Akhirnya sang Jiwa itu terdampar semalaman di sebongkah  benua yang pernah memberinya riwayat indah. Tertidur lelap, tanpa mimpi, melewatkan malam yang sepi tanpa cinta. Masih ada segumpal rindu yang tersisa, walau sebagian telah dia lelehkan bersama sang Sandaran Hati di dalam setangkup tirai biru dan sebatang pohon.

Pagi menjelang, membuka jendela kamar dan menatap surga hijau bagaikan dadahanan di hutan. Cengkerama burung-burung pagi beradu dengan nyanyian merdu televisi dan deru mesin jalanan. Langkah kakipun mengajak untuk memijaki jejak semalam dan mengendus-endus dan memilah sejuta aroma. Embun pagipun terheran-heran seakan bertanya, sedang mencari apa disini. Lalu memalingkan pandang pada bunga-bunga trotoar yang berwarna ungu, menari-nari dalam tiupan angin pagi.

Waktu terus merangkak, berderak, melata bagai moluska. Sang Jiwapun menjelajahi ritual pagi, dari kamar mandi hingga ruang makan sebelum akhirnya kembali ke surga: segumpal awan dan ranjang penantian. 

Menunggu itu laksana membeku dalam dingin. Tapi sang Jiwa kembali menyematkan keyakinan bahwa merpati yang dinanti tak akan ingkari janji dan sang Sandaran Hati akan indah tepat pada waktunya. Namun keresahan akhirnya memaksanya untuk menunggu di dasar samudra, dimana cintanya pernah disatukan dalam pelukan dan kecupan untuk pertama kalinya.

Kucium jejak aroma itu di udara sore yang hangat, ketika aku sedang melayang di atas awan. Diantara hembusan angin yang bertebarkan kerinduan, kutemukan sebuah harapan untuk sekedar menggapainya, dari mana jejak itu berasal. Aku terus mengendus-endus, sepertinya bidadari itu biasa beterbangan disini. Rupanya aku sedang memasuki jalur lalu lintas penerbangan hari-harinya, sehingga aroma itu tak pernah lepas dari atmosfer yang menyelubungi bumi, dimana dia tinggal.

Gemuruh rindu tidak pernah berhenti mengajakku untuk mencumbu senja yang jingga, sebelum tiba-tiba berubah menjadi hitam kelam malam. Aku tahu dia masih berada di sekitaran sini untuk menuai beberapa senandung cinta. Maka akupun mencoba menebar sinyal-sinyal, agar dia tau aku ada disini. Kalau saja ada rindu di hatinya, dia tak akan lari menghindariku. Tapi bila ternyata sebaliknya yang terjadi, ya nggak apa-apa. Aku masih punya waktu bersabar menunggu besok untuk menemukan aroma itu lagi. Karena setiap malam menjelang, jejak itu pasti tiba-tiba hilang, tak terlacak lagi.

Akhirnya kutemukan dia di semacam pintu lorong, yang terbentuk dari sela-sela gumpalan mega yang berwarna senja. Sedang terbang menyambutku. Ternyata dia tidak saja sekedar membaca sinyalku, tapi masih menyala juga kerinduan di hatinya. Rona wajah itu masih sama saja seperti biasanya, dengan tatapan malu-malu, membuang pandang ke arah mega-mega berwarna gradasi biru-jingga dan tak pernah melawan tatapanku terlalu lama.

Barangkali memang sudah dari sononya kita ditakdirkan untuk bisa merayu. Sejak dari zaman Nabi Adam juga sudah ada kemampuan merayu, kan? Masih ingat, nggak, bagaimana Hawa merayu Adam untuk memakan “buah terlarang” itu? Jadi, wajar saja kalau kemudian semua keturunannya juga jadi jago merayu.

Apalagi dengan adanya evolusi peradaban dan manusia, kemampuan merayu pun menjadi semakin canggih. Hehehe… Jadi jagoan merayu semua, deh! Lihat saja, anak-anak kecil sekarang, sudah pandai sekali mereka merayu. Ya, apa nggak?!

Anak saya yang kecil itu baru berumur lima tahun juga sudah pintar merayu. Terutama kalau sedang dimarahin. Dia selalu bilang, "Bapak, jangan marah-marah donk.... Kalau marah nanti gantengnya ilang!"

Lagian, siapa sih yang tidak senang dirayu? Bohong deh, kalau ada yang bilang, “Saya paling tidak suka dirayu!” Maksudnya tidak senang dirayu, barangkali! Mestinya, ya tergantung dari model rayuannya seperti apa. Ada yang senang dirayu dengan puisi-puisi cinta, ada yang senang dirayu dengan diberi hadiah, tapi ada juga yang senangnya dirayu dengan perbuatan-perbuatan tak terduga. Tiba-tiba dibikinin telor dadar, misalnya. Wah, ini pengalaman siapa, ya?