Sang Jiwa yang mulai renta itu tergopoh-gopoh menuju persawahan, mencari-cari di mana dia pernah menyembunyikan kitab cinta. Ingin dilanjutkannya pelajaran kesekian tentang petunjuk yang memberinya arah ke penjuru mana harus mengembara.

Langit lembayung pun tersenyum, memberikan isyarat berupa hembusan hangat menuju warna yang mempesona. Bukit itu, bukit hijau yang selalu berembun dengan lekukan indah yang selalu tersembunyi sebagian oleh awan. Sang Jiwa pun beranjak kepadanya.

Ada keraguan, namun selalu ada hembusan hangat untuk terus mendatanginya. Mungkin lebih baik daripada dunia lama yang dipenuhi sehampar penderitaan dan keropeng yang tercabik-cabik oleh kekosongan.

Biar jauh, namun ada pesona dan senyum yang melambai. Menyapa dengan kesejukan. Seakan menyambut selamat datang. Maka terbang singgahlah sang Jiwa itu di serambi bukit yang lengang. Sang Angin terus berbisik, bernyanyi, bersenandung, dan berpuisi. Sementara Sang Jiwa terus membaca kitab cintanya, sambil sesekali memandang dan mengagumi keindahan sekitar.

Kitab cinta itu, ada banyak angan-angan usang yang selalu mengelabui. Kesemuan dan kesementaraan kian mudah tergambar. Penderitaan pun hanyalah tempat singgah. Tak ada yang bertutur tentang kisah sejati. Apa daya, sang Jiwa hanyalah pemeran luka, yang biasa mengukir kisah di pohon-pohon. Tak terlalu memberi nilai kepada harapan akan keabadian yang indah.