Langit masih berselimut mendung, hujan masih deras menikam bagai seribu anak panah di hatinya yang semakin terkoyak. Jadi dia hanya diam membisu di kamarnya yang sepi dan gelap, tanpa lampu. Badai petir dan halilintar masih terkadang menggelegar seirama jeritan hatinya yang tercabik-cabik. Tetes air mata tak lagi mampu ditahannya, meskipun lelaki sejati ini mengaku tidak pernah menangis.

Adalah sang Rama yang tersayat hatinya karena cintanya telah dinodai, membakar ranjangnya sendiri dengan dendam. Ranjang dengan lambang cinta sang Dewi Shinta itu kini telah jadi hangus menjadi serpihan-serpihan abu. Adalah Rahwana yang telah merebut cinta suci itu darinya. Cinta yang dia persembahkan dengan segenap hati dan setulus jiwanya. Cinta dari hatinya yang hanya satu, yang tidak berbelah dan tidak terbuat dari besi.

Dibukanya jendela kamar, dirasakannya hembusan angin menerpa wajahnya yang telah kusut. Rinaian air hujan telah membasahi wajahnya dan berpadu dengan air mata yang terus meleleh. Hanya satu nama yang selalu ia sebut-sebut. Shinta sang kekasih hati telah pergi, berselingkuh dengan pria berada, nun jauh di seberang sana. Hatinya semakin meradang dendam, betapa teganya sang kekasih yang dicintainya selama bertahun-tahun kini pergi begitu saja tanpa alasan.

Matanya lalu tertuju ke laci almari, dimana ia pernah menyimpan sepucuk pistol. Sebatang peluru sudah cukup untuk menyudahi hidupnya yang kini tengah berseklibut dengan keputusasaan. Sayangnya ia tak mampu lagi mengingat dimana ia simpan peluru terakhirnya itu. Yang dia ingat hanyalah sebotol racun serangga yang ia simpan di kamar sebelah. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya ia tidak akan bunuh diri kalau hanya dengan racun serangga itu. Nggak berkelas! Masih lebih keren kalau bunuh diri dengan pistol yang meledak di kepalanya. Disamping itu, rasa dan aromanya tidak enak untuk diminum, bahkan ia harus mengalami sakit perut lebih dulu sebelum akhirnya benar-benar mati. Itupun masih bisa gagal kalau kadar racunnya belum cukup untuk membunuhnya. Hasilnya ia akan malu dengan para tetangga karena gagal bunuh diri.

Dia masih berpikir. Tapi kali ini ia berencana membunuh sang Rahwana keparat itu. Tapi ia tak punya ide bagus untuk melakukannya sekarang. Hatinya yang patah sangat mengganggu ide-ide cemerlangnya. Sepertinya ia perlu waktu untuk membangkitkan kembali semangat juangnya dengan perencanaan yang matang dan strategis.

Malam berikutnya ia masih terbengong sepi di kamarnya yang hangus terbakar. Hujan dan badai tak lagi turun. Ia belum juga menemukan titik terang, apa yang harus diperbuatnya. Sebatang arang yang ia temukan diantara serpihan-serpihan ranjang itu diraihnya untuk mulai menggores di sebagian dinding yang masih putih.

Plan A: ia akan mengikhlaskannya. Biarlah Shinta kekasih hatinya itu bahagia di ranjang orang. Hatinya penuh harap kepada Sang Hyang Widhi, agar kebahagiaan selalu dicurahkan kepada kekasih hatinya itu, dimanapun ia berada. Tiba-tiba hilang keinginan meneruskan menulis plan A, lalu diambilnya gitar dan mulai bersenandung lagu sedih. Lagu yang keluar dari hatinya begitu menyayat. Seperti senandung kehancuran yang lainnya. Badai masih berkecamuk dalam hatinya, dan lagu yang dinyanyikannya pun semakin keras menghentak. Seperti musik-musik aliran heavy metal di era 80-90an.

