Malam telah kelam, hanya tinggal nyanyian serangga-serangga berirama. Harapanku pagi akan segera terbit untuk membentuk kembali diriku menjadi manusia utuh, setelah semalam hanya sukma dalam mimpiku yang mengembara. Terkadang memang sukma mengembara terlalu jauh dalam mimpi, sehingga pagi hari harus bangun tidur dengan rasa capek dan mual-mual.

Perjalanan “Hidup Menjadi” telah berlalu sebulan-dua. Api yang pernah meletup meninggalkan bara merah yang kian padam. Haruskah setiap letupan berakhir dingin bagai arang?
Masih di dalam mimpi, ketika ombak tidak lagi menderu. Hanya percikan-percikan kecil dengan riaknya yang dingin. Langkah merengkuh di lorong yang samar-samar tanpa sinar. Sebab, rembulan tak lagi bersemayam di peraduan, dan bintang-bintang tak lagi menyanyikan diri menghias angkasa di langit yang biru. Hanya sesekali lolong anjing malam yang merdu di balik semak-semak belukar.
Derap semakin jauh. Cita hidup sudah terlanjur menjadikan. Tak ada alasan untuk berhenti. Tapi masih saja ada yang menghalangi. Sinarmu, ya, sinarmulah yang kutunggu. Ke mana saja engkau selama ini?
Pantai yang sepi, kembali menggelar hamparan harapan hampa. Di pasirmupun tidak ada nama itu. Kau hanyalah sebatang pohon tempat aku menggoreskan sejarah hidupku, ketika aku harus melewati kebunmu. Engkau bukanlah visi dan misi yang harus kutempuh, melainkan hanya bayangan yang selalu menghantui dan menyakiti hati.
Semoga Tuhan memberikan (kepadaku) kebun yang lebih indah dari kebunmu (itu). Dan semoga Tuhan memberikan ketentuan (petir) kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
Akhirnya aku harus kembali kepada kekuatanku sendiri. Menghimpun segala kemungkinan di pantaiku, dan menunjuk satu kemungkinan yang paling berharga untuk membelah ombak yang tak pernah berhenti berdesir.


Ada beberapa orang yang diam-diam menjadi idola saya. Diam-diam pula saya ingin seperti dia. Ada banyak hal bisa diteladani dari orang-orang ini, baik dari sikapnya, perilakunya, tutur katanya, tindak-tanduknya, semuanya! Bahkan sampai pada pilihan kata-kata yang diucapnya pun saya suka menirukannya. Mereka semua bukan tokoh-tokoh terkenal saat ini, mungkin calon tokoh. Jadi kalau saya ingin meniru mereka dan berharap bisa seperti mereka, itu masih sangat wajar dan tidak mustahil. Ada yang lebih muda dari saya, ada yang lebih tua. Tentu saja mereka masih manusia yang memiliki kelemahan, tapi itu bukan bagian yang ingin saya tiru. Pernah juga ada sikapnya yang tidak saya suka, tapi nilai positifnya masih bisa menutupi kelemahan itu.

Barangkali aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini karena hidupku saat ini setidaknya sudah seperti apa yang pernah saya cita-citakan sewaktu masa kecilku dulu. Hidup dari gaji yang diterima secara teratur dari bekerja sebagai karyawan kantoran. Pekerjaan mengurus administrasi yang bergelut dengan kertas-kertas kerja dan komputer di sebuah perusahaan, ada jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan sosial, dan tunjangan-tunjangan untuk kesejahteraan keluarga. Karir yang telah terletak di jalur mapan, siap untuk akselerasi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. Kapanpun dan dimanapun tinggal menunggu waktu sambil belajar dan terus mengembangkan diri secara continuous learning sebagaimana salah satu budaya atau corporate culture yang berlaku di perusahaan tempat aku bekerja.

