Barangkali aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini karena hidupku saat ini setidaknya sudah seperti apa yang pernah saya cita-citakan sewaktu masa kecilku dulu. Hidup dari gaji yang diterima secara teratur dari bekerja sebagai karyawan kantoran. Pekerjaan mengurus administrasi yang bergelut dengan kertas-kertas kerja dan komputer di sebuah perusahaan, ada jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan sosial, dan tunjangan-tunjangan untuk kesejahteraan keluarga. Karir yang telah terletak di jalur mapan, siap untuk akselerasi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. Kapanpun dan dimanapun tinggal menunggu waktu sambil belajar dan terus mengembangkan diri secara continuous learning sebagaimana salah satu budaya atau corporate culture yang berlaku di perusahaan tempat aku bekerja.

Sekarang usiaku sudah hampir genap 34 tahun, usia yang masih terlalu muda untuk menggunakan pengalamanku yang hanya seujung rambut. Padahal mimpiku sudah jauh melampaui usia 300 tahun. Aku sering menggunakan “alam bawah sadar” dalam menjalani hidup ini. Meskipun akhirnya aku sadar bahwa mind set yang kubangun selama 34 tahun terakhir ini tidak bisa menandingi mind setnya nenek moyang kita yang konon usianya ada yang mencapai 350 tahun. Bagaimana mungkin usia belum genap 35 sudah mau memiliki pengalamannya orang yang berusia 350 tahun?
Sebenarnya aku sudah berkali-kali kecewa karena hidup dengan “alam bawah sadar” seperti ini. Bahkan sudah sering kali kena batunya tanpa kapok-kapok juga.
Apa sih maksudnya hidup di alam bawah sadar? Aku sendiri juga nggak ngerti-ngerti amat tentang alam bawah sadar ini, tapi kira-kira ya begini inilah!
Contoh sederhananya saja ketika aku naik motor. Aku sangat menikmati naik motor. Aku menjadi pengendara motor sejak SMA, karena pada masa itu orang tuaku baru bisa membelikan aku motor, itupun bukan motor baru. Motor second hand yang sudah tidak keluar lagi suku cadangnya, sehingga tiap kali rusak harus dibandrek dengan suku cadang lain sekenanya. Tapi waktu itu aku sudah mulai menikmati naik motor. Jauh lebih nikmat daripada naik mobil mewah sekalipun. Biar perjalanan jauh, bahkan sampai empat jam perjalananpun, biar dengan hujan, biar panas terik, asal bermotor pasti lebih aman dibanding harus naik mobil atau bus ber AC, full music, toilet di dalam.
Tapi boleh dibilang aku ini pengendara motor yang ceroboh. Aku suka sekali bermotor dengan kecepatan tinggi. Tidak selalu tinggi sekali tapi relatif lebih cepat dari rata-rata orang berkendara di jalan. Terutama kalau pas berada di jalan raya yang padat kendaraan, terasa sekali aku begitu gesit menerobos celah-celah diantara kendaraan-kendaraan yang lain. Baik lewat sebelah kiri dekat bahu jalan, ataupun ke tengah jalan. Bahkan kalau jalur kanan sedang sepi aku tak takut untuk melenggang ke kanan untuk mendahului kendaraan di depanku.
Anehnya, “sistem” pengendali motor yang bekerja pada diriku ini seperti sudah otomatis. Tanganku sudah sedemikian lihai membelok-belokkan haluan ke kiri dan ke kanan. Demikian juga kaki yang selalu siap menginjak rem sewaktu-waktu, bahkan dalam kondisi mendadak. Kaki kiri juga otomatis menggeser pedal persneling, kedepan, kebelakang tergantung kecepatannya.
Aku nyaris tidak menggunakan indera lain saat bermotor selain mata. Bahkan ketika telingaku kusumbat dengan earphone, mendengar lagu-lagu berirama Disko atau musik Rock yang kuputar dari MP3 player atau HP, sama sekali tidak mengganggu pengendalian. Satu indera yang jelas-jelas bekerja di bawah sadar adalah mata. Tanpa sadar mata ini bisa mendeteksi jarak-jarak antar kendaraan terhadap motor yang sedang kunaiki. Ketika kendaraan di depanku mendadak mengurangi kecepatannya, secara refleks kakiku menginjak rem. Begitu juga tangan kananku langsung menggenggam rem. Tidak pernah ada kejadian sampai menabrak kendaraan di depanku yang searah. Refleks merupakan gerakan yang timbul tanpa sadar sebagai suatu reaksi terhadap indera, yang kemudian baru disadari setelah proses gerak refleks selesai. Setelah menyadari inilah seringkali sadar pula dari lamunan, ternyata bahwa sebelum ada gerak refleks tadi rupanya aku melamun atau memikirkan sesuatu selama mengemudi.
Sebenarnya cara mengemudi seperti ini boleh dibilang berbahaya. Yang seharusnya dilakukan oleh seorang pengemudi adalah benar-benar konsentrasi di jalan. Tapi aku bukan pengemudi yang bisa melakukan demikian. Rasanya bagiku berkonsentrasi adalah hal paling menyiksa dalam hidup ini.
Itu hanya satu contoh, yaitu mengemudi. Contoh lain banyak!