Malam telah kelam, hanya tinggal nyanyian serangga-serangga berirama. Harapanku pagi akan segera terbit untuk membentuk kembali diriku menjadi manusia utuh, setelah semalam hanya sukma dalam mimpiku yang mengembara. Terkadang memang sukma mengembara terlalu jauh dalam mimpi, sehingga pagi hari harus bangun tidur dengan rasa capek dan mual-mual.

Perjalanan “Hidup Menjadi” telah berlalu sebulan-dua. Api yang pernah meletup meninggalkan bara merah yang kian padam. Haruskah setiap letupan berakhir dingin bagai arang?
Masih di dalam mimpi, ketika ombak tidak lagi menderu. Hanya percikan-percikan kecil dengan riaknya yang dingin. Langkah merengkuh di lorong yang samar-samar tanpa sinar. Sebab, rembulan tak lagi bersemayam di peraduan, dan bintang-bintang tak lagi menyanyikan diri menghias angkasa di langit yang biru. Hanya sesekali lolong anjing malam yang merdu di balik semak-semak belukar.
Derap semakin jauh. Cita hidup sudah terlanjur menjadikan. Tak ada alasan untuk berhenti. Tapi masih saja ada yang menghalangi. Sinarmu, ya, sinarmulah yang kutunggu. Ke mana saja engkau selama ini?
Pantai yang sepi, kembali menggelar hamparan harapan hampa. Di pasirmupun tidak ada nama itu. Kau hanyalah sebatang pohon tempat aku menggoreskan sejarah hidupku, ketika aku harus melewati kebunmu. Engkau bukanlah visi dan misi yang harus kutempuh, melainkan hanya bayangan yang selalu menghantui dan menyakiti hati.
Semoga Tuhan memberikan (kepadaku) kebun yang lebih indah dari kebunmu (itu). Dan semoga Tuhan memberikan ketentuan (petir) kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
Akhirnya aku harus kembali kepada kekuatanku sendiri. Menghimpun segala kemungkinan di pantaiku, dan menunjuk satu kemungkinan yang paling berharga untuk membelah ombak yang tak pernah berhenti berdesir.