Setelah senja mengurung diri di kegelapan, barulah ku tersadar bahwa sudah terlalu lama mengulur waktu. Belum ada senyuman yang bisa kupetik. Baik dari tarian angin maupun helaian awan.

Biar sang Malam menggodaku untuk segera lelap bersamanya, namun mata ini belum mau terpejam. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku selalu mengembara. Luas hamparan yang kutemukan, namun tak ada satupun kemungkinan untuk tentram.

Disini cinta tak punya waktu lagi. Tak ada pula kambing hitam untuk disembelih. Salahkan aku! Salahkan aku! Semua tergantung dimana pernah kujatuhkan seberkas bintang di sehampar langit kelam malam.

Jangan lantas kaubodohi aku dengan kisah-kisah cinta dan kesetiaan. Aku sudah sedemikian kenyang dengan peradaban purba seperti itu: nyanyian ataupun semacam senandung tanpa intro. Cukup tinggalkan saja sebuah pesan di pintu, aku akan membacanya lain waktu.

Tak apalah. Biar saja kuanggap sebagai kembang tidur. Biar senyum tak lagi mencerminkan betapa jenakanya sandiwara ini. Demikian pula desah malam sang Angin tak seperti biasanya, yang selalu menyusul di setiap bayangan menggairahkan.

Untuk itu, tiadalah cinta. Tiadalah cinta yang itu. Cinta hanyalah sebutir zarah, semacam senyawa terlarut dalam segelas anggur merah untuk diteguk bersama racun. Masih Romeo jugalah aku. Hanya sayangnya kau bukan Yuliet yang sudi mati bersamaku.

Tiadalah cinta yang itu. Karena kepahitan selalu menghimpit dada, menghentikan nafas serta merenggut kelapangan hati. Kini cinta hanya tinggal segumpal ketegangan, yang selalu ingin mengisi ruang hampa untuk sebuah makna.

Jika sebuah ciuman telah meluruhkan kerinduan, mengapa harus kautangguhkan? Maka sekarang sesalilah. Karena tak akan ada kenyataan dimana waktu bisa berhenti sejenak, untuk berpaling sekalipun.

Biarkanlah matahari esok kembali tersenyum. Tak peduli awan menggelapi. Karena hanya dalam kehangatannyalah kita bisa menggenggam catatan bahwa sebuah kepastian akan selalu ada.

Walau akhirnya harus kurelakan engkau meniti biduk yang tak terukir namaku.