasa memancarkan cahaya penuh kedamaian. Bagi yang menatapnya, serasa dibuat teduh hatinya.

Hari-hari Jack selalu diliputi perasaan tak menentu. Dia sangat mencintai gadis itu, tapi ia tak pernah berani menyatakannya, lantaran dia menyadari bahwa dia tak memiliki apapun untuk dipersembahkan buat sang pujaan hatinya itu. Walaupun sama-sama hidup bersahaja, hati Jack selalu merasa bahwa gadisnya itu lebih layak hidup bersama pemuda yang lain. Tentu saja dia berharap Nina akan mendapatkan jodoh seorang pemuda yang lebih baik darinya, bukan pemuda-pemuda yang suka keluyuran malam dan suka mabuk-mabukan.

Namun sang Gadis sendiri sangat mendambakan dirinya bisa hidup bersama sang Pangeran di kerajaan itu. Yang pasti menurutnya hidup bersama sang Pangeran tidak akan kekurangan apapun. Tapi sebagai gadis miskin, iapun menyadari bahwa tak mungkin dia meraih harapan setinggi itu. Diapun memendam harapan itu dalam-dalam,  tak perlu seorangpun tahu.

Dimanakah pangeran pembawa sekuntum cinta itu? Tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin kini dia tengah berdansa bersama bidadari-bidadari yang lain.

Batu hitam, dingin dan diam. Walau bayang-bayang hendak menyeruak sekalipun, tak ada tanda-tanda bergeming. Bukankah aku telah menasihatimu lebih dari seribu satu kali? Oke, sekarang aku menyerah. Aku mengaku tak lagi punya kompetensi untuk memberimu khotbah agama ataupun dongeng malam menjelang tidur. Barangkali lebih mirip raungan serigala atau lolongan anjing yang hanya bisa menyayat telingamu hingga bercucuran darah.

Sampai saat ini aku masih juga tidak habis mengerti, mengapa masih juga kausimpan ketololan itu sedemikian lama. Aku sudah sangat bosan mendengar kegalauan yang kaunyanyikan, juga melalui puisi, tarian, dan bisikan-bisikan yang terus menggerogoti hati. Menusuk kalbu. Bahkan anginpun tak mampu menghalau awan yang menggelapi langit biru.

Tidakkah terpikir untuk berhenti menggerutu, menggenggam tangan dan menyematkan senyum. Berlinangan tangis telah menyudutkanmu dalam sebuah bilik, gelap, sepi, terisolir jauh dari kegaduhan dunia. Tidakkah terlihat olehmu bunga-bunga mawar yang bermekaran yang selalu bercerita tentang "duri" hari esok. 

Kalaupun sekarang kaupilih sendiri jalanmu dengan menapaki kegelapan, di bawah cucuran hujan lebat yang terus menghunjam punggungmu dengan cambukan demi cambukan, itu bukan skenario dalam pelajaran kita terdahulu. Aku juga tidak punya semacam jaminan untuk memberikanmu sekedar kesejahteraan, apalagi kebahagiaan.

Mungkin kamu sudah nggak asing lagi dengar cerita anak-anak yang satu ini. Bisa menebak, kan? Kura-kura pasti jadi pemenangnya, dengan segala cara dan trik yang ada.

Tapi kamu salah. Yang itu sih kisah ceritera kancil dan siput! Yang ini nih, kancil dan kura-kura, loh! Memang mirip sih, sifat lambat dari siput dan kura-kura. Jadi kita bingung, ini ceritera yang bagaimana, sih? Nah, makanya simak dulu ceritanya. Tapi saya coba membawa cerita ini dalam perspektif yang lain. Perspektif orang dewasa, tentunya. Yang pasti, tidak akan jauh dari kaidah "indah dan seksi".

OK! Begini dia ceritanya:
Suatu hari kura-kura dan kancil berdebat tentang siapa yang tercepat. Untuk membuktikannya mereka menyetujui untuk mengadakan lomba. Lombapun dimulai. Sang kancil melesat dengan cepatnya meninggalkan kura-kura. Setelah merasa jauh melampaui kura-kura, diapun berhenti sejenak di bawah pohon untuk istirahat. Karena gembiranya akhirnya sang Kancil tertidur.

Pelan tapi pasti kura-kura berhasil melewati sang Kancil. Sang Kancil terbangun dan melanjutkan larinya. Tetapi ditemunya kura-kura sudah berada di finish dan keluar sebagai sang Juara.