Tampilkan postingan dengan label sexygoodliving. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sexygoodliving. Tampilkan semua postingan

Cover Media Indonesia Minggu 10 01 2021

Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang terjadi pada hari Sabtu, 9 Januari 2021 sepertinya akan menimbulkan keengganan sebagian masyarakat untuk melakukan perjalanan udara beberapa minggu ke depan setelah kejadian. Hal ini tentu berdampak pada upaya pengetatan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), terutama untuk wilayah Jawa dan Bali yang akan dilakukan per tanggal 11 - 25 Januari 2021. Kebijakan tersebut diambil karena kecenderungan meningkatnya kasus Covid-19 yang menimbulkan status pandemi menjadi berkepanjangan. 

Di awal tahun 2020 lalu pernah diprediksi bahwa pandemi ini dapat mulai menunjukkan trend berakhir di bulan Oktober dan benar-benar berakhir di bulan Desember. Upaya PSBB juga pernah diambil kebijakannya di bulan Maret 2020, lalu kebijakan pembatalan libur panjang lebaran di pertengahan tahun, serta terus menggencarkan protokol kesehatan dengan melaksanakan 3M (Menjaga jarak, Mencuci tangan, dan Memakai masker). Tapi di tengah perjalanannya, kebijakan pelaksanaan New Normal diambil, yang ditujukan untuk menggerakkan kembali roda perekonomian masyarakat agar tidak terpuruk. 

Era New Normal sepertinya tidak begitu efektif. Sebagian masyarakat sudah kehilangan rasa takut akan adanya pandemi ini. Mereka seolah sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Kebiasaan baru yang seharusnya diterapkan tidak dijalankan. Yang seharusnya menjaga jarak, tidak dilakukan. Nekad bergerombol dan membuat kerumunan di acara-acara pesta dan sebangsanya. Kebiasaan cuci tangan pun mulai diabaikan. Tempat-tempat cuci tangan yang disediakan di sarana-sarana umum seolah hanya tinggal pajangan belaka, bahkan cenderung mengering, seolah tidak pernah dipakai. Apalagi penggunaan masker yang standar sesuai yang direkomendasikan pun semakin tidak dipedulikan. “Mengenakan masker” memang dilakukan, tetapi mengenakannya tidak secara benar, tidak menutupi hidung dan mulut seperti yang dianjurkan. 
 
Kemudian adanya cuti bersama maulud Nabi Muhammad s.a.w yang dirangkai dengan libur panjang di akhir bulan Oktober 2020 juga ternyata menimbulkan dugaan kuat terkait dengan peningkatan kasus Covid-19 setelah masa tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengambil kebijakan untuk meniadakan lagi cuti bersama yang dirangkai libur panjang Natal 2020 dan tahun baru 2021. Padahal sedianya cuti panjang ini merupakan penangguhan cuti panjang lebaran yang sudah ditiadakan di pertengahan tahun 2020.

Lebaran kali ini terasa berbeda sekali. Ada rasa haru dan rindu campur jadi satu. Anak-anak yang datang ke rumah untuk “bersilaturahmi” jumlahnya sedikit sekali. Tidak lebih dari 12 orang anak saja. Biasanya lebih dari itu dan sering datang bergelombang-gelombang. Gelombang pertama bisa 8-15 anak, gelombang kedua 10 anak, masih ada lagi yang mungkin dari kampung sebelah, bahkan gelombang terus berdatangan sampai sore. Tapi kali ini kok sedikit sekali ya?

Tradisi bagi-bagi “angpao”, bagi-bagi “pitrah”, bagi-bagi “zakati”, "THR" atau apalah namanya, memang dari dulu sudah tidak lepas dari tradisi lebaran di Indonesia sampai saat ini. Sejak saya masih kecil dulu juga suka ikut anak-anak kecil lainnya di kampung berbondong-bondong datang untuk “bersilaturahmi”, berhalal bihalal dari rumah ke rumah, mengikuti tradisi orang dewasa yang juga melakukan itu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dalam arti yang sebenarnya.

Sementara bagi anak-anak, maknanya bagi mereka tidak lebih hanyalah untuk mendapatkan “angpao”, “pitrah”, “zakati”, ataupun apa namanya yang jelas lembaran uang yang biasanya berupa pecahan. Ada pula yang datang dari kampung sebelah, bahkan ada yang datang dari kampung yang jauh sekali, Jalan kaki! Begitu semangatnya anak-anak ini memanfaatkan momentum yang hanya terjadi sekali setahun itu.

