Energi negatif memang sesekali harus dipanen. Nggak selamanya ditabung dan ditumpuk-tumpuk terus. Walaupun sebagian sudah diupayakan untuk diseimbangkan dengan memperbanyak energi positif, namun tentu masih ada residu-residu negatif yang masih tersisa, mengendap dan tidak mudah dilarutkan begitu saja. Dengan kata lain, proses netralisasi energi negatif dengan menggunakan energi positif sepertinya tidak selalu bisa terjadi.

Ada hal-hal yang kuyakini dalam hidup ini, walaupun mungkin bagi orang lain tidaklah sepenuhnya benar. Aku hanya memetik pelajaran dan hikmah dari perjalanan hidup dari sudut pandangku sendiri, yang mungkin tidak berlaku bagi orang lain. Termasuk dalam hal meyakini hukum keseimbangan alam, lebih khusus lagi keseimbangan antara unsur energi negatif-positif yang berlaku disetiap orang.

Saya mungkin sengaja, atau setengah sengaja dalam melakukan ini. Saya melakukan apa yang disebut menuai energi negatif dalam hidup saya. Yaitu dalam bentuk sakit. Sakit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, sakit yang oleh banyak orang justru dihindari, ini malahan sengaja saya rencanakan.

"Saya minggu depan ijin tidak masuk, ya? Saya mau sakit seminggu!"

"Lho, sakit kok direncanakan? Itu bukan sakit beneran! Itu namanya pura-pura."

Meliuk, mendayu, manja. Begitulah sang Jiwa kalau sudah bertemu sandarannya. Sepertinya segala kerinduan yang dibendungnya selama tujuh purnama, kini ditumpahkan begitu saja. Demikian pula sang Sandaran Hati, serasa menenggak hujan pertama di akhir kemarau panjang, tersenyum bahagia.

Ketika itu wacana untuk menyelipkan selembar rencana di dalam serangkaian skedul yang teramat padat telah menjadi nyata. Dibayarnya sang Angin yang biasanya hanya dititipi salam, untuk mengangkat sayapnya terbang menuju kekasih hati pada hari itu. Beban rindu di pundaknya sudah melebihi segalanya, hingga harga mahal yang dimintapun tak dihiraukannya. Yang dia tahu hanya satu: menciptakan kebersamaan, walau dia tahu itu hanya untuk sesaat.

Tidak semudah itu juga sih. Kegagalan pernah terjadi ketika wacana hanya tinggal wacana. Kekecewaanpun bergulir. Menangis. Mengelus dada dan bergumam, sabar, sabar, sabar, .... Akan indah pada waktunya,....

Masih seperti mimpi, ketika sang Jiwa tiba di tempat yang dijanjikan. Di bawah atap Surga itu ia masih terus berkelahi dengan dirinya sendiri. Berharap segera bertemu agar pertengkaran itu bisa rehat sejenak seperti kisah bersambung. Sang Sandaran Hatipun masih mengatur waktu dan berhadapan dengan hujan. Hanya serbuan pesan pendek yang bisa dia kirim-terimakan melalui jaringan, kebetulan cukup bersahabat di siang yang basah itu.