Di tengah gemuruh negeri yang terus mengharu biru dengan berbagai permasalahan sekarang, saya memilih untuk menyusup ke pedalaman. Mencari peluang kedamaian hati yang barangkali masih tersisa. Lari dari tempat saya berdiam ketika ribuan problema tiba-tiba menyesakkan dada, tidak tahu siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Udara sudah sedemikian pengap oleh asap kebakaran hutan; sampah plastik membuat cemaran air semakin parah; ibukota negeri juga akan dipindah karena sudah tidak tahan dengan iklim yang semakin pengap; aksi demonstrasi mahasiswa menolak perubahan regulasi peninggalan jaman Belanda memakan korban jiwa; wacana kenaikan iuran jaminan kesehatan juga diprotes; isu rasisme yang menggejolak menyinggung hati sebagian dari penghuni negeri ini juga menimbulkan prahara yang panjang buntutnya; masih banyak lagi hal yang tak dapat disebutkan disini.

Biarlah, mungkin sebagian orang akan menuduh saya pengecut, pecundang, atau jenis binatang tertentu yang mungkin lebih hina dari makhluk paling hina. Tapi saya tetap akan menyusup ke pedalaman untuk sebuah alasan. Sebuah egiosme yang sudah lama tidak saya gunakan, ya sesekali lah egois, karena kepedulian saya kali ini saya pastikan tidak akan ada manfaatnya juga.

Entahlah, apakah hanya saya, yang saat ini tidak lagi bisa membedakan mana kawan, mana lawan? Ketika kawan-kawan baik saya berseteru sedemikian hebat, sementara untuk mendamaikan mereka justru berpotensi menjerumuskan saya dalam situasi yang serba salah. Atau saya yang sedemikian bodohnya memahami situasi saat ini, ketika cibir-mencibir, nyinyir-nyinyiran, serta olok-olok dengan bahasa-bahasa yang mengandung binatang itu sudah menjadi hal biasa saat ini? Sungguh, saya tidak sanggup mendengarnya.