Ada juga kisah-kisah kenakalan seperti anak yang tadi pagi sudah datang, sorenya datang lagi ikut gelombang yang lain. Namanya anak-anak, ada juga yang sudah belajar untuk “fraud” di saat-saat terjadi momen langka seperti itu.

Sore itu tumben perut sudah terasa lapar. Biasanya nanti agak malam mulai terasa laparnya. Di saat warung-warung makan sudah tutup, di saat para penyedia jasa penyaji makanan favorit sudah tak lagi beroperasi biasanya baru terasa lapar. Kulihat jam menunjukkan waktu 17.00 WITA. Langit mendung, walaupun sudah jarang hujan.

Niat hati mau keluar rumah cari bebek goreng, makanan favorit saya. Daripada nanti pulang kehujanan, atau terjebak hujan, kuputuskan pergi menggunakan mobil saja. Walaupun terasa aneh saja pergi sendirian menggunakan mobil. Biasanya saya lebih memilih menggunakan motor untuk sekedar cari makan di warung. Tak lama sayapun segera cuzz… menuju TKP.

Gerimis mulai menitikkan air di kaca mobil. Tempat jualan bebek penyet itu lumayan jauh dari rumah. Benar sudah keputusan untuk tidak bermotor menuju ke sana. Bisa basah kuyup kedinginan nanti. Niat mau cari kehangatan bebek goreng malah jadi kedinginan oleh kuyup air hujan.

Setiba di tempat makan, hujan sempat beberapa kali turun deras. Tak lama berubah hanya gerimis biasa, lalu deras lagi. Gerimis lagi. Begitulah, tandanya musim hujan sudah mau berakhir. Seperti biasa, pesanan bebek penyet disitu tidak langsung instan. Butuh ditunggu dulu. Disamping bebeknya harus ditangkap digoreng dulu, sambalnya juga dibuat “on site” dan “on demand” sesuai level pedas yang diinginkan. Bayarnya di muka.

Akhirnya tersaji juga tuh sang bebek hangat. Setelah tersaji, tak butuh waktu lama buat melahapnya. Lebih cepetan melahapnya daripada menunggu tersajinya. Dasar perut juga sudah semakin ramai memainkan K-Pop. Tau lah, tingkat kelaparan berbanding lurus dengan kecepatan makan.

Singkat cerita tuh bebek dah bener-bener tamat deh. Sampai sini kan gak nyambung sama judulnya, yak? Kok jadi mbahas makan bebek goreng? Sabar, Son…. Belum kelar nyampek sini.

Ya, kamu tidak salah baca. Bukan judul film “Ada Apa dengan Cinta” (AADC) yang saya maksud. Bukan juga tentang Dian Sastro yang pernah menjadi primadona dan buah bibir disaat AADC dan AADC2 sedang “meledak”. Lalu kenapa gambar yang dipasang kok gambarnya si Dian Sastro? Ya, karena dia itu cantik dan mempunyai organ tubuh yang seksi .... Hmmm....

Ini ngomongin Cina. Ya, Cina yang merupakan bangsa dari negeri tirai bambu itu, bukan ras cina yang sudah menjadi warga negara Indonesia yang hidup berdampingan dengan kita-kita. Ada yang menulisnya China, ada yang Cina tanpa huruf “h”. Entah mana yang benar, saya belum sempat konfirmasi ke KBBI daring maupun luring. Yang jelas saya sudah kebelet mau cerita tentang Cina ini.

Ditengah kekhawatiran bangsa kita akan adanya invasi besar-besaran bangsa Cina, di tengah hiruk-pikuk keberadaan bangsa Cina yang tahu-tahu sudah merebak dan tersebar di tengah-tengah kehidupan kita, masih belum hilang dari ingatan adanya wilayah tanah air kita yang diduduki oleh bangsa Cina, termasuk hadirnya kapal-kapal perang Cina yang sempat menerobos masuk ke perairan negeri ini.

Bahkan mungkin sebagian orang sudah ada yang bersiap siaga menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi ke depan. Ada banyak tanya terbersit dalam hati, yang juga belum terjawab.

