Dua orang cewek cantik di Rusia telah membuat heboh para pengguna jalan. Keduanya berjalan hanya menggunakan celana dalam. Sedangkan bagian dadanya terbuka, mengenakan sepatu hak tinggi dan topi polisi di pinggir jalan M7 highway, Nizhny Novgorod, Rusia. Keduanya memegang papan rambu-rambu dengan bentuk lingkaran yang bertuliskan 60 dan 40 (batas kecepatan maksimal yang dianjurkan 60 km/jam atau sekitar 40 mil/jam).

Saya menemukan berita ini di VIVAnews. Ada ilustrasi gambarnya yang disensor. Sumber berita ini merupakan lansiran dari Carscoop, Senin 19 Agustus 2013. Setelah berupaya sedikit usil, akhirnya saya nemu juga sumber berita aslinya, bahkan sempet nemu videonya! Pingin liat? Ntar saya tunjukin... Semoga aja link-nya masih berlaku, karena saya belum berhasil mendownloadnya untuk saya pasang langsung disini.

Aksi yang dilakukan dua cewek ini lumayan ngefek. Pasalnya, setiap pengemudi yang lewat "terpaksa" memperlambat kecepatan mobilnya. Tentu saja ini khusus para pengemudi pria, mereka mendapatkan "tontonan gratis". Aksi itu diakui oleh pelakunya bukan semata-mata iseng atau membuat sensasi saja. Mereka mengaku sedang berkampanye tentang keselamatan berlalulintas.

Mengemudikan kendaraan terlalu kencang sering dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Rupanya aksi ini menjadi salah satu cara unik yang dilakukan di negeri Tirai Besi itu untuk membuat para pengguna jalan sadar akan keselamatan berlalu lintas.

Walaupun dipandang dari sudut lain, kampanye dengan cara tidak biasa seperti ini itu justru memicu kecelakaan tabrakan beruntun. Karena ada mobil yang kemungkinan berhenti tiba-tiba dan lengah karena asyik menonton kedua makhluk seksi tersebut.

Tapi itu di Rusia, loh! Kalau di Indonesia? Pasti sudah ditangkap tuh cewek-cewek. Lalu mereka "dibina" di panti sosial.

Karena harus menjalani upacara bendera memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan di kantor, saya harus bangun pagi-pagi untuk bergegas mandi dan bersiap diri. Padahal biasanya sehabis sholat shubuh saya melengkungkan badan lagi di tempat tidur sampai jam 07.00 baru beraktivitas kembali. Kali ini jam 06.30 sudah meluncur di jalanan yang tampak masih sunyi.

Hari ini memang hari libur, tanggal merah, jadi aktivitas manusia tidak seramai hari-hari biasanya. Anak-anak sekolahpun diliburkan. Entah mengapa mereka tidak lagi dilibatkan dalam memperingati Hari Kemerdekaan bangsa ini dengan menjalani upacara di sekolahnya masing-masing.

Tidak seperti waktu saya sekolah dulu, mengikuti upacara bendera hukumnya wajib. Bahkan beberapa perwakilan murid diharuskan mengikuti upacara di balaikota atau di stadion kota dimana pemerintah daerah setempat melaksanakan upacara bendera.

Sebelum jam 07.00 saya sudah tiba di kantor. Beberapa teman tampak melakukan gladi kecil-kecilan, terutama yang bertugas mengibarkan bendera. Sound system juga telah disiapkan sebagai pelengkap jalannya upacara tujuhbelasan itu.

Karena kepala kantor mendadak tidak bisa hadir oleh karena satu dan lain hal, maka serta-merta sayapun ditunjuk menjadi inspektur upacara. Tugas saya hanya membacakan sambutan dari Direktur Perusahaan di Pusat.

