Di tengah gemuruh negeri yang terus mengharu biru dengan berbagai permasalahan sekarang, saya memilih untuk menyusup ke pedalaman. Mencari peluang kedamaian hati yang barangkali masih tersisa. Lari dari tempat saya berdiam ketika ribuan problema tiba-tiba menyesakkan dada, tidak tahu siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Udara sudah sedemikian pengap oleh asap kebakaran hutan; sampah plastik membuat cemaran air semakin parah; ibukota negeri juga akan dipindah karena sudah tidak tahan dengan iklim yang semakin pengap; aksi demonstrasi mahasiswa menolak perubahan regulasi peninggalan jaman Belanda memakan korban jiwa; wacana kenaikan iuran jaminan kesehatan juga diprotes; isu rasisme yang menggejolak menyinggung hati sebagian dari penghuni negeri ini juga menimbulkan prahara yang panjang buntutnya; masih banyak lagi hal yang tak dapat disebutkan disini.

Biarlah, mungkin sebagian orang akan menuduh saya pengecut, pecundang, atau jenis binatang tertentu yang mungkin lebih hina dari makhluk paling hina. Tapi saya tetap akan menyusup ke pedalaman untuk sebuah alasan. Sebuah egiosme yang sudah lama tidak saya gunakan, ya sesekali lah egois, karena kepedulian saya kali ini saya pastikan tidak akan ada manfaatnya juga.

Entahlah, apakah hanya saya, yang saat ini tidak lagi bisa membedakan mana kawan, mana lawan? Ketika kawan-kawan baik saya berseteru sedemikian hebat, sementara untuk mendamaikan mereka justru berpotensi menjerumuskan saya dalam situasi yang serba salah. Atau saya yang sedemikian bodohnya memahami situasi saat ini, ketika cibir-mencibir, nyinyir-nyinyiran, serta olok-olok dengan bahasa-bahasa yang mengandung binatang itu sudah menjadi hal biasa saat ini? Sungguh, saya tidak sanggup mendengarnya.

Halo, Bruce? Apa kabar? Lama gak jumpa nih, Bruce. Kamu terlalu sibuk, akupun sibuk. Jadi belakangan ini kita jadi jarang ketemu. Walaupun tekhnologi 4G saat ini sudah memungkinkan kita kontak-kontakan jarak jauh, tetap saja waktuku dan waktumu tidak pernah menyatu. Ada banyak yang akan kuceritakan, Bruce. Tentang kondisi nasional dan global saat ini. Aku hanya berharap kita punya satu pemahaman agar kita tidak berantem seperti mereka-mereka yang suka nyinyir-nyinyiran di dunia maya itu.

Lihatlah, Bruce! Dunia sudah beralih ke vlogging, sehingga blogging sudah hampir tak terjamah lagi. Paket-paket internet yang ada sekarang lebih banyak habis buat nonton konten video di Youtube, mengunggah video tiktok, serta layanan streaming video lainnya. Kemudian provider-provider seluler pun menawarkan paket-paket yang juga lebih hemat kalau digunakan untuk streaming, sementara paket untuk browsing sudah sangat terbatas.

Dengan begitu apakah dunia blogging akan segera hilang terdisrupsi? Rasanya tidak. Tapi ya entahlah, kita lihat saja ke mana arah dunia mentrendingkan dirinya. Yang jelas sayapun merasa ikut lesu, tidak semangat lagi buat nulis. Tapi karena masih tersisa niat yang dulu pernah bulat, saya harus terus menulis. Entah apa nanti ada manfaatnya, tidak tahu juga. Karena tidak tahu juga ke mana arah topik yang enak buat dibahas belakangan ini.

Oke, sayapun membuka gadget dan mulai mengetik. Topiknya apa? Nanti akan datang sendiri. Itulah jurus pemaksaan diri untuk bisa menghasilkan ketikan buat mengupdate konten supaya tidak bolong. Pastinya saya tidak akan membahas masalah politik. Walaupun saat-saat sekarang ini segala urusan yang berbau politik semakin seru dibahas di media sosial. Bahkan segala sesuatu yang sedianya tidak ada bau-bau politiknya pun dipolitisir juga.

Lebaran kali ini terasa berbeda sekali. Ada rasa haru dan rindu campur jadi satu. Anak-anak yang datang ke rumah untuk “bersilaturahmi” jumlahnya sedikit sekali. Tidak lebih dari 12 orang anak saja. Biasanya lebih dari itu dan sering datang bergelombang-gelombang. Gelombang pertama bisa 8-15 anak, gelombang kedua 10 anak, masih ada lagi yang mungkin dari kampung sebelah, bahkan gelombang terus berdatangan sampai sore. Tapi kali ini kok sedikit sekali ya?

Tradisi bagi-bagi “angpao”, bagi-bagi “pitrah”, bagi-bagi “zakati”, "THR" atau apalah namanya, memang dari dulu sudah tidak lepas dari tradisi lebaran di Indonesia sampai saat ini. Sejak saya masih kecil dulu juga suka ikut anak-anak kecil lainnya di kampung berbondong-bondong datang untuk “bersilaturahmi”, berhalal bihalal dari rumah ke rumah, mengikuti tradisi orang dewasa yang juga melakukan itu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dalam arti yang sebenarnya.