Kemarin tetiba saja saya mendapati kunjungan pemirsa di blog ini seakan “meledak”, dari kunjungan mingguan di bawah 200 pengunjung perminggu, lha kok tiba-tiba kemarin kulihat sampai 3000an pengunjung. Ada apa ini? Hal ini juga pernah terjadi waktu itu di tahun 2012 orang Suriname yang menyerbu kesini, seakan datang berbondong-bondong, entah memang banyak orang atau hanya satu orang yang melakukan kunjungan berulang kali. Tapi yang jelas, waktu itu sempat ada seorang bapak asal Suriname yang komentar di tulisan saya, lalu terjadilah beberapa percakapan.

Suatu saat karena lama tidak nongol di medsos, saya sempat mengintip obrolan di sebuah grup WhatsApp teman-teman sekolah dulu. Saya dapati mereka sedang berencana pergi ke pantai bersama-sama. Ada usulan-usulan ke pantai A, pantai B, pantai C, dan sebagainya. Saya tidak ikut nimbrung. Percuma saja toh saya tidak berada di Jawa. Saya juga belum tentu dalam waktu dekat akan berkumpul bersama mereka.

Kalaupun saya pulang ke Jawa paling akan menjenguk keluarga saya dulu, itupun waktu saya sudah habis. Kerja ikut orang ya harus ikut aturan orang, tidak bebas menentukan kapan bisa pulang. Harus ada perencanaan matang untuk sebuah cuti panjang.

Karena sudah terlanjur kangen dan kondisi belum bisa memungkinan pulang, maka sayapun hanya menelusuri jalan melalui aplikasi Google Map dan menemukan foto di lokasi yang terlebih dulu ditandai. Lumayan, serasa jalan-jalan walau hanya di angan-angan. Hiks.... Segitunya....

Seperti biasa, saya hanya menyimak saja. Dalam hati, saya sudah setiap hari melihat pantai. Saya justru pingin melihat hamparan sawah yang hijau dengan aromanya yang harum khas aroma padi tercium saat angin berhembus sepoi-sepoi. Pantai sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Tentu ini akan menjadi sebaliknya bagi mereka. Setiap hari yang dilihatnya hamparan kota yang sudah penuh sesak dengan kemacetan jalan. Panasnya kemarau yang terik tak sempat membuat keringat menetes, langsung menguap. Panas kering udara di tengah daratan Jawa seperti di Solo dan sekitarnya.

Begitulah polanya. Orang daratan merindukan pantai, orang pantai merindukan daratan.

Lihat, dalam sebulan nama gue diganti.
Gue jadi ibu-ibu junub, ups....
Bapak/ibu yang baik hati dan bermutu tinggi, serta sahabat-sahabatku yang seksi dan seksi sekali… Tolong kalau menghubungi saya di nomor telepon 081356622XXX untuk pertama kalinya (belum pernah kontak sebelumnya) agar terlebih dulu SMS atau kirim pesan WA, memperkenalkan diri dan sampaikan maksud tujuan. Nanti Insya Allah saya yang telpon balik, deh! Begitu juga yang punya nomor baru yach?

Hampir setiap hari saya selalu dapat kiriman SMS dari orang-orang jualan. Mulai dari penjual gak jelas yang jualan nomor cantik kartu seluler, jualan duit (nawarin utang dengan jaminan BPKB), sampai dengan yang jualan di outlet-outlet resmi seperti J.Co, Dunkin Donut, Matahari Mall (MCC), Hypermart, Fun World, Timezone, dan masih banyak lagi.

Ya kesannya sih gue orangnya konsumtip banget gitu yak? Padahal sebagai orang ndeso hidup di desa pojokan NTT (Nusa Tenggara Timur), sinyal hilang-timbul, saya jauh dari outlet-outlet itu semua.

Belum lagi yang suka nelpon nawarin segala macem produk, mulai dari produk asuransi sampai paket nginep di hotel bintang lima, enam, tujuh di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Duh, mbok nawarin itu service motor gratis plus ganti oli dan sparepart gitu malah kepakek. Kebetulan nih cuma dapet pinjeman motor butut, kalau direm jalannya megal-megol kayak bebek. Namanya juga motor bebek. Lumayan buat jalan 'tuk sekedar beli tahu penyet di rumah makan ala warung "Suroboyo".

Mendengarkan nyanyian John Legend yang berjudul All of Me pada awalnya saya tidak tertarik. Kemudian sesuatu terjadi....

Lagu itu sering terdengar di tempat orang jualan CD (compact disc, maupun celana dalam), di mall, di swalayan, hypermarket, di radio mobil, bahkan di dalam pesawat terbang. Saya tidak menyukai musik piano yang "duet" dengan vokal seperti itu. Apalagi lagunya slow begitu. Rasanya tidak sabar saja untuk mendengar lagu selanjutnya. Andaikan lagu itu mengalun di gadgetku, bisa kupastikan aku menyentuh tombol "next" dan membiarkannya berlalu.