Setelah selesai dengan nyanyiah hati yang ia senandungkan selama kurang lebih 10 menit, iapun letih. Ditaruhnya gitar di sudut ruangan dan iapun lelap tertidur.

Akan tetapi di dalam mimpinya, lagu itu belum berhenti bersenandung. Semakin menghentak dan semakin keras. Bahkan teriakan serigala malam pun tak ada yang sekeras nyanyian itu. Bayang-bayang dalam mimpinya silih berganti datang dan pergi dengan suara-suara yang seolah-olah didengarnya. Sesekali badannya terkejut-kejut selama ia tidur. Bola matanya yang terpejam tampak menggeliat-geliat mencari-cari sesuatu. Nafas tidurnya terengah-engah, bagaikan sedang berperang. Tangan dan kakinya kejang-kejang di saat-saat tertentu. Hingga pada suatu jam tertentu, terbangunlah ia dari tidurnya.

Seolah tidak terima diperlakukan tidak adil, segera dicarinya kembali sebatang arang dan melanjutkan dengan Plan B. Sebab Plan A akan sangat mungkin gagal dia wujudkan.

Seperti makhluk yang aneh, seperti kuda yang berlari kencang. Bagaikan ular melilit-lilit dengan mulut apinya yang membakar. Dia juga tidak pernah mau berhenti, seperti ombak lautan yang membelai pantai. Mesra, tapi kadang binasa.


Seperti juga kataku, gemericik air tak lagi terdengar pelan. Semakin deras bagai hujan menghujam bumi. Lalu dimanakah aku? Sembunyi dan lari dari semua itu?
Aku menikmatinya. Seperti halnya lelaki, tak mau menangis. Sedikit lebih tegar dari pohon cemara yang tertiup angin.

Seperti malam-malam sebelumnya. Kutatap ke langit di pekat hitamnya malam. Satu bintang disana. Jelas berbinar untukku. Tapi dia tidak akan pernah datang kemari menghiasi hari-hariku. Lalu kupikir semuanya telah berakhir. Setelah malam berganti, aku tak kuasa untuk menahan diri. Bintang itu, ya, aku ingin menatapnya lagi. Di setiap sunyi selalu ada nyanyian untuknya. Api rinduku, yang biasanya menghangatkanku, terkadang membakar begitu panas. Seperti yang sudah-sudah, suhu panas ini mengisi relung-relung yang dalam, bahkan sampai di puncak dan memayungi ujung-ujung yang tinggi.

Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Geli. Tapi hati tidak bisa berbohong, bahwa bayang-bayang ini sungguh memperdayaku. Terus menerus.

Sepertinya.... Akh, aku jadi malu. Aku belum cukup dewasa untuk bertemu denganmu. Padahal aku sudah memenangkan hatimu. Aku nikmati setiap pelarianku.

Seperti apa nantinya? Trus kalau kenyataannya pahit, bagaimana? Entahlah. Hanya Sang Waktu yang tahu. Kenyataan pahit tak perlu dipikirkan sekarang. Memang kutemukan sebuah taman, tapi tak ada kemungkinan untuk tentram.
Seperti yang dulu, hanya akar-akar tumbuh menjalar. Semakin melar, semakin kekar, dan semakin mekar.

Seperti gelombang, yang merapat dan merenggang. Membelai dan menyiksa. Menghadirkan senyum dan tangis, membutakan mata dan memanjakannya, membenci dan merindu, datang dan pergi silih berganti.
Seperti menikmati hiburan di televisi. Tertawa di depan televisi sudah biasa, tidak lagi dianggap gila. Hanya berbeda sedikit saja.