Sementara bagi anak-anak, maknanya bagi mereka tidak lebih hanyalah untuk mendapatkan “angpao”, “pitrah”, “zakati”, ataupun apa namanya yang jelas lembaran uang yang biasanya berupa pecahan. Ada pula yang datang dari kampung sebelah, bahkan ada yang datang dari kampung yang jauh sekali, Jalan kaki! Begitu semangatnya anak-anak ini memanfaatkan momentum yang hanya terjadi sekali setahun itu.

Ada juga kisah-kisah kenakalan seperti anak yang tadi pagi sudah datang, sorenya datang lagi ikut gelombang yang lain. Namanya anak-anak, ada juga yang sudah belajar untuk “fraud” di saat-saat terjadi momen langka seperti itu.

Mbak Maya mungkin dulunya hanya teman SMA atau seorang selebriti lokal, tapi sekarang mendunia. Dunia maya makin merajalela sebagai pertanda makin canggihnya jaman. Semua serba maya, serba virtual, serba elektronik, paperless, wireless, timeless atau apalah. Dulunya kita hanya mengenal e-mail sebagai surat elektronik (surel), sekarang hampir semua hal di-elektronik-kan. Mulai dari e-KTP, e-money, e-wallet, e-ticket, bahkan e-sport!

Walaupun saat ini masih belum sepenuhnya maya seperti halnya e-mail, beberapa masih dibantu dengan benda kasat mata berupa kartu. Maklum, lah. Masih belum banyak yang bisa percaya sepenuhnya terhadap hal-hal yang tidak tampak. Masih banyak yang belum bisa percaya bahwa alam gaib itu ada. Tak ada bedanya dengan takhayul, ngibul! Ah, itu kan dunia lain?

Bagi orang yang lahir di jaman "primitif" seperti saya, kemudian hidup di rentang perkembangan tekhnologi pesat, saya bisa melihat sebuah revolusi tekhnologi yang luar biasa. Saya harus takjub dengan semua ini. Manusia memang ciptaan Tuhan yang luar biasa, yang hasil karyanya bisa seperti ini. Walaupun tidak semua manusia luar biasa juga sih.

Sayapun punya bayangan di satu titik permulaan dari semua ini. Ya, semua ini gara-gara penemuan semikonduktor. Mulai dari semikonduktor sederhana yang kemudian seiring jaman terus dikembangkan semakin canggih menjadi suatu prosesor yang mengolah dan menyimpan data besar berkat kolaborasi umat manusia di seluruh penjuru dunia. Mungkin anak-anak yang lahir di jaman yang agak kemudian, tidak begitu paham apa hubungannya semikonduktor dengan dunia maya.

Sore itu tumben perut sudah terasa lapar. Biasanya nanti agak malam mulai terasa laparnya. Di saat warung-warung makan sudah tutup, di saat para penyedia jasa penyaji makanan favorit sudah tak lagi beroperasi biasanya baru terasa lapar. Kulihat jam menunjukkan waktu 17.00 WITA. Langit mendung, walaupun sudah jarang hujan.

Niat hati mau keluar rumah cari bebek goreng, makanan favorit saya. Daripada nanti pulang kehujanan, atau terjebak hujan, kuputuskan pergi menggunakan mobil saja. Walaupun terasa aneh saja pergi sendirian menggunakan mobil. Biasanya saya lebih memilih menggunakan motor untuk sekedar cari makan di warung. Tak lama sayapun segera cuzz… menuju TKP.

Gerimis mulai menitikkan air di kaca mobil. Tempat jualan bebek penyet itu lumayan jauh dari rumah. Benar sudah keputusan untuk tidak bermotor menuju ke sana. Bisa basah kuyup kedinginan nanti. Niat mau cari kehangatan bebek goreng malah jadi kedinginan oleh kuyup air hujan.

Setiba di tempat makan, hujan sempat beberapa kali turun deras. Tak lama berubah hanya gerimis biasa, lalu deras lagi. Gerimis lagi. Begitulah, tandanya musim hujan sudah mau berakhir. Seperti biasa, pesanan bebek penyet disitu tidak langsung instan. Butuh ditunggu dulu. Disamping bebeknya harus ditangkap digoreng dulu, sambalnya juga dibuat “on site” dan “on demand” sesuai level pedas yang diinginkan. Bayarnya di muka.

Akhirnya tersaji juga tuh sang bebek hangat. Setelah tersaji, tak butuh waktu lama buat melahapnya. Lebih cepetan melahapnya daripada menunggu tersajinya. Dasar perut juga sudah semakin ramai memainkan K-Pop. Tau lah, tingkat kelaparan berbanding lurus dengan kecepatan makan.

Singkat cerita tuh bebek dah bener-bener tamat deh. Sampai sini kan gak nyambung sama judulnya, yak? Kok jadi mbahas makan bebek goreng? Sabar, Son…. Belum kelar nyampek sini.

