Kebanyakan orang menyambut pergantian tahun dengan sesuatu yang meriah. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, yang jelas harus bergembira semua. Kegembiraan bisa ditampilkan dalam pesta-pesta, berjubel-jubel di jalanan sambil tiup terompet dan klakson-klaksonan. Ada juga yang hanya sekedar senang kumpul-kumpul nonton TV, biasanya acara TV tidak kalah meriah dengan menampilkan artis-artis papan atas yang sedang ngetop! Banyak juga yang pesta di tempat sepi sambil minum-minum (miras) bahkan pesta seks! Wuiih! ngeri deh!
Yang jelas semua punya cara dan pilihan masing-masing untuk merayakan pergantian tahun. Seolah sudah menjadi keharusan karena hanya sekali dalam setahun.

Padahal mestinya kita tidak perlu bergembira terlalu berlebihan, malah seharusnya kita bersedih lantaran usia kita 'kan semakin tua. Semakin tua berarti makin dekat dengan mati. Harusnya kita introspeksi, seberapa jauh persiapan kita menghadapi mati? Berpesta pora bukan mempersiapkan bekal untuk mati malah sangatlah mungkin menambah dosa.

Cobalah kita berpikir sedikit beda. Daripada uang dihambur-hamburkan buat berpesta, apa tidak lebih baik kita sumbangkan kepada yang lebih membutuhkan. Itu kan jauh lebih baik?

Itu semua kembali kepada diri kita masing-masing. Kalau kita mau berpesta lantaran sudah bertahun-tahun tidak bisa merayakannya, ya silahkan saja. Kalau tidak mau berpesta, trus mendekatkan diri kepada yang kuasa ya lebih baik.

Kalau sedang musim hujan begini memang sudah menjadi langganan kita setiap tahunnya yaitu musibah banjir. Kayaknya memang sudah menjadi masalah nasional, bahwa beberapa wilayah di Indonesia ini memang menjadi pelanggan banjir tiap tahun. Tidak saja Jakarta yang memang pelik dengan permasalahan sampah dan pembangunan kanal-kanal yang tidak beres, tetapi juga beberapa kota seperti Bandung, Solo, Malang, Pacitan dan Gorontalo pun tak lepas dari banjir. Kabarnya juga pengaruh dari Efek Pemanasan Global yang beberapa waktu lalu dibahas di Bali dalam Climate Change Conference.
Nah kebetulan saat ini aku pas ada di Gorontalo dalam rangka mutasi pegawai, saat tiba disini inilah pas waktunya banjir. Cilako! Sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan, tetapi sekaligus menyenangkan.

Lho? Ya, memang begitu!


Ada apa dengan selembar uang senilai seribu perak ini? Coba perhatikan gambar di belakang uang seribuan ini. Disitu ada gambar perahu yang sedang terapung di air dengan latar belakang gunung-gunung. Gunung yang depan bernama Maitara, sebagai sebuah gundukan pulau kecil, sedangkan di belakangnya lagi sebuah gunung yang lebih besar, yaitu Pulau Tidore. Kedua Pulau itu terletak di sebuah provinsi, yaitu Provinsi Maluku Utara, provinsi yang terdiri dari kepulauan dengan bagian pulau terbesarnya adalah Pulau Halmahera.

Sudut pandang pengambilan gambar uang itu adalah dari sebuah pulau kecil juga, bernama Pulau Ternate. Disinilah pusat keramaian dari Provinsi baru ini. Meski keramaian berpusat disini, namun sebenarnya pusat kota atau Ibukota Provinsi ini letaknya di Sofifi, Halmahera Barat. Sampai saat ini (akhir tahun 2007) pusat pemerintahan masih berada di Ternate, wacana memindahkan ke Sofifi masih belum terlaksana juga.

Lalu mengapa saya bercerita tentang Provinsi Maluku Utara? Ya, karena saat ini saya memang sedang berada disini. Tepatnya di kota Ternate yang hanya berupa pulau kecil dimana kita bisa melihat pemandangan laut di sekeliling, termasuk Pulau Maitara dan Tidore yang tergambar di belakang uang seribu perak.