Sekarang usiaku sudah hampir genap 34 tahun, usia yang masih terlalu muda untuk menggunakan pengalamanku yang hanya seujung rambut. Padahal mimpiku sudah jauh melampaui usia 300 tahun. Aku sering menggunakan “alam bawah sadar” dalam menjalani hidup ini. Meskipun akhirnya aku sadar bahwa mind set yang kubangun selama 34 tahun terakhir ini tidak bisa menandingi mind setnya nenek moyang kita yang konon usianya ada yang mencapai 350 tahun. Bagaimana mungkin usia belum genap 35 sudah mau memiliki pengalamannya orang yang berusia 350 tahun?
Sebenarnya aku sudah berkali-kali kecewa karena hidup dengan “alam bawah sadar” seperti ini. Bahkan sudah sering kali kena batunya tanpa kapok-kapok juga.
Apa sih maksudnya hidup di alam bawah sadar? Aku sendiri juga nggak ngerti-ngerti amat tentang alam bawah sadar ini, tapi kira-kira ya begini inilah!
Contoh sederhananya saja ketika aku naik motor. Aku sangat menikmati naik motor. Aku menjadi pengendara motor sejak SMA, karena pada masa itu orang tuaku baru bisa membelikan aku motor, itupun bukan motor baru. Motor second hand yang sudah tidak keluar lagi suku cadangnya, sehingga tiap kali rusak harus dibandrek dengan suku cadang lain sekenanya. Tapi waktu itu aku sudah mulai menikmati naik motor. Jauh lebih nikmat daripada naik mobil mewah sekalipun. Biar perjalanan jauh, bahkan sampai empat jam perjalananpun, biar dengan hujan, biar panas terik, asal bermotor pasti lebih aman dibanding harus naik mobil atau bus ber AC, full music, toilet di dalam.
Tapi boleh dibilang aku ini pengendara motor yang ceroboh. Aku suka sekali bermotor dengan kecepatan tinggi. Tidak selalu tinggi sekali tapi relatif lebih cepat dari rata-rata orang berkendara di jalan. Terutama kalau pas berada di jalan raya yang padat kendaraan, terasa sekali aku begitu gesit menerobos celah-celah diantara kendaraan-kendaraan yang lain. Baik lewat sebelah kiri dekat bahu jalan, ataupun ke tengah jalan. Bahkan kalau jalur kanan sedang sepi aku tak takut untuk melenggang ke kanan untuk mendahului kendaraan di depanku.
Anehnya, “sistem” pengendali motor yang bekerja pada diriku ini seperti sudah otomatis. Tanganku sudah sedemikian lihai membelok-belokkan haluan ke kiri dan ke kanan. Demikian juga kaki yang selalu siap menginjak rem sewaktu-waktu, bahkan dalam kondisi mendadak. Kaki kiri juga otomatis menggeser pedal persneling, kedepan, kebelakang tergantung kecepatannya.
Aku nyaris tidak menggunakan indera lain saat bermotor selain mata. Bahkan ketika telingaku kusumbat dengan earphone, mendengar lagu-lagu berirama Disko atau musik Rock yang kuputar dari MP3 player atau HP, sama sekali tidak mengganggu pengendalian. Satu indera yang jelas-jelas bekerja di bawah sadar adalah mata. Tanpa sadar mata ini bisa mendeteksi jarak-jarak antar kendaraan terhadap motor yang sedang kunaiki. Ketika kendaraan di depanku mendadak mengurangi kecepatannya, secara refleks kakiku menginjak rem. Begitu juga tangan kananku langsung menggenggam rem. Tidak pernah ada kejadian sampai menabrak kendaraan di depanku yang searah. Refleks merupakan gerakan yang timbul tanpa sadar sebagai suatu reaksi terhadap indera, yang kemudian baru disadari setelah proses gerak refleks selesai. Setelah menyadari inilah seringkali sadar pula dari lamunan, ternyata bahwa sebelum ada gerak refleks tadi rupanya aku melamun atau memikirkan sesuatu selama mengemudi.
Sebenarnya cara mengemudi seperti ini boleh dibilang berbahaya. Yang seharusnya dilakukan oleh seorang pengemudi adalah benar-benar konsentrasi di jalan. Tapi aku bukan pengemudi yang bisa melakukan demikian. Rasanya bagiku berkonsentrasi adalah hal paling menyiksa dalam hidup ini.
Itu hanya satu contoh, yaitu mengemudi. Contoh lain banyak!



