Pembicaraan tentang empat -ta (4-ta) ini memang tidak pernah membosankan. Hal ini karena memang banyak pemahaman yang berbeda dalam memandang keempatnya. Ada banyak variasi dalam meletakkan prioritas bagi 4-ta dalam hidupnya. Banyak orang memang sengaja menempatkan keempatnya sebagai tujuan hidup.

Sebagian ada yang beranggapan bahwa harta dan tahta adalah segalanya. Alat ukur kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa besar rumahnya, berapa banyak mobilnya, jabatan apa yang dia duduki sekarang. Pernah ada istilah cewek matre, seorang cewek yang menentukan kriteria cowok yang menjadi idamannya harus memiliki ini dan itu, semua tentang harta dan kedudukan. Mereka biasanya bilang, “Loh! Realistis, ‘kan? Memangnya kalau sudah kawin gue mau dikasih makan cinta doang?”

Tapi jangan salah loh, ada juga ternyata orang yang tidak begitu peduli dengan harta dan kedudukan. Kepuasan bagi orang ini timbul manakala dia dianggap sebagai orang yang pandai. Orang ini biasanya panda bicara. Sehingga seringkali tampil berceramah, berpidato, berdebat, dan segala urusan yang berhubungan dengan adu ilmu, dia jagonya. Apalagi kalau ada kesempatan berceramah di muka orang banyak, dia betah berjam-jam berbicara sendiri tak peduli yang mendengarkan sudah mengantuk dibuatnya.

Ada juga yang memiliki hobi bercinta. Kadang tak peduli hidupnya berantakan. Harta dan kedudukannya seringkali dikorbankan begitu saja untuk meraih kesenangan berupa hubungan antar individu yang sifatnya berlebihan.

Memang sekilas semuanya tampak realistis. Seseorang akan dipandang dari salah satu atau beberapa unsur dari 4-ta yang dimilikinya. Tidak jarang kita terlibat dalam pembicaraan ketika mengidentifikasi seseorang, misalnya:

Ada apa dengan kapak?
Ini adalah sebuah cerita pendek yang perlu dibaca sebagai bahan perenungan. Cerita ini saya dapatkan dari seorang senior saya dan sempat membuat saya merenung seharian. Pada hari ini saya baru sempat berbagi dalam blog ini. Semoga bermanfaat...

Pada jaman dahulu kala ada seorang pengembara yang mencari makan dengan menjual jasanya sebagai seorang penebang kayu. Namanya pengembara, dia tidak punya rumah ataupun harta benda berharga selain pakaian yang menempel di tubuhnya dan sebuah kapak sebagai alat penebang pohon. Dengan modal kapak itulah dia mendapatkan upah dari hasil menebang pohon. Hari-hari dia lalui dengan mengembara untuk mencari pelanggan yang akan memanfaatkan jasanya sebagai penebang kayu. Upah yang didapatnya lumayan buat bekal hidup beberapa hari sebelum dia mendapatkan pelanggan baru untuk memanfaatkan jasanya itu. Bayangkan betapa miskinnya dia waktu itu.

Hari berganti, bulan berganti. Ia masih tetap seorang pengembara yang setia dengan pekerjaannya. Tapi dia sudah mulai bisa menabung dan membeli pakaian baru. Tak lama kemudian dia sudah mulai bisa memiliki tempat tinggal. Setelah tahun berganti, iapun sudah mulai memiliki rumah yang sudah cukup memadai untuk dia tinggali.

Dia masih miskin, tapi dia begitu rajin menabung. Bahkan sekarang dia tidak lagi repot-repot mencari pelanggan untuk menggunakan jasanya sebagai penebang pohon. Setiap hari ditebangnya pohon dan dikumpulkannya di sebuah lahan miliknya. Sejak saat itu jika ada pelanggan yang membutuhkan kayu tinggal datang ke tempat tersebut untuk membeli kayu sesuai jenis kayu yang dia inginkan.

Bukan main, perkembangan terasa begitu cepat. Sang pengembara ini sekarang sudah memiliki beberapa orang pekerja untuk membantunya menebang kayu dan mengumpulkannya. Pendek kata, orang ini sudah menjadi seorang pengusaha kayu yang sukses. Pelanggannya tidak saja dari wilayah sekitar, tapi juga dari luar batas wilayah kerajaan tempat dia tinggal.