Maka hari inipun saya menjadi inspektur upacara. Hari ini pula, dalam sejarah hidup saya, untuk pertama kalinya menjadi inspektur upacara di Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Walaupun cuman jadi inspektur kelas teri dalam sebuah upacara kecil-kecilan yang diselenggarakan di kantor, yang penting pernah jadi Inspektur upacara!

Sepasukan bersenjata pedang dan tombak sudah hadir di depan mataku, siap merangsek masuk ke dalam gerbang kota Caruban yang saat ini aku jaga. Ada sekitar 1500 orang anggota pasukan yang sengaja hendak menyerbu kota, sedangkan aku sendirian. Sungguh ini tidak masuk akal.

Sudah lama rakyat Caruban tidak bayar pajak dan upeti kepada sang Raja. Paceklik yang melanda beberapa kali sempat membuat perekonomian kami hancur. Pajak dan upeti itu hanya menambah masalah saja. Maunya penguasa hanya mengeruk harta, tanpa memandang kondisi kami yang merana. Masih bagus kalau membantu, perhatianpun tidak. Tidak peduli kondisi sedang mencekik, para penguasa malahan menambah beban derita rakyat. Jangankan buat bayar pajak, menghidupi keluargapun rakyat kami terseok-seok.

Mungkin karena alasan itulah mereka mendatangkan pasukan untuk menghancurkan kota kami, yang menurut pandangan mereka mungkin sudah dianggap memberontak.

Entah setan mana yang merasukiku, hingga aku mau-mau saja menjalani peranan ini. Seorang kesatria tua yang mendapat kepercayaan menjaga gerbang kota seorang diri hanya dengan bersenjatakan sebilah pedang tua yang tumpul.

Walau berada di bawah matahari yang terik, aku mencoba untuk tetap berdiri tenang. Segala kemungkinan yang terjadipun siap aku hadapi. Aku hanya perlu tahu, apakah aku benar-benar harus bertarung, ataukah sebatas negosiasi dengan pimpinan pasukan yang siap tempur itu.

Seorang diantara mereka akhirnya datang mendekatiku, seorang pemuda tampan berbadan tegap mengendarai kuda hitam legam. Dengan pakaiannya yang mentereng itu, sepertinya dia seorang pejabat kerajaan yang tidak main-main. Dengan menunggang kuda hitamnya ia mendekatiku lalu turun dan memberi hormat kepadaku.

Libur panjang lebaran sudah mau habis nih. Yang mudik juga sudah mulai ada yang balik. Tahun ini aku nggak mudik lagi. Jadi sudah 2 kali lebaran tidak pulang. Pesan senior: kalau bisa jangan sampai 3 kali, deh. Ntar nyaingi bang Toyib, lagi.

....♪♬...tiga kali puasa, ♪...♬...
....♪..♪...tiga kali lebaran....♪♬...
....♪♬...Abang gak pulang-pulang....♬...♪..
...♬...♪...sepucuk surat tak datang ♪♪..♬..

Setidaknya kerinduanku udah nggak menderu seperti dulu. Entahlah, mungkin karena ada beberapa teman yang ternyata juga tidak pulang mudik tahun ini. Lagian aku juga sudah telpon buat mengendorkan muatan impuls di saraf kerinduan. Emang ada ya, saraf kerinduan? Secara ilmiah sih nggak ada. Ini istilahku sendiri.

Yang jelas tempatnya di otak, yang mengatur perasaan dan emosi. Disitu ada semacam lokus yang mengeluarkan persepsi berupa kerinduan.

Aku juga nggak tahu apakah kerinduan itu sembuhnya hanya dengan bertemu atau bisa luntur seiring berjalannya waktu? Tapi setidaknya aku bahagia hidup di era komunikasi digital sekarang ini, manfaatnya sudah banyak dirasakan orang, terutama untuk mengurangi simptom kerinduan yang banyak diderita orang.

Kali ini aku nggak akan ngobrolin soal tekhnologinya, tapi soal kerinduannya. Nggak tau kenapa ini jadi menarik bagiku untuk diulas. Direnungkan.