Ketupat selalu identik dengan Hari Raya Lebaran. Tetapi sebenarnya apa sih yang membuat Ketupat menjadi tradisi yang selalu ada waktu Lebaran? Apa filosofinya?
Pertanyaan yang ada sekarang, kenapa menggunakan Ketupat? Bagi masyarakat Jawa, Ketupat memiliki arti tersendiri, selain dari nama dan bentuk, proses pembuatan Ketupat sendiri memiliki makna dan arti dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Ketupat dalam Bahasa Jawa biasa disebut kupat, dalam salah satu website, disebutkan bahwa adanya tradisi makan Ketupat di luar (setelah) hari Lebaran, yang biasanya dinamakan dengan hari Raya Ketupat, disebut sebagai tradisi Kupat Luar. Kupat ini berasal dari kata Pat atau Lepat (kesalahan) dan "Luar" yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas, dengan harapan bahwa orang yang memakan Ketupat akan kembali diingatkan bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan, sehingga masyarakat diharapkan akan saling memaafkan dan saling melebur dosa dengan simbolisasi tradisi kupat luar.
Di salah satu sumber lain, Ketupat berasal dari kerotoboso (atau bahasa singkatan) dari kata Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi Ketupat diharapkan akan membuat kita mau mengakui kesalahan kita sehingga membantu kita untuk memaafkan kesalahan orang lain juga. Sehingga, dosa yang ada akan saling terlebur.

Pada umumnya, dikenal dua bentuk Ketupat, dan bentuk yang paling sering dikenal adalah bentuk Ketupat yang seperti pelajaran di SD dulu yaitu belah ketupat! Bentuk persegi seperti ini dapat diartikan di masyarakat Jawa sebagai perwujudan dari kiblat papat lima pancer, dengan berbagi penjelasan dan berbagai cara memandang. Ada yang memaknai kiblat papat lima pancer ini sebagai keseimbangan alam: 4 arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Akan tetapi semua arah ini bertumpu pada satu pusat. Bila salah satunya hilang, keseimbangan alam akan hilang. Begitu pula hendaknya manusia, dalam kehidupannya, ke arah manapun dia pergi, hendaknya jangan pernah melupakan pancer: Tuhan yang Maha Esa.
Kiblat papat lima pancer ini dapat juga diartikan sebagai 4 macam nafsu manusia dalam tradisi Jawa: amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah. Amarah adalah nafsu emosional, aluamah adalah nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah atau bagus, dan mutmainah adalah nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini adalah empat hal yang kita taklukkan selama berpuasa, jadi dengan memakan Ketupat, disimbolkan bahwa kita sudah mampu melawan dan menaklukkan hal ini.
Kita bicarakan bahan pembuatnya yuk...
Ketupat merupakan makanan dengan isi beras, berselongsong janur atau daun kelapa yang berwarna agak kekuningan. Salah satu cara mematangkan Ketupat adalah dengan merebusnya dalam santan, atau, jika Ketupat direbus dalam air biasa, akan dihidangkan bersama makanan bersantan
1. Janur kuning.
Janur kuning ini adalah lambang penolakan bala. Di Kraton Surakarta, ada salah satu aksesoris wajib yang harus dikenakan, dan berbentuk kain panjang berwarna kuning. Kain ini disebut samir. Samir ini merupakan penolak bala, nah, Janur kuning adalah simbol dari samir tersebut.
2. Beras.
Sebagai simbol kemakmuran, beras dianggap sebagai doa agar kita semua diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya.
3. Santan.
Santan, atau dalam bahasa jawa santen, berima dengan kata ngapunten yang berarti memohon maaf. Salah satu pantun yang terkenal yang menyebut keberadaan Ketupat dan santan adalah:
Mangan kupat nganggo santen.
Manawi lepat, nyuwun pangapunten.

(Makan Ketupat pakai santan.
Bila ada kesalahan mohon dimaafkan.)

(Dicomot dari KapanLagi.com - Jum'at, 26 September 2008)


Ikan Bakar Rica


Berlatar belakang kenangan tentang Ternate


Temaram Seperti Senja

Angin menghembus pelan, menggerakkan daun-daun nyiur yang hanya tampak sebagai bayang-bayang di depan langit gelap kebiruan. Suara alam pun tenggelam, bergantikan suara serangga-serangga menjemput malam. Bahkan hatipun tak sanggup memaknai apa kata alam ini kepadanya. Rasanya telah terlalu jauh tersesat di sebuah ujung dunia fana, entah dimana.

Kenapa pula tiba-tiba terhenti disini. Seperti ada semacam kerapuhan didalam sehingga hilang semua keramaian yang kemarin. Tersadar lagi akan ketololan yang tak sengaja terpelihara sampai sekarang. Seolah-olah inikah hakikat yang ada: rapuh, pada saat kiri dan kanan tergelayut beban yang harus dipikul.
Hati merasa terhempas, terlempar ke tepi sebuah masa dimana hanya ada ketololan yang menyertai. Sendiri: tanpa anak dan istri, tanpa pekerjaan, tanpa harta, tanpa jiwa, tanpa Tuhan!

Pemandangan yang indah dan seksi hanyalah kesementaraan yang selalu habis dalam sesaat. Semua telah berubah temaram seperti senja ini. Senja dimana angin menghembus, menggerakkan daun-daun nyiur yang hanya tampak sebagai bayangan gelap di depan sisa-sisa terangnya langit biru.

Begitu rupanya sedari dahulu, gelap tanpa sinar menerangi tatkala tak ada lagi tempat untuk bertanya. Tak ada pula tali tempat bergelayut. Hidup dalam belantara primitif seperti masa lalu yang sepi. Biarpun sang waktu telah menyeret sampai seabad kedepanpun akan tetap sepi.

Mungkin memang hanya mimpi bahwa suatu saat kelak benua fana ini tidak sekedar sempurna. Lalu buat apa harus disesali manakala tempat tinggal ini tidak pernah memberi apa-apa kecuali hanya sedikit senyuman diantara kekecewaan dan penyesalan.

Inikah samudra luas di depan mimpi itu?
Samudra pemberi kebebasan alam semesta: rimba primitif dengan keterbatasan pilihan. Masih tetaplah embun pagi yang menetes dan mengikuti arus air, sampai ke selokan-selokan. Dari selokan-selokan itulah mengalir limbah masa lalu yang gelap dan sepi: tanpa lampu, tanpa siaran radio dan televisi, hanya koneksi Internet yang sering putus. Masih tetap sumpah serapah jugalah yang ada di mulut. Bukan semacam keharuman kata-kata mutiara.

Inikah samudra luas kenyataan itu?
Alam semesta yang hanya memberi cerita tentang Katak dalam Tempurung, Pangeran yang Terbunuh, Candi Batu yang Tak Pernah Jadi Seribu, Sang Bidadari Dungu, serta Langit Kelabu yang Tak Pernah Membiru. Semua hanya cerita tentang Neraka masa lalu dan Neraka masa kini, tak jauh dari kisah-kisah penderitan orang.

Begitulah.
Setelah semuanya berlalu dan terasa hilang begitu saja. Kini hanya tinggal bagaimana kita menorehkan sejarah baru kita ini dalam lembaran yang kita anggap masih kosong. Kekosongan inilah yang membuat hati kita begitu sepi, sunyi senyap seakan berada di pekuburan di tengah malam. Kesunyian bukanlah (berwarna) emas, melainkan hitam pekat seperti pekuburan tengah malam tadi.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, kekosongan itu langsung terisi. Banyak hal musti diisikan, mulai dari Pendahuluan sampai Bab-bab berikutnya. Belum pada Kesimpulan dan Saran sebagai Penutup.