Telinga saya lebih menikmati suara instrumen (sound) daripada suara penyanyinya (voice). Walaupun tidak semua permainan musik instrumentalia bisa saya nikmati, tetapi vokal yang tidak dominan dengan aneka suara instrumen musik yang mengiringinya lebih enak terdengar bagi saya. Kalau ada lagu yang tidak menggunakan intro musik, melainkan vokalnya yang mendahului, saya tidak begitu tertarik untuk mendengar keseluruhan lagu itu sampai selesai.

Kemarin iseng membeli DVD instrumentalia biola. Violistnya bernama Lindsey Stirling. Sudah lama tidak menikmati biola setelah dulu pernah memutar grup musik Bond dengan permainan kuartet biola rame-rame yang terkenal dengan lagunya yang berjudul Victory.

Sejujurnya saya takut menggunakan judul ini. Karena ketika kita menyebut kata "pulang", bisa berarti pulang yang sesungguhnya: pulang ke rumah; tapi bisa jadi pulang entah ke mana. Pasalnya saya jadi kehilangan makna "pulang" itu sendiri. Tidak tahu ke mana saya akan "pulang" dalam maksud yang sesungguhnya. Saya memiliki rumah, tetapi dalamnya kosong tanpa cinta, tanpa derai tawa, tanpa penghuni. Kalaupun saya "pulang" ke rumah ini, tentu bukanlah "pulang" yang saya maksudkan. Apa sejatinya "pulang" itu?

Beberapa waktu lalu saya bisa menyempatkan diri "pulang" ke Gorontalo dan tinggal sehari semalam di rumah penuh kenangan itu. Rumah kecil yang sederhana, tapi benar-benar terawat, bersih dan tidak berbau. Hanya saja instalasi listriknya jadi sedikit berantakan akibat beberapa saklar yang sudah aus dan mengalami malfungsi. Yang pernah menempati rumah ini menambahkan beberapa helai kabel yang melintang pukang di atas ruang tamu, sehingga pemandangan menjadi tidak sedap, tidak rapi. Saya datang ke sana sibuk membenahi kembali. Sayang tidak selesai, tidak cukup waktu, disamping peralatan yang serba terbatas.

71

Aku kembali bertemu dengan pagi yang bening ketika jam dinding menggeliat sambil bermalas-malasan. Kuraih ponsel untuk menyimak serangkaian notifikasi yang menyerbu di sisa sore kemarin. Tak ada yang istimewa. Karena seperti biasa, minggu ini akan padat sebagaimana minggu-minggu sebelumnya. Yang perlu dipersiapkan hanyalah fisik. Maka akupun segera mempersiapkan sebutir telur rebus dan secangkir teh hangat manis untuk bekal tubuh menghadapi aktivitas pagi sampai setengah hari nanti. Berharap cukup sampai siang nanti, saat waktunya mengisi perut tiba.

Aku berjalan diantara puing-puing yang tak kukenali kembali. Rasanya tantangan begitu besar untuk terus mengikis rasa sabar. Harus pandai mengukur diri terhadap ke mana arah angin bertiup. Harus tahu kapan mesti mengalir seperti arus, kapan harus bertahan seperti ikan yang berenang melawan derasnya aliran. Akhirnya akupun harus memaknai puisi karya Darwin itu, untuk bertahan dikala adaptasi harus terus dilakukan di tengah derasnya perubahan.

Lalu terdengar pula nyanyian Einstein, manakala berharap hasil yang berbeda dengan cara yang sama hanya dilakukan oleh orang gila. Lagu lama yang benar-benar populer kembali akhir-akhir ini. Ah, persetan sajalah. Ada banyak ragam kegilaan yang tidak harus demikian. Ada sisi kegilaan di setiap diri manusia, yang kadang keluar tanpa disadarinya, kadang juga disengaja. Bahkan untuk sebuah mahakarya sering dibutuhkan kegilaan yang disempurnakan. It’s a perfect insanity!

Semua orang percaya akan Surga. Tempat di akhirat yang sarat kenikmatan kekal abadi yang dijanjikan untuk para manusia setelah berakhir kehidupan dunia. Tentu saja yang bisa masuk ke sana yang timbangan amalnya memenuhi syarat. Yang tidak lolos kualifikasi terpaksa harus dijebloskan ke tempat lain yang katanya enggak enak banget!

