Dalam sebuah kisah antara seekor Mama Babi dengan anak-anaknya, terjadilah sebuah percakapan:

“Ma… mengapa kita ini disebut ‘babi’ oleh para manusia? Mereka tidak menyebut kita si A, si B, si C, dan banyak sekali nama-nama seperti yang dimiliki manusia. Kita ini sama-sama ‘babi’. Kenapa begitu, Ma?”

“Ya memang begitu, Nak! Kita memang hanya punya satu nama ketika hidup. Nanti jika kita mati, kita bisa punya banyak nama. Bisa jadi Babi Guling, Babi Bakar, Sate Babi, Babi Goreng, Babi Kecap Pedas, dan masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa kita sebut satu per satu.” jawab si Mama Babi.

“Ooo… gitu, ya?” si anak manggut-manggut.

“Sedangkan manusia itu walaupun memiliki banyak nama, nanti kalau sudah mati, namanya hanya satu: mayat!”

Kisah ini pernah dituturkan oleh Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) saat menutup sebuah acara yang kami selenggarakan di kantor beliau. Yang kemudian dibalik kisah itu beliau mengingatkan kepada semua hadirin, yang dalam hal ini adalah para pejabat di lingkungan Provinsi NTT, bahwa menjadi manusia itu berbeda dengan menjadi babi. Manusia menjadi berguna selagi dia hidup. Kalau sudah mati, dia tinggal satu nama, yaitu mayat. Mayat tidak lagi punya arti, dia harus dikubur, tamat riwayatnya.

M for Martha Buck
Malam itu tiba-tiba saya kangen sama martabak. Padahal makanan satu itu bukanlah makanan yang cukup favorit bagi saya. Tetapi yang namanya rindu itu bisa datang begitu saja. Mungkin karena sudah lama tidak merasakannya. Di Gorontalo, penjual jenis makanan ini seperti jamur, di mana-mana ada. Dengan berbagai pilihan rasa sesuai selera. Biasanya mereka berjualan dua versi: martabak manis dan martabak telur. Walaupun secara bahan dan cara pembuatan dua jenis martabak ini jauh berbeda, tetapi seringkali disedikan dalam satu tempat penjualan. Biasanya martabak baru akan dibuat jika ada pesanan dari pembeli. Sehingga kita harus menunggu dulu dibuat, baru kita bisa bawa pulang kalau sudah selesai.

Tetapi itu adalah cerita lama di Gorontalo, tempat saya membeli martabak untuk terakhir kali sekitar lebih dari tiga tahun yang lalu. Semenjak pindah tugas ke Papua, saya tidak pernah lagi membeli martabak. Saya terlalu asik dengan segala bentuk “kuliner baru” yang khas di tempat itu. “Terlalu asik” bukan karena menikmati, tapi sibuk cari yang cocok. Tiga tahun berlalu, tanpa sadar yang namanya martabak sudah lenyap begitu saja dari ingatan. Sampai suatu saat, di malam tujuh belas Agustus, di Maumere….

Saya tidak tahu lagi dimana bisa mendapatkan martabak di Maumere ini. Apalagi malam telah larut dan sudah dipastikan tidak ada lagi penjual makanan buka pada jam segitu. Jam 21.00 WITA praktis semua penjual sudah tutup, orang-orang segera akan memulai ritual selanjutnya yaitu berkumpul bersama keluarga di depan televisi sebelum akhirnya lelap ditelan sunyinya malam. Walaupun masih ada beberapa kios yang buka, sekedar menjual bahan kebutuhan sehari-hari, tetapi bukan penjual martabak seperti yang saya rindukan.