Ngomong apa sih ini?
Nggak tau ah!

Tidak terasa, sepertinya kita telah berubah menjadi manusia yang lain (baca: manusia yang aneh!)
Apakah karena memang lingkungannya yang lain (aneh) ya?

Baru empat bulan promosi, sudah mutasi lagi. Mutasinya cuma nyebrang dari ruang satu ke ruang sebelah saja.
Denger-denger Kantorku mau dijadikan perwakilan untuk Lomba Citra Pelayanan Prima Tingkat BUMN.
Tadinya hanya denger-denger saja, karena riwayatnya dulu 'emang pernah jadi juara dalam hal pelayanan di tingkat kota.
Kantor begini kok jadi juara. Kantor yang aneh! Mungkin tim penilainya yang aneh waktu itu. Sebab kalau menurutku ya biasa-biasa saja tuh.
Tapi waktu aku pergi ke sebuah bank di kota ini. Pelayanannya amburadoel betoel! Bahkan pengalaman Kasie keuangan waktu itu (Pak Husen) pernah dibikin geram karenanya. Transfer uang kok salah! Untung masih bisa diurus. Kalau tidak, apa nggak celaka namanya?
Woo, pantas saja kalau kantorku yang biasa-biasa begitu jadi juaranya.

Nah, yang tadinya hanya denger-denger saja ternyata betul kantorku mau diajukan sebagai peserta yang mewakili Perusahaan untuk dilombakan sesama BUMN. Kemarin datang para Pembina dari Kantor Pusat. Harus menyiapkan Visi-Misi dan Motto pelayanan, harus menampilkan inovasi-inovasi pelayanan, harus memperbaiki SDM dalam Pelayanan Prima atau yang keren disebut Service Excellent!

Bayangkan aku baru empat bulan di seksi yang lain, dan seksi sekarang belum ada seminggu. Inovasi apa yang bisa kubuat untuk mengejar waktu lomba yang katanya mau dinilai oleh Tim yang datang dari Kementrian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara)bersama rombongannya sekitar bulan Juni mendatang?

Dibikin stress lagi karena kantorku juga akan pindah tempat bulan depan! Kacau jadinya. Kantorku yang lama mau dipugar menjadi bentuk yang sedikit modis (mungkin). Jadi pindahnya hanya sementara saja. Waktu diadakan perjanjian dengan kontraktor untuk waktu pelaksanaan pembangunan belum ada isu-isu lomba itu. Baru setelah terlanjur setuju dipugar bulan depan, eh, lomba! Kelihatannya pemugaran kantor tidak bisa lagi diundur!
Kong? Gimana dong?

What ca I do?
Nothing I can do!
Just living in the silence.
Let the silence go on, the black silence like the graveyard in the dark night!


Mendengar kabar mau ada pertemuan di Manado hati gembira, bisa liat kota besar setelah lama berdiam di ndeso Gorontalo. Nenteng laptop cuma mau coba koneksi wireless. Konon sinyal WiFi itu bisa ditangkap dari Hotel-hotel, Mall-mall, Kafe-kafe, dsb.

Mendengar bahwa hanya mau naik mobil kantor, jantung berdegup!
"Lho? Bukannya kemarin sudah cari-cari tiket sepawat?"
"Tiket sudah ada, tapi hanya untuk kelengkapan administrasi.
Naik mobil saja biar irit, uang tiketnya bisa dijadikan uang saku.
Jadi uang sakunya 'kan bisa lebe?!"

Alamak!



Beginilah kalau kita hidup di jaman yang serba tanggung.
Sebagian orang mengklaim kalau jaman ini adalah jaman modern dimana semua serba canggih, serba cepat dan serba hebat. Tapi sebenarnya modern sendiri itu apa? Sepuluh tahun yang lalu kita mengatakan bahwa jaman saat itu juga jaman modern, tapi toh belum ada tekhnologi yang seperti sekarang ini.