Sejatinya manusia belum pernah ada yang sudah melihat Surga, sehingga mereka menggambarkannya dengan keindahan-keindahan yang biasanya ada di dunia. Walaupun disadari bahwa surga dunia tidak seberapa kalau dibanding surga yang sesungguhnya, tapi orang banyak yang terbuai dengan keindahan dan kenikmatan duniawi. Maka banyak yang terbuai oleh surga dunia itu dan malah justru melupakan surga yang di sana. Jangan lah....

Salah satu cerita yang sempat kita dengar tentang Surga adalah bahwa ketika kita memikirkan sesuatu, menginginkan makanan misalnya, maka makanan itu akan datang sendiri kepada kita. Sampai seperti itu kenikmatan yang ada di surga sana, katanya lagi nih.

Aku masih meregangkan keangkuhan di tengah pedihnya duri yang menancap di dada. Masih setega itu kau membuka diri untuk dihinggapi kekejaman itu? Lalu dimanakah kausimpan cintamu padaku di saat itu? Aku sungguh tidak percaya dan tidak terima ini semua.

Engkau telah berguru kepada keledai dungu itu selama bertahun-tahun, maka kinipun kau tak lagi bisa membedakan kasih sayang dengan kekejaman. Bagaimana bisa, ketika kau sudah dihempaskan, diludahi, dihina, dan disiksa, lalu kaubalas dengan tempat teduh yang berisikan kasih sayang itu?

Dari dulupun aku hanyalah angin yang jauh. Yang berhembus tak tentu arah dan waktu. Hanya terkadang mampu terbang menghampiri di saat masih cukup tenaga dan waktu. Begitu juga dengan hujan, di saat musimnya tidak datang, akupun hanya bisa diam. Menunggu dan bersabar.

Masih embun pagi jugalah aku. Bening, kosong, tercerai-berai dari luapan rindu yang menggumpal. Tapi akan selalu membeku selama kehangatan itu tidak pernah terbit. Hanya hujan yang terus berbicara. Seperti tangismu. Terisak dalam kegetiran.

Lautan masih bergelombang ketika serpihan rindu itu beradu dan semakin menyatu. Bergumpal di permukaan dan menelusuri lekuk-lekuk hingga pedalaman. Menciptakan sensasi keinginan untuk bertemu dan mencairkan kembali gumpalan bermuatan gairah itu melalui sentuhan-sentuhan cinta.

Akhir-akhir ini aku lebih suka menyepi. Sendiri dalam hamparan khayalan. Menatap pemandangan di sebalik pelupuk mataku dan menciptakan kenyataan semu demi sebuah keindahan sesaat. Walau radang dalam rongga dada ini semakin tak bisa ditahan lagi, tapi semakin aku merasa tidak punya daya meraih harapan itu. Maka sebaiknya aku menunggui detik waktu, sambil terus menghitung hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan seterusnya. Karena aku yakin, kereta cinta akan segera menjemputku untuk menemui harapan itu, dimana pernah aku titipkan sebagian dari hati ini disana.

***

Sebagian harapan itupun terpercik. Kenangan tercipta walau tak sempurna tertulis di dalam catatanku. Kupeluk dahan-dahan kerinduan dan kupanjat ketinggian hasrat. Seperti biasa, akupun menemukan seonggok cinta yang beradu dalam desah nafas dan deru dendam kerinduan.

Lalu kutuliskan kenangan, tentang mengapa hanya ada kebersamaan yang bisa mengijinkan kerinduan itu mencair, mengalir dan menggenangi relung-relung yang dalam. Sehingga bisa dibayangkan betapa tersiksanya ketika kebekuan tergumpal sesak menggelayut di rongga dada.

Lalu kembali kupeluk ranting-ranting yang tersisa, dan kupanjat ketinggian hasrat untuk kedua kalinya. Kembali, akupun menemukan seonggok cinta yang terbuai di sebalik lagu merdu dan deru dendam kerinduan itu lagi.

Fenomena kehidupan memang silih berganti. Hilang timbul seperti riak gelombang di lautan. Kalau pas timbul, dia bisa begitu hebat. Menjadi trending topic di mana-mana. Mulai dari pembicaraan di warung-warung gorengan sampai di media sosial. Kalau sudah saatnya hilang, diapun lenyap seperti hantu. Kadang hilang tak berbekas.

