Letih, lelah, lesu, lemah.... Begitu yang kurasakan. Sepertinya aku sedang menderita anemia atau gejala kurang darah. Hasil pemeriksaan laboratorium darah ternyata normal. Bahkan semua hasil pemeriksaan yang ada, menunjukkan hasil yang sangat mengagumkan. Tapi kenapa gejala-gejala aneh itu selalu mengusik hari-hariku?

Lebih cermat lagi aku lihat di hasil-hasil pemeriksaan gula darah, kholesterol, fungsi hati, fungsi ginjal, semua hasilnya membuat aku mengucap puji syukur alhamdulillah, karena sampai detik itu masih dikaruniai kesehatan yang luar biasa. Tapi semoga aku sedang tidak tertipu, semoga hasil pemeriksaan darahku tidak sedang tertukar sama punya orang. Satu lagi, semoga aku tidak sedang bermimpi!

Oke, anggap saja hasil itu bisa dipercaya. Berarti nggak ada masalah di sana. Tapi tetap ada sesuatu yang nggak beres disini. Dimana? Ya di dalam tubuh ini. Kenapa? Hmm... itu yang sedang diselidiki. Karena kenyataannya, aku sedang merasakan kehadiran sesuatu yang tidak seimbang, sesuatu yang tengah melanda. Membuatku terus menerus gelisah dan resah sepanjang hari, sepanjang malam. Lebay but true.

Kalau penyakit fisik sudah tersingkirkan, masih mungkin adanya gangguan non fisik yang bisa saja melanda setiap orang. Penyakit jiwa! Ya. Tapi jangan negatif dulu, karena penyakit jiwa tak selamanya gila. Stress, galau, trauma, fobia, depresi, itu semua bisa saja diderita setiap orang normal. Nggak ada orang yang sepanjang hidupnya bisa benar-benar terhindar dari penyakit-penyakit jiwa itu.

Semakin berumur seseorang, tentu sudah sedemikian kenyang dengan apa yang disebut kegagalan. Kegagalan adalah hal biasa dalam hidup. Kegagalan inilah yang biasanya dekat dengan gejala-gejala gangguan jiwa itu.

Hadehhh... kok aku jadi takut, yah? Tapi yang ini gejala apa sebenarnya?

Biasanya permasalahan hidup itu hanya berputar di tiga sumbu kehidupan saja: harta, tahta dan cinta.

Cuman itu?

Iya. Contoh saja masalah kekurangan materi, masalah keuangan, masalah kesenjangan kebutuhan hidup dengan penghasilan, itu masuk di harta. Masalah pekerjaan, masalah kantor, masalah karir, masalah pendidikan, itu masuk di tahta. Masalah hubungan dengan pacar, masalah suami-istri, kenakalan anak, masalah dengan mertua, itu nggak lain hanyalah masalah cinta.

Ketiga sumbu itu bisa saja bertemu, sehingga permasalahan hidup ini menjadi kian kompleks.


Tapi ternyata nggak gampang mengupas masalah sendiri hingga benar-benar telanjang. Nggak semua orang ternyata mampu memahami bahwa obat dari segala penyakit hati sebenarnya hanyalah dirinya sendiri. Nggak semua orang ngerti bagaimana mengobati diri sendiri dengan takaran dan sarat yang tepat. Malah banyak yang seolah "menikmati" sakitnya yang tidak pernah kunjung sembuh.

Malah kadang mencari kambing hitam. Sakitnya gara-gara bikinan orang, sakitnya gara-gara ketempelan jin pinggir jalan, akhirnya lari kepada syirik dan ketakhayulan. Kalau aku jadi jin, aku marahin tuh orang. Enak aja nuduh-nuduh gue nempel sama dia, emang apa enaknya?

Makin ruwet memang. Bahkan nggak semua orang ternyata memahami masalahnya sendiri. Permasalahan seringkali jelas, tapi tak terungkap karena menyangkut harga diri dan rahasia hati. Kalau sudah begini orang cenderung berdiam diri, tidak mau berbagi dan hanya menunggu dirinya sendiri menyadari.

Ternyata harus berani jujur sama diri sendiri dulu. Kalau nggak mau jujur, ya susah. Silahkan dipendam sendiri penyakit itu. Ntar kalau 'udah parah, mau gak mau, suka gak suka, ketahuan deh. Heheheheheee... jadi malu!