Tekhnologi informasi yang berkembang secepat inipun masih jauh dari kekurangan. Jaman terus berkembang dan modernitas hanyalah relatif. semuanya masih berkembang dan yang kita nikmati sekarang ini adalah tekhnologi yang seba tanggung. Semuanya masih berkembang, berkembang dan berkembang. Tak ada yang memuaskan sesuai harapan 100%.

Kita sudah menikmati Internet ini lebih dari 10 tahun, tapi sampai saat ini masih saja banyak hal-hal yang selalu menjadi problem klasik. Koneksinya tidak lancar, putus-putus, trus biayanya masih mahal juga. Registrasi gagal karena suatu gangguan yang ada pada koneksi jaringan. Pada saat saya memposting tulisan ini, saya telah mencoba untuk masuk jaringan internet selama 30 menit! Sementara situs lain yang sedang kucoba membukanya, masih saja waiting for http://www. ...

Barusan temanku juga mengeluh bahwa ia kecewa telah mengisi ulang telepon seluler prabayarnya, yang ternyata gagal tanpa sebab pasti. Voucer isi ulang sudah terbeli dari kocek yang pas-pasan, sudah digosok, entri angka sampai 3 kali hampir terblokir. Alhasil tidak berhasil dan merelakan uangnya raib tanpa memperoleh apa-apa. Tekhnologi masih primitif, memang!

Apa mungkin karena aku tinggal di daerah yang tanggung juga ya? Mungkin kalau aku tinggal di perkotaan di Pulau Jawa sana mungkin tidak akan separah ini. Saat ini aku tinggal di daerah yang naggung juga sih! Apa yang bisa duharapkan dari Kota Gorontalo pada tahun 2008 ini? Belum banyak! Gubernurnya saja bukan orang asli sini, malah orang Ternate. Dengan kata lain orang yang diharapkan jadi nomor satu di Provinsi ini masih kalah dengan orang Ternate. Sudah cukup bagiku mengenal Ternate selama kurang lebih dua tahun dengan tinggal disana. Padahal disana lebih parah! Mahalnya didepan, mutunya belakangan. Lagi pula tidak banyak pilihan. Kalau mau surfing Internet disana harus mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah per jamnya, itupun hanya dua warnet yang ada disana. Sementara di Jawa saat itu rata-rata masih Rp. 3.000,oo per jam. Kalau mau pakai GPRS, hanya ada dua operator seluler GSM yang ada disana. Yang lain entah kapan mau masuk. CDMA segera hadir! Mulai saya datang pertama kali lalu tinggal selama dua tahun, sampai saya pergi dari sana bunyinya sama saja: "Segera Hadir!" Payah loe!

Mungkin saja di Jawa sendiri saat ini meskipun tekhnologinya lebih maju, tetap saja tanggung! Saya yakin koneksi 3G yang saat ini menjadi primadona masih juga terputus-putus. Habis tanggung sih! Iklannya aja yang gede, tapi setelah semua pakai 3G nah, padat jaringannya. Tekhnologi pasca 3G katanya baru dikembangkan, tapi belum juga bisa dinikmati secara luas. Nanggung juga tuh!

Kita juga yang akhirnya dirugikan. Maunya dapat yang bagus, yang memuaskan, dapatnya malah payah. Tapi salah kita juga mengapa harus tergesa-gesa memakai produk tekhnologi yang tanggung.

Mengapa tiba-tiba aku merindukan Ternate? Kota kecil berupa sebuah pulau kecil yang pernah kutinggali selama kurang lebih dua tahun. Setidaknya ada beberapa kerinduan yang sekaligus menghantam diriku tentang Ternate.

Pertama kerinduan akan kamar kosku dengan semua penghuninya yang ramah dan penuh perhatian.

Kedua, kerinduanku akan tempat kerja lamaku di Ternate bersama seluruh anggota team work yang dulu pernah solid disana. Kurindukan kantor lamaku, meski aku bekerja disana sampai bosan-bosan dengan rutinitas harian yang monoton. Kurindukan rekan-rekan kerjaku, terutama yang selalu tepat duduk di sebelahku dengan canda tawa di sela-sela pekerjaan yang membosankan itu. Kurindukan suasana dalam pekerjaanku yang dulu, meski bosan-bosan tapi dengan tanggung jawab yang lebih ringan dari sekarang.