Sepertinya malam ini aku tak kuasa lagi untuk berhenti menyambutmu. Menghamburkan diri keluar dari keramaian dan menuju ke tanah lapang. Menatap lagi bintangmu. Meskipun pernah satu malam, dimana aku merasa tidak perlu menatap bintang-bintang itu, lebih baik tidur saja, buat apa menatap bintang, nggak seru! Namun ternyata itu tidak akan lama. Aku kembali terbuai, meski berat langkahku keluar dari istanaku sekedar untuk mencari rasi bintang Virgo, dengan gambar perawan desa yang lugu itu. Perawan desa yang datang pertama kali dengan pakaian bidadari, turun ke bumi sekedar untuk mandi. Lalu Sang Jaka Tarub datang mencuri pakaian itu dan berlagak seperti pahlawan yang hendak menolong dengan harapan bisa bersanding mesra dengannya. Lalu akupun membayangkan kemesraan itu dengan nyanyian-nyanyian nggak pantes jaman sekarang, dan sesekali kembali ke lagu-lagu jadul. Mendengar lagu-lagu itu, langit kelam dibelakang bintangmu sedang menertawaiku. “Oh, kasihan. Sang Pangeran Katak dalam tempurung! Sedang apa kau?” tanyanya penuh curiga.

Seperti Pangeran Katak, katanya. Dalam tempurung lagi? Tempurung dalam dimensi virtual yang penuh kebohongan. Hmmm... memang!

DUH, SAYANGKU! Mengapa juga engkau menempatkan Cinta pada skema yang rumit? Padahal aku hanyalah lelaki yang kautemui diantara dering telefon, serta cerita-cerita yang kutulis sambil memelototi kartu-kartu yang bergambar.



Telefon itu, telefon itulah sebenarnya yang telah mempertemukan kita sebelum pompa bensin, kedai susu, gedung bioskop, rel kereta, bandara dan jalanan yang mengantar kita menuju ke pantai.

Maka, mengakulah, kau hanya memungut kartu namaku yang terjatuh di pantai, sebelum kau cium wanginya lumpur di tamanku yang permai. Lalu kau sengaja memasang jebakan untuk memikat burung yang hendak kau piara dalam sangkar.

Tidak tahukah engkau bahwa dirimu telah jatuh tersungkur dalam jebakanmu sendiri dan tersipu-sipu malu karena tak bisa melepaskan diri.

Kalau memang engkau tidak bisa jujur, maka susurilah jalanan di tepi rel kereta itu untuk kautemukan dari mana datangnya Cinta.

Jangan sampai kaulupakan skenario yang telah kita tulis bersama, sebab di sana tidak ada kata Cinta, dan di jalanan kita hanya menemukan kerinduan.

Mungkin kau memang terlanjur mencintaiku, tetapi belum kaucintai debu-debu di sekujur tubuhku.

Karena itu janganlah lantas engkau menangisi arwahmu yang tersesat di ujung sunyi, manakala aku tak sanggup berkelahi dengan hati nuraniku sendiri.

Sementara aku juga tidak ingin bom terus meledak di rumahku untuk kesekian kalinya.

Biarpun hujan gerimis tidak lagi menyanyikan kesetiaan. Dan kesetiaanlah yang sekarang telah menjadi sampah dari peradaban yang jauh... .

Seperti engkau tahu, hati nuraniku tidak pernah mendamba adegan kekerasan Cinta seperti yang engkau saksikan di dalam cerita telenovela. Nuraniku lebih lembut dari salju dan nuranimu jangan kau lumuri dengan air mata saja.

Memang aku tidak bisa menyalahkanmu karena Cinta, melainkan karena seonggok harapan yang kaucuri dariku. Sementara aku tidak pernah merasa memberikannya untukmu, apalagi menyematkannya dalam hatimu.

Untuk itu tak perlu kauteruskan mimpi membangun rumah biru untuk cinta kita. Rumah biru yang ingin kaubangun dekat sawah ladang tempat kita bertani dan bersetubuh nanti!

Sayangku, marilah kita akhiri telenovela kita ini sebelum terlambat. Sebelum kau terhina, menungguku dengan pakaian pengantin dan boneka-boneka yang lucu.

Lalu susurilah sungai hingga kau menemukan pantai penghabisan untuk Cinta di genggamanmu. Karena di pantaiku tak ada pelabuhan untukmu.