Adalah Afriyani Susanti, pengendara Xenia yang mendadak terkenal karena kecelakaan yang menewaskan sembilan orang di kawasan Tugu Tani, seputaran Monas baru-baru ini. Mobil Xenia itu dikemudikannya di bawah pengaruh obat terlarang. Mobil melaju, tanpa kontrol, melesat lalu menerjang para pejalan kaki sejumlah belasan orang. Sama sekali tidak sadar dengan apa yang telah dilakukannya, karena berada di bawah pengaruh obat itu, habis nabrak ekspresinya malah seperti orang tak punya dosa.

Saat ini Polda Metro Jaya masih terus mengembangkan penyelidikan kasus kecelakaan Daihatsu Xenia yang menewaskan sembilan pejalan kaki itu. Selain menyelidiki kasus kecelakaannya, polisi kini juga membidik sindikat besar peredaran narkoba.

Afriyani dinilai lalai dalam mengemudikan Daihatsu Xenia B 2479 XI pada hari Minggu pagi, 22 Januari 2012 saat melintas di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, sehingga menyebabkan sembilan orang tewas dan empat orang lainnya terluka. Ketika itu, Afriyani mengaku kehilangan kesadaran beberapa detik sehingga tak melihat ada pejalan kaki di trotoar, lalu ia menghantamnya.

Setelah ditelusuri, Afriyani ternyata mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan ekstasi. Sebelum kecelakaan terjadi, Afriyani berpesta semalam suntuk dengan mengonsumsi minuman keras dan ekstasi di kelab malam Stadium, Jalan Hayum Wuruk, Jakarta Pusat. Akibatnya, Afriyani juga dijerat dengan Pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 juncto Pasal 132 subsider 127 Undang-Undang Narkotika. Ancaman hukuman untuk pasal-pasal ini yakni 4 tahun atau maksimal 12 tahun penjara.

Sampai saat ini pemberitaan di televisi, koran, internet, dan media massa lain masih hangat membicarakan progres permasalahan "Xenia Maut" itu. Sejak awal memang kasus ini dikenal dengan kasus Xenia Maut. Seperti biasa, sejak awal-awal diberitakan kabar masih simpang siur, bahkan saya sempat berpikir bahwa Xenianya yang bermasalah.

Akhirnya, aku bersandar pada Subuh yang dingin, ketika benua yang biadab ini menggores namaku di atas selembar sejarah. Lalu memulai cerita dari setetes embun Subuh yang jatuh ke hulu. Dalam waktu yang tak begitu lama, aku sudah merindukan pantai yang menjanjikan kehidupan nan jauh dari ketololan dan kebusukan yang selama ini menodai seluruh tubuhku.

Barangkali hanya ada satu pantaiku yang selalu menderu-derukan ombak. Tiada hentinya kemesraan diciumkan ke pantai, ombak-ombak berbuih yang hangat. Siang malam bahkan tak ada hentian sejenak untuk menghilangkan letih. Pun setiap hempasan adalah kekuatan yang maha besar, hingga bebatuan itupun hancur bebenturan sesamanya.

***

Aku, setetes embun yang jatuh ke hulu, telah jauh melampaui perjalanan dari tebing-tebing yang curam. Saat aku masih dingin-dingin sejuk, merasai keberadaanku di tempat yang tinggi. Lalu aku meluncur dengan kekuatan deras, bersama buih-buih dan sisa-sisa kesejukan. Aku memang tak bisa mengalir tenang, beberapa turbulensi terbentuk, terpuntir, mengulang lagi perjalanan. Sebab semenjak itu sudah mulai membawa debu-debu, pasir dan material lain. Kesemuanya merupakan bekal yang kudapat di sepanjang perjalanan ini. Hulu yang curam itu membuatku harus berlari terburu-buru, hingga tak semua material sempat kubawa.

Setelah ada keberadaanku di hilir nanti, aku berharap perjalananku menjadi lebih tenang dan hening. Tak perlu lagi harus berdesak-desak di tebing yang curam dan menakutkan. Bekal hidupku pun sudah kian banyak, terlihat dari warna keruhku yang telah menghapus kepolosanku dulu.

Hilir ini memang tenang, tapi semakin banyak beban kubawa. Tidak tahu lagi masih berapa banyak harus dihanyutkan. Kinipun tibalah saatnya nasibku harus terbentur cadas keras. Arahku ke sana memang kian dekat. Belum juga kupunya kekuatan untuk mengalihkan arah dari cadas keras itu. Aku memang harus membenturnya, aku harus siap menghantamnya. Pengorbanan besar diantara pengorbanan-pengorbanan yang telah kulepaskan. Aku memang harus yakin bahwa cadas keras itu akan hancur oleh kekuatanku membenturnya. Tapi cukupkah kekuatanku selama ini? Yang kubawa hanyalah puing-puing kecil tak berarti.

Banyak orang yang lebih suka berdiam diri di zona nyaman, tak ubahnya batu bata yang tergolek di pinggir jalan. Kalau sudah nyaman jadi pengangguran, tak perlu mimpi menjadi pekerja yang handal. Kalau sudah jadi karyawan, asal bisa mencukupi kebutuhan finansial sehari-hari, ya sudah, mau apa lagi? Ada juga yang sudah merasa memiliki segalanya: harta, pangkat/jabatan, lalu merasa tak perlu lagi mengembangkan sesuatu yang lebih berarti. Untuk apa? Toh sudah kaya, sudah terpandang, kurang apa?

