Akhirnya sang Jiwa itu terdampar semalaman di sebongkah  benua yang pernah memberinya riwayat indah. Tertidur lelap, tanpa mimpi, melewatkan malam yang sepi tanpa cinta. Masih ada segumpal rindu yang tersisa, walau sebagian telah dia lelehkan bersama sang Sandaran Hati di dalam setangkup tirai biru dan sebatang pohon.

Pagi menjelang, membuka jendela kamar dan menatap surga hijau bagaikan dadahanan di hutan. Cengkerama burung-burung pagi beradu dengan nyanyian merdu televisi dan deru mesin jalanan. Langkah kakipun mengajak untuk memijaki jejak semalam dan mengendus-endus dan memilah sejuta aroma. Embun pagipun terheran-heran seakan bertanya, sedang mencari apa disini. Lalu memalingkan pandang pada bunga-bunga trotoar yang berwarna ungu, menari-nari dalam tiupan angin pagi.

Waktu terus merangkak, berderak, melata bagai moluska. Sang Jiwapun menjelajahi ritual pagi, dari kamar mandi hingga ruang makan sebelum akhirnya kembali ke surga: segumpal awan dan ranjang penantian. 

Menunggu itu laksana membeku dalam dingin. Tapi sang Jiwa kembali menyematkan keyakinan bahwa merpati yang dinanti tak akan ingkari janji dan sang Sandaran Hati akan indah tepat pada waktunya. Namun keresahan akhirnya memaksanya untuk menunggu di dasar samudra, dimana cintanya pernah disatukan dalam pelukan dan kecupan untuk pertama kalinya.

Gelombangpun datang. Seperti biasanya, ombak selalu ingin menciumi pantai. Melangkah bersama dan akhirnya terbang menembus awan-awan dan sepasang merpati itupun menghilang. Tak terlihat.

Tapi sang Jiwa dan sang Sandaran Hati seakan tak mau berhenti bercerita tentang hari-hari yang mereka lalui, di sepanjang perjalanan. Mengepakkan sayap-sayap secara seiring dan searah menuju harapan biru.

Cintapun berlabuh, dari keheningan hingga menuju kehangatan. Membelai, menyentuh, mengecup dan terus melelehkan segala kebekuan rindu. Sampai akhirnya lelehan itu mengalir dan berhenti menggenangi setiap lekuk-lekuk kedalaman, melumuri segenap hasrat untuk memadukan jiwa pada sandarannya.

Menyibaklah segala tabir ragawi yang menyelimuti, hingga jiwa-jiwa inipun telanjang bening. Sang jiwa mencoba berdiri tegar, karena tak lama lagi dia akan ditelan kenyataan. "Kenyataan tak selamanya pahit. Kenyataan indah tak akan pernah pergi saat kita mencari." Maka sang Jiwapun masih dalam ketegaran ketika sang Bidadari itu melahapnya dengan cinta.

Sang Jiwa kembali melayang, mengawan, dan meraung dan bernyanyi. Tak sadar dia telah terbang begitu tinggi, hingga lupa dimana sang Sandaran Hati telah menyiapkan baginya senyum manis dari buah ranum merah jambu. Sang jiwapun bergegas menuai kesegaran itu. Sang Sandaran Hati tak mau menghindari, disambutnya kecupan itu hingga melumatkan kerinduan bibirnya.

Ditelusurinya lembah-lembah, ngarai, sungai-sungai, lubuk hingga pantai. Di bukit itu diapun tak lupa menenggak cinta buat melepaskan dahaganya yang telah lama. Sang Jiwa tak bisa berhenti menelusuri surga itu, hingga akhirnya dia menemukan sehampar hutan yang sarat akan kelezatan. Didengarnya nyanyian surgawi sang Dewi Cinta, desah sang Bidadari yang terus dirundung bahagia, manakala sang Jiwa terus mereguk kelezatan demi kelezatan.

Ketika lecutan hasrat sudah mencapai ketinggian, maka sang Jiwapun menukik, menghunjam dalam-dalam. Bidadari itupun menari-nari seirama nyanyian surgawi. Tak pernah mau berhenti. Tarian sang Jiwa dan sang Sandaran Hatinya telah terpatri dalam nyanyian cinta itu.

Tak ada lagi rindu. Lelehan kebekuan telah lunas. Menguap bersama didihan darah yang mendesir saat sang Jiwa menghunjam berulang-ulang. Hingga keduanya kembali terbang tinggi melampaui lapis-lapis langit, sebelum akhirnya bersama-sama mendaratkan diri di atas ranjang penantian.

Berpelukan. Berciuman.

0 komentar: