Saya pernah dengar orang bilang, kalau kamu ngaku pernah ke Papua, belum ke Papua itu namanya kalau kamu belum ke Wamena. Dimana itu Wamena? Di Kabupaten Puncak Jaya, sebuah lembah di bawah gunung Jayawijaya bernama lembah Baliem. Di sana suku pedalaman berada. Tempat hidup para penduduk asli Papua.

Walaupun banyak ragam suku dan peradaban yang tersebar mulai dari Sorong, Manokwari, Biak, Timika, Jayapura dan Merauke, tapi yang namanya Wamena ini secara geografis berada di pusat (pertengahan) daratan besar Papua. Jadi boleh saya katakan, di sanalah inti dari keaslian Papua yang sebenarnya.

Nah, beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi tempat paling eksotis itu. Urusan pekerjaan, sih. Biasa, akhir tahun ternyata seru untuk menyelenggarakan petualangan. Apa lagi kalau bukan karena banyaknya target-target yang belum tercapai. Target-target ini biasanya menumpuk di akhir tahun dan mengharuskan untuk dikejar agar pencapaiannya maksimal.

Lho, mengapa harus ditumpuk di akhir tahun, sih? Kenapa nggak dilaksanakan di awal-awal tahun? Masih banyak waktu, kan? Lalu ngapain aja awal tahun? Nganggur? Ntar aja deh njelasinnya. Sekarang ngomongin petualangan dulu, biar tetap seru dulu!

Ceritanya saya harus mengantar klien saya untuk melakukan tugasnya di sana. Enggak mungkin dia jalan sendiri ke sana tanpa didampingi. Saat itu pembagian tugas sangat ketat, akhirnya saya memang harus menerima tantangan untuk ikut blusukan ke daerah yang konon kabarnya penuh konflik dan keprimitifan itu.

Yuk, jalan! Siapa tahu bisa liat orang-orang yang hanya pakai koteka dan perempuan-perempuan eksotis bertelanjang dada di sana. Niatnya memang sudah bulet untuk melengkapi pengalaman hidup ini biar bener-bener indah dan seksi untuk dijalani. Hehehe....

Awalnya agak deg-degan juga sih. Banyak kabar miring bahwa di sana masih banyak orang primitif yang memiliki cara sendiri dalam melakukan pergaulan dan hubungan antar manusianya. Jangan berharap kamu bisa berlindung di bawah hukum negara ataupun bicara masalah HAM. Mereka punya hukum adat yang jauh lebih dominan dari semua itu. Kalau kamu sampai terlibat konflik sama mereka, ya sudah, siap-siap saja untuk membunuh ataupun dibunuh.

Kejam, sih. Tapi ini serius loh! Tidak jarang diantara mereka saja sering terlibat perang suku, berebut lahan, berebut hasil bumi, apalagi terhadap pendatang. Tak jarang mereka beranggapan para pendatang ini hanyalah penjajah, datang bawa tas kecil, pergi bawa karung. Maknanya adalah bahwa mereka sering beranggapan kalau para pendatang itu pekerjaannya hanya mengeruk harta benda yang dihasilkan di daerahnya. Terutama yang berupa hasil bumi.

Sudah ada di pikiran mereka bahwa tanah yang mereka tinggali itu adalah tumpukan emas. Jadi mereka selama ini tidur di atas timbunan harta. Mereka kaya, tapi tidak tahu memperlakukan kekayaannya itu dan hanya merelakan para pendatang mengambilinya.

Kalau merasa tersinggung, mereka bisa tanpa kompromi menebas orang atau menusuk dengan tombak sampai terburai isi perutnya. Mereka juga punya senjata panah yang lebih diandalkan saat perang antar suku.

Tapi tenang saja. Kita harus pandai-pandai mengambil hati. Mereka biasanya suka disapa dan ditunjukkan kalau kita datang baik-baik dan bersahabat. Lain dengan di Jawa, misalnya, menyapa orang tak dikenal bisa dianggap gila atau bahkan dicurigai macem-macem lantaran sok kenal-sok dekat (SKSD). Tapi perilaku SKSD ini rupanya suatu keharusan untuk dilakukan. Tunjukkan kalau niat kita baik. Itu saja.

Bersiap juga untuk merogoh kocek buat kondisi kepepet. Jangan sembarangan mengeluarkan dompet, tangan mereka lebih cepat meraih lembaran merah dan biru dari dalam dompetmu. Jangan sampai menabrak babi atau anjing. Babi dan anjing disana sangat dihargai. Nilainya lebih mahal dari emas. Kalau sampai kamu menabrak babi sampai mati, kamu disodori sebuah kantong besar, disuruh memenuhi kantong itu dengan uang, sampai penuh! Tentu saja sebagai ganti hartanya yang telah kauhilangkan.

Banyak aturan main yang kita nggak tau. Jadi, berhati-hatilah.

Berangkat...!

Ke sana cuma bisa naik pesawat. Disamping karena jauhnya, kondisi geografis di sana tidak selalu bisa memungkinkan menempuh jalan darat. Penerbangan bisa memakai pesawat kecil, pesawat baling-baling dengan kapasitas 9-16 orang, yang selalu bergoyang-goyang saat dihembus angin kencang. Syukurnya sudah ada juga pesawat besar dengan mesin jet menuju ke sana. Kapasitasnya lebih besar dan stabil saat terbang. Tidak mudah goyang saat menerjang awan.

Sebuah pendaratan yang tidak mulus itu sudah biasa. Jangan berharap kamu bisa mendarat indah seperti saat kamu landing di bandara-bandara besar. Bersiaplah untuk berguncang riang, saat roda pesawat mulai menapaki bumi. Anggap saja sebuah orgasme/ejakulasi yang penuh ketegangan dan guncangan dan berakhir indah. Hahaha.... serius amat sih, bacanya? Tapi saya cerita kondisi yang sebenarnya, kok!

Turun dari pesawat, bersiaplah untuk menghadapi shocking truth selanjutnya. Nggak usah melongo, don't drop your jaw! Stay cool dan tetap tersenyum! Sebab kalau nggak, kamu akan bertanya-tanya, "Itu bandara atau kandang ayam?" Hanya bangunan dari kayu kasar sebagai kerangkanya dan papan-papan sebagai dindingnya serta kawat-kawat jaring sebagai pengganti kaca jendelanya.

Kok bisa? Ya bisa. Nggak populer yang namanya bangunan batu dengan perekat semen. Semen harganya sampai setengah juta satu saknya, pada saat di Jawa harganya sekitar 50-60 ribu. Sekarang saja sudah mulai banyak bangunan tembok semen, tapi entah mengapa bandara itu sedemikian tertinggal. Tapi jangan tanyakan jadwal penerbangannya. Bandara kecil itu sibuk mendatangkan dan menerbangkan pesawat sepanjang pagi sampai sore hari. Saat malam tentu saja suasana kembali mencekam. Jangan pernah keluar malam, deh!

Sebenarnya masih banyak cerita tentang Tanah Papua. Ntar saja ya? Kapan-kapan kan bisa disambung lagi? Sekian dulu deh... ngantuk nich....

0 komentar: