Ini mengingatkan saya pada kisah Roro Jonggrang dulu. Pembuatan seribu candi yang menjadi sarat bagi sang Pangeran untuk melamar sang Putri. Pada akhirnya sang Pangeran yang bernama Bandung Bondowoso itu tidak mampu mewujudkan keinginan Roro Jonggrang sepenuhnya. Seribu candi yang harus diselesaikannya dalam waktu semalam itu hanya mampu dibuat sebanyak 999 buah. Yang satu belum sempat dibuat keburu waktunya sudah habis, karena sesuai kesepakatan seribu candi itu harus sudah kelar setelah terdengarnya kokok ayam jantan yang pertama di pagi hari.

Sebenarnya dengan sarat seperti itu Jonggrang hendak menolak lamaran Bandung Bondowoso. Tapi dia lupa kalau Bondowoso ini adalah seorang pangeran sakti. Dia sendiri juga sombong, sih. Takut seribu candinya selesai, maka Jonggrangpun membuat tipu muslihat dengan menyuruh warga menyalakan lampu di kandang-kandang ayam agar ayam jantan berkokok saat itu juga. Padahal masih tengah malam buta.

"Maaf ya, mas Bandung! Setelah saya hitung, candinya kok cuman sembilan ratus sembilan puluh sembilan biji, yah? Kurang satu, nih!" katanya.

"Masa, sih? Dik Jonggrang?" sahut Bondowoso. "Tapi meskipun begitu, kamu mau 'kan jadi pacar aku?"

"Nggak bisa, Mas! Perjanjian tetap perjanjian!" tandas Jonggrang.

"Yaah, kamu kok gitu sih? Kamu 'kan udah liat sendiri, aku dah berusaha, nih." Bandung berusaha buat negosiasi lagi. "Lagian kalau tinggal satu itu mah gampang! Kasih waktu sedikit lagi juga udah kelar, kok!"

Rintik hujan masih enggan berhenti. Walau tidak terlalu deras, namun cucuran air yang mengalir di kaca depan masih berlimpah, yang sesekali tersibak ke samping oleh wiper yang sengaja kuputar pelan. Waktu menunjukkan pukul 23.15. Mata sudah hampir mengantuk, tapi jarak menuju rumah masih sekitar lima kilometer lagi. Jalanan sudah agak lengang namun dinginnya malam seakan membekukan laju yang kupaksakan.

Sebilah cahaya petir membelah langit. Vertikal. Begitu terang hingga menyilaukan mata. Walau hanya sekejap, sebagian awan yang terpapar cahaya itu tampak terlihat jelas sekali. Seperti sayap-sayap malaikat yang hendak turun ke bumi. Andaikan saja bidadari memang sedang diutus untukku... Ah, pikiranku selalu mengacau.

Rupanya aku sudah mulai berhalusinasi. Walaupun mungkin saja itu hanya sebuah fatamorgana, tapi aku tak mau ambil risiko. Kuputuskan untuk menepi, barangkali ada yang bisa mengurangi beratnya rasa kantuk yang kian membebani pelupuk. Kulihat sehampar sawah terbentang di sisi kiri, gelap tanpa kunang-kunang.

Kumatikan mesin, juga semua lampu dan wiper. Meluruskan sandaran, lalu terlentang. Menatap runtuhan air hujan yang terus konsisten dengan iramanya mengguyur bumi. Mata mencoba terkatup, hingga gelap tampak menyerupai warna langit di sebalik hujan. Alunan saxophone dari Kenny G pun mengiringi.