Nah, kali ini sepertinya kita kembali ke jaman batu. Orang begitu tertarik dengan bebatuan sebagai perhiasan dan koleksi. Kalau dilirik sekilas memang ada menariknya disana. Ada banyak jenis dan warnanya. Bahkan klasifikasinya pun jelas, ada yang termasuk kategori barang mahal, ada juga yang biasa-biasa saja. Harganya bisa berkisar ratusan ribu sampai ratusan juta. Bahkan ada yang mencapai miliaran.

Herannya lagi, batu perhiasan bukan hanya laku dijual sebagai barang jadi yang sudah berupa cincin atau liontin. Batu yang masih berupa bongkahan pun laku dijual dengan harga puluhan ribu sampai jutaan rupiah.

Penjual batupun menjamur di setiap sudut kota. Menjual aneka bongkahan batu mentah yang digelar di atas selembar karung bekas sampai dengan batu yang dipajang di lemari kaca dengan dudukan berputar disertai pencahayaan yang menarik.

Batu perhiasan ini dikenal dengan nama "akik". Kalau mau tau tentang batu akik yang paling populer dan mahal harganya, kamu bisa lihat di www.akiks.com.

Nah, pada kesempatan ini saya hanya mau unjuk gigi saja. Satu-satunya batu akik yang saya punya sampai dengan blog ini saya tulis, saya jadikan istimewa. Dia bisa "mengambang" di udara. Jelas ini trik, tapi bagaimana saya melakukan trik itu?

Saya pernah dengar orang bilang, kalau kamu ngaku pernah ke Papua, belum ke Papua itu namanya kalau kamu belum ke Wamena. Dimana itu Wamena? Di Kabupaten Puncak Jaya, sebuah lembah di bawah gunung Jayawijaya bernama lembah Baliem. Di sana suku pedalaman berada. Tempat hidup para penduduk asli Papua.

Walaupun banyak ragam suku dan peradaban yang tersebar mulai dari Sorong, Manokwari, Biak, Timika, Jayapura dan Merauke, tapi yang namanya Wamena ini secara geografis berada di pusat (pertengahan) daratan besar Papua. Jadi boleh saya katakan, di sanalah inti dari keaslian Papua yang sebenarnya.

Nah, beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi tempat paling eksotis itu. Urusan pekerjaan, sih. Biasa, akhir tahun ternyata seru untuk menyelenggarakan petualangan. Apa lagi kalau bukan karena banyaknya target-target yang belum tercapai. Target-target ini biasanya menumpuk di akhir tahun dan mengharuskan untuk dikejar agar pencapaiannya maksimal.

Lho, mengapa harus ditumpuk di akhir tahun, sih? Kenapa nggak dilaksanakan di awal-awal tahun? Masih banyak waktu, kan? Lalu ngapain aja awal tahun? Nganggur? Ntar aja deh njelasinnya. Sekarang ngomongin petualangan dulu, biar tetap seru dulu!

Ceritanya saya harus mengantar klien saya untuk melakukan tugasnya di sana. Enggak mungkin dia jalan sendiri ke sana tanpa didampingi. Saat itu pembagian tugas sangat ketat, akhirnya saya memang harus menerima tantangan untuk ikut blusukan ke daerah yang konon kabarnya penuh konflik dan keprimitifan itu.

Hari ini mungkin sudah ada sekitar sebulan aku merasakan Internet lemot, baik dari koneksi seluler di ponsel pribadi maupun koneksi kabel di kantor. Hal yang sebenarnya bikin bete banget, karena di jaman Internet ini seakan semuanya sangat tergantung dengan Internet. Untuk memulai pekerjaan juga sudah terpola seperti itu, tidak lepas dari membuka kembali apa yang menjadi hot issue hari ini melalui koneksi yang bernama Internet itu.

Biasanya kita membuka e-mail dulu untuk mencari tugas-tugas yang harus diselesaikan hari ini, kalau tidak ada, baru menyelesaikan tugas lain yang kemarin belum kelar. Tidak jarang di hari kerja kita sering mendapatkan tugas cito alias dadakan untuk diselesaikan hari itu. Tapi kalau Internet tidak bersahabat, sering kali kita tidak tahu. Nanti tahunya sudah terlambat mendekati deadline waktu, akhirnya kelabakan dan hasilnya harus pulang malem untuk menyelesaikannya sampai tuntas.

Kalaupun tidak ada tugas cito, tugas kemarinpun kalau sudah selesai, untuk dikirim juga tidak bisa. Oh, betapa susahnya kalau koneksi Internet bermasalah, pada saat jaman sudah menuntut informasi harus dialirkan seperti halnya streaming.

Itu urusan kerjaan. Kalau hari libur lebih bete lagi. Tidak ada hiburan yang lebih seru daripada bermain ponsel, browsing informasi-informasi yang menghibur, baca-baca berita, atau menuangkan gagasan dalam bentuk postingan di Fesbuk, Twitter, atau bahkan Blog. Padahal salah satu hobi saya itu juga membuat jepretan foto dan mengaplod gambar di Instagram. Kalau Internet lelet, jadi males juga akhirnya bikin foto dan ngetik di blog. Yang pasti lagi, ketinggalan berita!

Lho kan ada sarana lain? Radio, televisi, surat kabar?

Kurang lebih sudah dua minggu lebih saya nggak main-main di Fesbuk. Padahal sebelumnya hampir setiap hari paling rajin main di sana. Walaupun nggak update status, tapi setidaknya komen-komen atau sekedar baca-baca celoteh temen yang kadang bikin geli.

Akhir-akhir ini lemotnya jaringan semakin bikin putus asa. Aplikasi fesbuk yang biasanya menghadirkan berita-berita yang biasanya di-share oleh teman-teman, sekarang tidak terasa lagi. Yang ada hanyalah berita basi yang sudah banyak dikomenin dan sudah nggak dibahas lagi.

Dalam pekerjaanpun, koneksi internet semakin membikin tambah stress. Download lampiran dari e-mail seringkali terputus dan tidak bisa terbuka alias corrupt. Walaupun kadang koneksi terasa begitu lancar, tapi seringkali juga putusnya sedemikian lama. Kalau misalnya saya harus mengirimkan laporan yang sudah mendekati deadline-nya, ini merupakan hal paling memusingkan dan bikin frustasi.

Pada saat yang sama datanglah php (pemberi harapan palsu) berupa hadirnya tekhnologi baru sinyal 4G LTE yang katanya super-cepat. "Sinyal Internet seluler" generasi ke empat "Long Term Evolution" itu pastinya akan diklaim sebagai sarana koneksi internet paling cepat saat ini. Kehadiran koneksi 4G LTE (Long Term Evolution) diyakini mampu meningkatkan produktivitas rakyat disegala bidang.

Desember tahun 2014 ini ada serangkaian musibah yang terjadi. Mulai dari banjir di Jakarta, tanah longsor di Banjarnegara, kebakaran pasar Klewer di Solo dan terakhir Kecelakaan pesawat Air Asia di selat Karimata. Kalau ditambah musibah yang bersifat pribadi, diantara serangkaian musibah itu juga bertepatan dengan meninggalnya bapak mertua kami di Solo (26/12/2014). Akhir tahun kok ending ceritanya nggak indah dan seksi gini yach?

Padahal kepulanganku ke Solo hanya untuk menjemput anak sulung untuk bisa berlibur di Jayapura, berkumpul sekeluarga menikmati malam pergantian tahun nanti. Eh, ada peristiwa dadakan yang sepertinya terjadi dengan sangat kebetulan sekali. Akhirnya kabar duka itupun harus aku kirimkan dengan berat hati kepada istri yang sedang bersama si anak bontot di Jayapura sana.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un...
Semoga mereka yang meninggal di akhir tahun ini diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa dan diberikan tempat layak di sisiNya sesuai amal ibadah masing-masing.

Desember yang mengharukan. Desember kelabu, penuh rasa duka menyelimuti kami maupun sebagian masyarakat yang ditimpa musibah. Desember penuh air mata dan isak tangis, hampir tak berbeda dengan Desember-Desember sebelumnya sejak bencana besar Tsunami Aceh 2004 lalu. Malah mungkin lebih lama lagi, sejak terdengarnya lagu berjudul "Desember Kelabu" sekitar tahun 80-an lalu!

Gemulai sang Waktu masih mengiringi di saat terbangun dan menghadapi kenyataan bahwa sebagian dari sunyi telah terbenam dalam noda hitam.
Seperti mimpiku yang entah berawal dari mana tiba-tiba mengusik lagi kenangan yang telah pudar, seribu tahun lalu.
Terbenamnya semua kecurigaan tak berarti bahwa angan-angan harus surut ke belakang, menghindari segala kemungkinan.
Meretas misteri masa depan dan berharap akan ratusan harapan yang indah-indah dengan tidak peduli keletihan melanda kini.