Oke, aku mau jujur. Tapi aku tentu nggak mau donk, kalau rahasiaku diketahui orang? Lah, gimana sih? Aku mau bikin analoginya saja yah?

Kamu tentu pernah mendownload suatu file berukuran besar, katakanlah sebuah file video atau lagu, pada saat koneksi internet lagi nggak bersahabat. Tertera di layar, ukuran file yang terdownload baru 5%, estimasi total waktu yang diperlukan untuk download 160 jam! Karena kamu termotivasi sama keindahan harapan bahwa video yang kamu download itu video bagus, maka dengan sabar kamu menunggu. Tapi ketika kamu berpikir bahwa segala sesuatunya menjadi tidak realistis, maka kamupun mengklik tombol "cancel" untuk menyudahi harapan nan indah itu.

Sudah dapat dimengerti belum, analoginya? Kayaknya tetep harus diterangin deh...

Rasa-rasanya saat ini aku hanya perlu bersabar. Itu doank. Nggak tau harus berapa lama menunggu. Kalau dihitung-hitung mungkin perlu 300 tahun untuk bisa menikmati "euforia cinta" yang indah itu di depan sana. Kalau mau realistis, aku memerlukan usia hidup seperti orang-orang jaman Nabi Musa, atau sebelumnya lagi. Kalau umur-umuran manusia sekarang, ya jelas nggak bakalan cukup untuk menikmati euforia itu.

Walaupun semuanya Tuhan yang menentukan, aku tetap tidak percaya kalau Dia bakal mengaruniakan usia sampai setua itu bagi manusia sekarang ini. Bahkan aku percaya dan yakin kalau Tuhan itu Maha Pemurah, tapi aku yakin Dia juga tidak akan mengabulkan doaku ketika aku memohon untuk memiliki umur sampai segitu.

Malah kebayang aku jadi manusia langka di muka bumi, jadi tontonan sebagai manusia paling tua di dunia, dengan wajah yang kusut kayak kertas tisu bekas, bodi lemah lunglai, dan sebentar-sebentar perlu bantuan nafas dari ventilator.

Nggak tau, ya. Kenapa juga sampai sekarang aku nggak juga berhenti berharap, walaupun nyata-nyata harapanku itu hampir mustahil. Satu hal yang selalu memaksaku untuk yakin bahwa keinginan memang sumber dari penderitaan.

Hidup memang pilihan. Rasa-rasanya aku ini sedang berdiri di simpang jalan. Berdiri di salah satu ruas jalan di perempatan. Sekarang ini sedang bingung, apakah mau jalan terus ke depan, ataukah belok ke kiri, atau ke kanan, atau malah putar mundur?

Rupanya saat ini aku sedang ditantang untuk berbelok. Nggak tau ke kanan atau ke kiri. Setahuku hanya jalan di depanku yang sudah kelihatan. Jadi kalau aku memilih lurus-lurus saja, aku sudah melihat kemungkinan apa yang akan terjadi. Sekarang kalau harus belok, aku sama sekali nggak ngerti jalan ini ke mana? Gimana kondisi jalannya, rusak atau tidak, medan naik-turunnya berat atau tidak. Buntu atau tidak.... Semua baru mulai kelihatan setelah aku benar-benar berbelok dan harus siap dengan segala konsekuensi yang bakal terjadi.

Aku terlalu berani untuk menjalani pilihan itu. Aku merasa hampa untuk kesekian kalinya kalau harus menghadapi kenyataan dimana ternyata kebahagiaan yang aku impikan itu harus ditempuh dengan kesabaran selama 300 tahun. Kalaupun aku sanggup, mestinya bodi gue haruslah sebesar dan sekekar seekor banteng dewasa yang berat badannya mendekati satu ton!

Akhirnya akupun harus tetap realistis. Walau fisikku memiliki keterbatasan, terutama dalam hal kekekalan, namun aku masih yakin bahwa jiwa dalam dirikulah yang lebih abadi. Dialah yang akan menggapai euforia cinta itu kelak. Aku nggak bisa berharap bisa membangkitkan kembali ragaku sebagaimana yang dilakukan High Priest Imhotep dalam film The Mummy. Aku tidak punya kesaktian seperti itu.

Semoga kebahagiaan itu abadi.

0 komentar: