Energi negatif memang sesekali harus dipanen. Nggak selamanya ditabung dan ditumpuk-tumpuk terus. Walaupun sebagian sudah diupayakan untuk diseimbangkan dengan memperbanyak energi positif, namun tentu masih ada residu-residu negatif yang masih tersisa, mengendap dan tidak mudah dilarutkan begitu saja. Dengan kata lain, proses netralisasi energi negatif dengan menggunakan energi positif sepertinya tidak selalu bisa terjadi.

Ada hal-hal yang kuyakini dalam hidup ini, walaupun mungkin bagi orang lain tidaklah sepenuhnya benar. Aku hanya memetik pelajaran dan hikmah dari perjalanan hidup dari sudut pandangku sendiri, yang mungkin tidak berlaku bagi orang lain. Termasuk dalam hal meyakini hukum keseimbangan alam, lebih khusus lagi keseimbangan antara unsur energi negatif-positif yang berlaku disetiap orang.

Saya mungkin sengaja, atau setengah sengaja dalam melakukan ini. Saya melakukan apa yang disebut menuai energi negatif dalam hidup saya. Yaitu dalam bentuk sakit. Sakit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, sakit yang oleh banyak orang justru dihindari, ini malahan sengaja saya rencanakan.

"Saya minggu depan ijin tidak masuk, ya? Saya mau sakit seminggu!"

"Lho, sakit kok direncanakan? Itu bukan sakit beneran! Itu namanya pura-pura."

Aneh, memang. Agak susah diterima akal sehat bagi sebagian besar orang. Kecuali yang sudah mencoba mengerti penjelasan saya ini.

Sebenarnya sakit saya ini nggak direncanakan. Yang direncanakan adalah "treatment"nya. Beberapa penatalaksanaan penyakit perlu secara khusus dipersiapkan, termasuk kematangan (maturitas) penyakit, kondisi kesehatan yang melatarbelakangi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan mental. Apalagi untuk treatment berskala besar, katakanlah prosedur pembedahan, banyak orang biasanya mundur teratur bahkan menghindari tindakan medis operatif ini dengan berbagai alasan.

Beberapa diantara pasien yang pernah memperoleh vonis "harus operasi", malah tidak mau lagi mengunjungi dokter dan beralih ke penyembuhan alternatif yang relatif tidak menakutkan sebagaimana tindakan pembedahan. Rupanya tindakan medis operatif menjadi momok yang hampir selalu menciutkan mental bagi siapapun yang mendengarnya. Nggak peduli dia orang kaya, apalagi orang miskin. Nggak peduli orang pinter, apalagi begok!

Sebagai orang medis, sebagai seorang dokter, saya sendiri mengakui, bahwa untuk menghadapi operasi diperlukan mental yang benar-benar siap, baru kemudian kesiapan fisik dan finansial bisa menyusul kemudian.

Bertahun-tahun lamanya saya menyimpan penyakit ini dalam tubuh saya. Saya masih seperti kebanyakan orang, kalau bisa tanpa operasi, kenapa harus operasi? Padahal sesuai pengetahuan yang saya peroleh, kondisi penyakit saya ini harus dioperasi untuk hasil terbaik. Bagaimana tidak? Timbunan massa patologis dalam tubuh harus dioperasi agar bisa hilang. Kalau mengharap bisa mengempis sendiri, itu kecil sekali kemungkinannya. Malahan sebagian besar justru bertambah besar, komplikasinya makin rumit, peningkatan stadium penyakit dan risiko pembedahannya akan semakin sulit.

Baru kemarin itulah saya memberanikan diri untuk memulai penatalaksanaan penyakit saya ini. Saya harus operasi! Saya sudah pikirkan segala dampaknya, hambatannya, risikonya, baik secara fisik, finansial, maupun teknis pelaksanaannya. Termasuk derita dan komplikasi pasca operasi yang mungkin terjadi.

Sayapun akhirnya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, kalaupun terjadi apa-apa terhadap diri saya, itu hanyalah semata-mata kehendak dariNya. Kalau saya akan menderita nantinya, itu semata-mata cobaan darinNya. Bahkan aku sudah memohon, semoga derita yang mungkin akan aku alami nanti bisa menjadi semacam pencairan dosa, yang akan mengurangi saldo dosa-dosa saya yang selama ini tidak terbayarkan hanya dengan berbuat kebaikan. Barangkali saja kebaikan yang saya lakukan menurut saya sudah banyak, ternyata belum cukup untuk membersihkan dosa saya, maka hanya Dialah yang tahu.

Akhirnya benarlah yang terjadi. Sebelum masuk rumah sakit saya masih baik-baik saja. Sehat, tidak tampak sakit, bahkan masih sempat masuk kerja dan memberikan materi mingguan bagi teman-teman kerja yang rutin diselenggarakan setiap minggu. Begitu operasi selesai, serangkaian penderitaanpun saya alami silih berganti. Selayaknya, masuk rumah sakit itu horizontal, keluarnya vertikal. Saya sebaliknya.

Maka seperti yang sudah saya niatkan, saya hanya istighfar saja menghadapinya. Mulai dari nyeri hebat di luka bekas operasi, nyeri saluran kemih pasca pemasangan kateter, nyeri punggung karena pemasangan epidural set, pegel-pegel di kaki pasca hilangnya efek pembiusan, mual dan muntah efek samping obat bius, semua terjadi di hari pertama pasca operasi. Ditambah lagi sakit perut dan mencret karena tak terbiasa minum air dispenser isi ulang, sakit kepala berat yang tidak sembuh hanya dengan tidur, pusing tujuh keliling tanpa sebab jelas, dan endingnya sekarang ini sedang saya derita adalah sakit jiwa: Stress berat!

Yang terakhir ini dikarenakan semua yang terjadi ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Termasuk hari perawatan yang saya kira hanya tiga hari, ternyata seminggu telah berlalu, saya belum juga diijinkan pulang. Sementara itu penderitaan saya setiap hari selalu berganti baru. Saya tidak tahu lagi apa yang akan terjadi besok. Kalau ternyata belum akan usai juga derita saya, besok pasti ada masalah lagi yang memaksa saya istighfar berulang-ulang. Makanya, hari ini sayapun stress berat!

Istri saya, orang satu-satunya yang saya harapkan menemani, mendampingi, dan mengurus saya selama sakit, rupanya juga sudah mulai tidak kuat lagi. Selain derita yang saya alami, rupanya dia juga kecipratan beban berat di hatinya. Awalnya hanya diskusi hangat, buntutnya menjadi sensitif dan kamipun berantem. Seolah permasalahan yang sudah lewat selama ini ditumpuk, akhirnya dirobohkan begitu saja. Terbentuklah akumulasi ruwet yang nggak mungkin lagi diuraikan dalam waktu semalam.

Sudahlah. Akhirnya saya memilih diam. Masuk dalam alam renungan masing-masing. Saya hanya yakin, ini semua terjadi atas permintaan saya sendiri. Permintaan saya pribadi kepada Sang Pencipta, agar menjadi pengurang dosa saya selama ini. Sayapun siap menuai energi negatif. Semoga setelah ini, semuanya lunas!

3 komentar:

Unknown mengatakan...

semoga apa yg telah dijalani, n dituang dalam kata...menjadi "kaca" bagi si pembaca...(thank's Pak )

Anonim mengatakan...

Istighfar itu jng terpaksa ya...dan tdk cm istighfar yg diperlukan tp jg sholawat biar hati tenang dan pasrah. Klo sdh pasrah jng trlalu dipikir apa dan kenapa2nya, pasrahkan saja. Biar tangan Tuhan yg bekerja.Nikmati saja. Hehehe......

Sexy Goodliving mengatakan...


Thanks mas Ateng Rafael, dan mbak Anonim (hehe, ternyata adhikku Riris toh), terima kasih sudah mampir.
Semoga kita selalu dibimbing ke jalan Tuhan dan kebenaran.