Merenda kasih, dalam kegelapan tangis dan kesedihan, mencoba terharu di setiap pemulihan dan terus berkibar laksana panji kemenangan.
Tidak pernah lekang dan surut ketika semangat kebersamaan selalu dicurahkan kepada kasih, entah seberapa besar dampaknya.
Hanya mengundi nasib dengan sedikit kecerobohan, tidak peduli serangga yang berdengung siang dan malam, menyanyikan kidung pesan sang Alam.
Sebagaimana sinar, menembus dimensi ruang dan waktu, menelusuri setiap jejak masa lalu, masa kini dan masa depan, terus bergulir.
Hanya kekekalanlah yang terus hidup, walaupun letih dan lesu mengiringi, keinginan, penderitaan, dera kepedihan, juga senyum.

‎Pagi hari yang bening. Aku baru saja bangun tidur di sebuah hotel yang berada di pinggiran Teluk Jayapura. Membuka jendela, suasana cerah dengan pemandangan air laut yang berkilauan di sinar matahari.

Menggeliat sejenak sambil melakukan gerak badan ringan. Terasa penatnya badan setelah semalam mengakhiri sebuah acara akbar, Jambore Pelayanan Primer yang dihadiri para dokter dan petugas Puskesmas serta Klinik Pratama serta Klinik TNI/Polri. Acara berlangsung tiga hari dari Rabu sampai Jumat (27-29/08/2014), aku bertindak sebagai pimpro, alias ketua panitia kegiatan kantor itu.

Pagi ini aku bersyukur sekali, semua berjalan lancar. Tak ada permasalahan yang berarti, walaupun kekurangan selalu saja ada. Tak mungkin sebuah event benar-benar berlangsung perfect dalam pandangan setiap orang. Tapi secara umum, semua berjalan lancar.

Baru awal puasa lalu aku bergabung disini. Sekitar dua bulan lalu aku menjadi bagian dari teamwork baru di Divisi Regional Papua ini. Memiliki teamwork yang hebat seperti ini memang sebuah keberuntungan bagiku. Tidak terbayang puluhan tahun silam aku akan bisa seperti ini. Masih terasa begitu beratnya memimpin sebuah organisasi remaja, muda-mudi karang taruna RT di kampungku, untuk pertama kalinya dipercaya memimpin waktu aku masih berusia belasan tahun. Yang memimpin dan yang dipimpin masih sama-sama belajar berorganisasi. Kini, ibaratnya hanya dengan tersenyum saja mereka tahu, hal terbaik apa yang harus dilakukan.


Membaca judul di atas, apa yang ada di benak kalian? Sinetron? Kisah cinta remaja yang bingung menentukan siapa pilihan hatinya untuk dipacarin/dinikahin? Atau jangan-jangan kamu mengira saya mau curcol soal masalah pribadi? Masalah cinta? Elo kira gue udah mulai mendua? Elo aja kalik, gue enggak! Wkwkwkwk....


Tapi ada benarnya kok. Benarnya di bagian curcolnya itu. Masalah pribadi juga sih. Tapi bukan masalah cinta. Loh... loh... Tapi kan judulnya cinta? Iya, tapi bukan cinta-cintaan ala sinetron seri yang sering ditonton ibu-ibu dan remaja putri di televisi. Ini tentang "sebentuk cinta yang lain". Waw...! Penasaran kan? Makanya, simak nih!

Tak terasa pada hari ini kita sudah memasuki hari ke-21 di bulan puasa tahun ini. Bulan puasa adalah tempatnya umat muslim menjalankan ibadah secara "padat karya" (Istilah tepatnya apa ya? Ntar saya revisi deh kalau udah ketemu). Bukan saja menahan nafsu untuk sekedar makan dan minum, tapi juga nafsu-nafsu yang lain. Termasuk menahan diri dari nafsu amarah dan godaan emosional terhadap lawan jenis, entah itu orang lain maupun pasangan hidup, entah itu pacar atau istri sendiri.

Di bulan puasa umat muslim bukan saja harus menghindari larangan-larangan, melainkan juga memperbanyak ibadah yang sunah. Tentu saja yang wajib tetep jalan terus. Disinilah saya menyebutnya "padat karya" karena segala bentuk ibadah akan dilakukan oleh umat muslim sebanyak-banyaknya. Demikian juga larangan-larangan akan dihindarinya sejauh-jauhnya.