M for Martha Buck
Malam itu tiba-tiba saya kangen sama martabak. Padahal makanan satu itu bukanlah makanan yang cukup favorit bagi saya. Tetapi yang namanya rindu itu bisa datang begitu saja. Mungkin karena sudah lama tidak merasakannya. Di Gorontalo, penjual jenis makanan ini seperti jamur, di mana-mana ada. Dengan berbagai pilihan rasa sesuai selera. Biasanya mereka berjualan dua versi: martabak manis dan martabak telur. Walaupun secara bahan dan cara pembuatan dua jenis martabak ini jauh berbeda, tetapi seringkali disedikan dalam satu tempat penjualan. Biasanya martabak baru akan dibuat jika ada pesanan dari pembeli. Sehingga kita harus menunggu dulu dibuat, baru kita bisa bawa pulang kalau sudah selesai.

Tetapi itu adalah cerita lama di Gorontalo, tempat saya membeli martabak untuk terakhir kali sekitar lebih dari tiga tahun yang lalu. Semenjak pindah tugas ke Papua, saya tidak pernah lagi membeli martabak. Saya terlalu asik dengan segala bentuk “kuliner baru” yang khas di tempat itu. “Terlalu asik” bukan karena menikmati, tapi sibuk cari yang cocok. Tiga tahun berlalu, tanpa sadar yang namanya martabak sudah lenyap begitu saja dari ingatan. Sampai suatu saat, di malam tujuh belas Agustus, di Maumere….

Saya tidak tahu lagi dimana bisa mendapatkan martabak di Maumere ini. Apalagi malam telah larut dan sudah dipastikan tidak ada lagi penjual makanan buka pada jam segitu. Jam 21.00 WITA praktis semua penjual sudah tutup, orang-orang segera akan memulai ritual selanjutnya yaitu berkumpul bersama keluarga di depan televisi sebelum akhirnya lelap ditelan sunyinya malam. Walaupun masih ada beberapa kios yang buka, sekedar menjual bahan kebutuhan sehari-hari, tetapi bukan penjual martabak seperti yang saya rindukan.

Besok pagi acara di kantor hanya akan ada upacara bendera. Jadi malam ini tidak ada hal khusus yang perlu saya siapkan untuk agenda rutin kantor. Sudah seperti biasanya, setiap tanggal 17 Agustus hanya ada upacara. Setelah selesai upacara, acara bebas. Kadang ada yang mengagendakan pergi bersama-sama ke suatu tempat atau membuat acara kumpul bersama para penyandang “tuna asmara” atau para “ekspatriat” untuk sekedar merayakan kebersamaan mereka. Yang saya tahu tidak akan ada martabak pengobat rindu di tempat-tempat kumpul seperti itu. Kuliner khas disini sudah lain lagi bentuk dan rasanya. Mungkin lantaran sudah jenuh dengan pencarian tiada akhir, tiba-tiba kerinduan itu datang.

Saya kemudian mencoba mengalihkan pikiran pada sebuah makna kemerdekaan. Saya mengingat lagi novel “Jalan Tiada Ujung” karya Mochtar Lubis. Dalam sepenggal pernyataan dikatakan bahwa kemerdekaan negara harus diraih sebagai alat bagi kemerdekaan individu. Maka ketika kemerdekaan negara ini sudah diraih 72 tahun yang lalu, sudah sewajarnya kemerdekaan individu yang kemudian dicapai satu per satu.

Lalu tiba-tiba saja terasa aneh ketika negara ini terus-menerus menginginkan kita sebagai individu untuk melakukan “bela negara”. Pada saat ini negaralah yang seharusnya membela warganya. Negara hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Bukan malahan kita yang terus-menerus melakukan bela negara untuk negeri ini.

Sebagai individu kita memang harus berjuang untuk kemerdekaan. Kali ini bukan kemerdekaan untuk negeri, tetapi kemerdekaan kita sendiri-sendiri. Merdeka untuk menyampaikan pendapat, merdeka dari tuduhan radikal, merdeka dari kekerasan kelompok teroris, merdeka untuk melaksanakan upacara bendera di tanggal 17 Agustus. Merdeka dari belenggu rindu, termasuk merindukan martabak.

0 komentar: