71

Aku kembali bertemu dengan pagi yang bening ketika jam dinding menggeliat sambil bermalas-malasan. Kuraih ponsel untuk menyimak serangkaian notifikasi yang menyerbu di sisa sore kemarin. Tak ada yang istimewa. Karena seperti biasa, minggu ini akan padat sebagaimana minggu-minggu sebelumnya. Yang perlu dipersiapkan hanyalah fisik. Maka akupun segera mempersiapkan sebutir telur rebus dan secangkir teh hangat manis untuk bekal tubuh menghadapi aktivitas pagi sampai setengah hari nanti. Berharap cukup sampai siang nanti, saat waktunya mengisi perut tiba.

Aku berjalan diantara puing-puing yang tak kukenali kembali. Rasanya tantangan begitu besar untuk terus mengikis rasa sabar. Harus pandai mengukur diri terhadap ke mana arah angin bertiup. Harus tahu kapan mesti mengalir seperti arus, kapan harus bertahan seperti ikan yang berenang melawan derasnya aliran. Akhirnya akupun harus memaknai puisi karya Darwin itu, untuk bertahan dikala adaptasi harus terus dilakukan di tengah derasnya perubahan.

Lalu terdengar pula nyanyian Einstein, manakala berharap hasil yang berbeda dengan cara yang sama hanya dilakukan oleh orang gila. Lagu lama yang benar-benar populer kembali akhir-akhir ini. Ah, persetan sajalah. Ada banyak ragam kegilaan yang tidak harus demikian. Ada sisi kegilaan di setiap diri manusia, yang kadang keluar tanpa disadarinya, kadang juga disengaja. Bahkan untuk sebuah mahakarya sering dibutuhkan kegilaan yang disempurnakan. It’s a perfect insanity!