Di sisi lain, banyak juga orang yang justru membiarkan dirinya terseret arus dalam hidup. Hidup ini sangat kompleks, dengan segala dinamika dan fluktuasinya, bagi orang-orang tertentu sangatlah berat untuk dijalani. Mereka biasanya merasa hidup ini begitu kejam, begitu sulit, lalu pasrah dalam arti yang tidak positif, yaitu pasrah bongkokan. Sikap seperti ini sarat dengan keputusasaan, masa depan pun suram.

Bukanlah sebuah kehidupan yang indah dan seksi namanya kalau hidup itu hanya begitu-begitu saja. Apalagi sampai jatuh teronggok dalam keputusasaan, buntu! Sebab hidup haruslah terus berjalan, berjuang, pantang menyerah. Kitalah yang seharusnya menciptakan dinamika dalam hidup ini, bukannya malah terseret arus yang ganas.

Hufft... Serius amat sih?
Hehehee... Sebenarnya saya tadi mau sharing apa ya? Jadi lupa gara-gara terlalu serius membuat pendahuluan. Soalnya akhir-akhir ini saya juga lagi stres menghadapi beberapa perubahan dalam hidup saya. Rupanya saya juga lagi nyadar, bahwa sejauh ini pencapaian saya dalam banyak hal kok cuman sampai segini, nih? Lambat banget ya? Makanya perlu lebih dari sebuah perubahan.

Inilah celakanya kalau jadi orang jarang introspeksi. Harusnya berkaca itu ya setiap hari, bukan kalau ada momen-momen tertentu saja. Ini lantaran ada momen pergantian tahun trus mencoba evaluasi diri ternyata banyak yang kurang. Jadi siapa bilang kalau tahun baru itu hari biasa? Teman saya tuh, bilang gini, "Ngapain kamu ikut-ikutan ngerayain tahun baru? Apanya yang istimewa? Apa bedanya dengan hari-hari biasa? Sudahlah, ngapain ikut-ikutan pesta pora? Tidak ada gunanya! Maksiyat sih iya!"
Astaghfirullah...!

Kalau di akhir tahun banyak kebisaan orang membikin-bikin kaleidoskop, memasuki awal tahun begini banyak orang yang suka membuat resolusi untuk satu tahun kedepan. Seperti awal tahun lalu saya ditanya, "Apa resolusimu di tahun 2011?" Waktu itu saya menjawabnya begini: Resolusi tahun 2011: 1280 x 600 megapixels LED Touchscreen. Yang bertanya malah jadi bengong mendengar jawaban saya. Tak sadar saya juga ketularan bengong darinya. Ternyata jawaban saya nggak nyambung!

Habisnya, saya nggak ngerti apa yang dia maksud dengan "resolusi". Istilah "resolusi" yang saya kenal saat itu hanyalah resolusi berhubungan dengan jumlah pixel suatu layar monitor komputer, atau layar gadget semacam hape. Makin besar resolusinya, maka makin besar pula susunan dot matrix yang tersusun atas pixel-pixel, baik pada layar tabung, layar LED maupun LCD. Jadi ketika saya ditanya resolusi, yang terbayang dalam pikiran saya waktu itu adalah sebuah komputer tablet, semacam iPad dan kawan-kawan.

Jadi sebenarnya resolusi saya tercapai donk! Karena akhirnya saya memiliki PlayBook dan masih aktif dan setia sebagai pengguna sampai sekarang. Resolusi layar PlayBook kan tepat sama dengan ukuran yang saya sebut di atas. Hehehe... Jadi kalau di tahun 2012 ini harus ada resolusi baru, ya gampang! Tinggal pilih saja pesawat televisi monitor layar LCD atau LED yang sekian inch. Pasti resolusinya ada yang lebih besar tuh!

Bagaimana dengan pamornya yang meredup dan akhirnya padam di akhir tahun? Yaah, itu lain cerita. Lagian itu juga bukan masalah saya. Itu masalah bagi sang Produsen. Saya kan user/konsumen? Selama layanan purna jualnya tidak mengecewakan, it's OK! Buktinya di akhir tahun mereka juga masih menambah berbagai aplikasi di AppWorld, termasuk game fenomenal Angry Birds yang sudah lama ada di iPad dan di Android. Terlambat jauh sih, mahal pula!

Biarpun begitu, saya tidak kecewa sedikitpun. Redupnya citra RIM saat ini tidak mempengaruhi kinerja produk yang sudah terlanjur saya beli. Penurunan pamor itu bukan hanya karena kegagalan dalam hal pemasaran produk PlayBook, tapi juga karena sempat matinya layanan BlackBerry selama berhari-hari di beberapa belahan benua di luar sana. Itu sih kayaknya kecelakaan. Maksimal sabotase, atau apalah! Di dalam negri juga pernah terjadi kericuhan sewaktu ada penjualan produk BlackBerry dengan harga diskon. Dampaknya memang jadi luar biasa. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, berulang kesialan menghampiri RIM, sang Produsen ponsel dan layanan BlackBerry sekaligus produsen tablet yang digadang sebagai pesaing iPad itu.