Medsos dengan segala kontoversinya itu ibarat pisau, bisa buat memotong-motong sayur dan membantu menyiapkan masakan di dapur, bisa juga digunakan buat melukai orang lain dengan segala alasannya. Bisa berguna dalam kebaikan, bisa juga digunakan dalam kejahatan. Tapi karena saya orang baik, medsos yang saya punya juga jadi alat yang baik, hehehe….

Ya nggak baik-baik amat, setidaknya masih banyak manfaat daripada mudorotnya, gitu deh. Fungsi utamanya buat komunikasi data terkait kerjaan kantor. Tapi ada juga fungsi sampingannya. Mitsalnya saja sebagai tempat berbagi hal-hal yang baik, lucu, ngasih nasihat, menggugah semangat, memanggil hati nurani, dan sebagainya. Ada banyak sih materi-materi yang sudah sempat mampir di medsos, kiranya kalau semua mau dimasukin di blog ini mungkin bagus. Ya sesekali mungkin perlu dibagikan, tapi kalau semua ya nggak kalik yaa… ntar kontennya jadi kurang orisinil. Nggak seksi lagi….

Tapi baiklah, daripada pesan-pesan positif itu hilang menguap begitu saja, saya sempatken sesekali lah “mengabadikannya” disini. Kali aja bermanfangat bagi elu-elu pade yang masih bersedia baca-baca. Soalnya nak-anak sekarang tuh pada males baca. Apalagi sekarang eranya vlog, orang lebih suka mantengin konten video, itupun masih harus diskip-skip biar cepet selesai.

Jadi sebenernya akutuh menghargai kamu yang masih suka baca-baca dengan sabarnya. Ternyata konten berupa tulisan tidak membuat kamu bosen. Bahkan masih membaca juga secara urut tanpa penasaran dan langsung skip ke paragraf selanjutnya. Hmmm… hebat deh kamu! Jangan-jangan hanya karena lagi nggak gableg pulsa data karena habis paketan internetmu aja? Hahaha… cari gratisan hotspot sana kek….

Somebody said that “life” is such a wide umbrella; a word that covers many, many things, and everyone’s experience of it is different.

Life, as we know, is full of challenges. Economic difficulties, serious illnesses, family problems, and political unrest plague people on a daily basis.

Life will challenge you – physically, mentally, emotionally, and spiritually.

How a person faces each challenge that comes their way however, says much about their character, who they are on the inside.

That's why then I tried to narrow the umbrella down. To look at something that crack open how life can feel when we’re struggling and things are hard… but also ones that put a balm on that wound.

There’s a lot of shit going on right now. There always is, but it’s been particularly sharp and thorny lately, and sometimes we need someone to put that into the words we just don’t have in us.

But today I tried so hard to find my own words. The words that shine my darkening life, the words that make sound in the silence.

Words that make us feel heard and understood, that acknowledge our pain and how heavy life can feel.

...

Konon katanya orang itu hanya akan ketemu dengan apa yang dia cari. Seorang ulama besar pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah ketemu pelacur ketika dia sedang berada di Amerika. Sementara orang lain menyanggah, bahwa tidak mungkin tidak ada pelacur di Amerika, sedangkan di Arab saja banyak ditemui.

Demikian juga kalau kita punya keinginan kuat akan sesuatu, bisa jadi kita akan mendapatkannya. Saya nggak tahu apakah keinginan itu bisa terwujud tanpa doa. Apakah keinginan yang dipendam itu merupakan bagian dari doa. Apakah doa harus dilafalkan dan dirangkaikan dengan kata-kata terlebih dahulu.

Entahlah… pada akhirnya kita hanya percaya bahwa kita telah mendapatkan yang terbaik dariNya. Keinginan yang kita miliki, kalau belum diberi, itulah yang terbaik bagi kita agar terus bersabar. Kalau akhirnya diberi, itulah yang terbaik buat bersyukur.

Mungkin keinginan saja tidak cukup, harus ada upaya untuk menggapainya. Namun tidak sedikit keinginan yang terlalu sulit untuk digapai dengan usaha, bahkan usahanya pun kadang tidak bisa kita ketahui, usaha tepat seperti apa yang bisa kita lakukan untuk keinginan tertentu itu. Sebelum tahu upayanya apa, tentu yang harus pertama kali jelas adalah keinginannya. Kalau keinginan saja tidak jelas, bagaimana bisa berupaya?

Yang namanya keinginan dan harapan tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Karena dengan adanya harapan itulah maka ada kehidupan. Makanya, teruslah berharap. Setidaknya untuk terus mengisi hidupmu. Tentunya hidup akan jadi hampa tanpa harapan.

Mulai dari harapan sederhana yang hanya terlintas di pikiran sampai dengan harapan besar yang terus dipendam untuk ditunggu realisasinya, tentu akan bervariasi bagi setiap insan. Kebutuhan dan selera tiap orang akan diikuti oleh warna hidupnya, kadar kenikmatan yang dirasakannya, sampai dengan besarnya rasa syukur yang dimilikinya.