Ketiga, alam luas Ternate yang berupa sebuah pulau dengan sekian nama lokasi-lokasi penuh memori indah. Yang tak akan terlupakan adalah Swering, lokasi dimana banyak penjual makanan di malam hari. Sulamadaha adalah nama pantai wisata yang boleh dibilang masih alami dibanding pantai-pantai di pesisir Pulau Jawa.

Meski ada beberapa kenangan pahit, tapi pada kerinduan ini hanya tampak sebagai keindahan yang seakan telah pergi dan tak mungkin kembali.

Oh, kerinduan. Andaikan mungkin aku akan kembali ke sana untuk mengenang sejenak keindahan dan kehangatan di sana. Tapi banyak benturan tentunya. Tidak mungkin kutinggalkan pekerjaan di kantor untuk saat ini meskipun bisa kuambil cuti untuk beberapa hari. Untuk menuju kesana aku tak mungkin sendiri, jantung hati dan buah hatiku ini pasti akan mengekor juga. Biaya pergi kesana dengan ekorku pastilah tidak sedikit. Uang cuti tidaklah cukup, bahkan dengan menghabiskan tabungan sekalipun. Sayang juga kalau uang tabungan harus terhambur sesaat untuk sebuah kerinduan . Kerinduan yang mahal!

Sudahlah. Kerinduan hanya tinggal kerinduan. Dikubur saja. Mungkin akan ada kenangan lagi di tempat baru ini. Duhai Ternate, semoga Tuhan memberkatimu bersama semua penghunimu!

Hidup ini dipenuhi banyak sekali tantangan, hambatan, gangguan dan ancaman. Masih ada lagi? Mungkin masih banyak, tapi itulah diantaranya. Setiap individu akan menghadapi semua unsur diatas dengan caranya masing-masing.

Dengan demikian setiap individu tidak selalu menghadapinya dengan cara yang baik. Sebuah masalah bisa jadi sangat mudah bagi mereka orang-orang tertentu, namun masalah yang sama bisa jadi justru menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihadapi.

Dapat dikatakan seseorang memiliki ketrampilan menghadapi masalah-masalah dengan baik, sementara di lain pihak ada orang yang tidak memiliki ketrampilan itu. Bisa juga saya katakan bahwa sebuah permasalahan dapat menimbulkan stressor yang berbeda pada setiap orang.

Besarnya stressor yang dialami akan berhadapan dengan ketrampilan pemecahan masalah orang yang bersangkutan, akan menimbulkan suatu resultan dan efek sampingnya. Resultan dapat berupa masalah yang terpecahkan atau tidak terpecahkan, sedangkan efek samping biasanya menyertai permasalahan yang tidak terpecahkan berupa perbuatan atau sikap-sikap anomali akibat dari stress yang ditimbulkan.

Jika masalah tidak terpecahkan, maka akan menimbulkan stress untuk yang kedua kalinya. Stress ini timbul akibat kegagalan yang dialami, dapat menyebabkan anomali sikap yang pada awalnya merupakan pelampiasan namun dapat berlanjut secara berlebihan dan berkepanjangan.

Hari ini orang sebut sebagai Hari Kasih Sayang. Kenapa juga harus ada hari tersendiri buat Kasih Sayang. Itu tandanya kita manusia ini sudah jarang-jarang menunjukkan kasih sayangnya, sehingga perlu adanya hari khusus memperingati Kasih Sayang.

Padahal dalam hidup kita ini sejak lahir sampai nanti kita ketemu Sang Ajal, yang namanya Kasih Sayang itu tidak akan pernah lepas. Bahkan pada satu segmen yang lebih singkatpun, di dalam keluarga sendiri Kasih Sayang itu begitu melekat. Sudah menjadi jiwa dalam setiap hubungan antar individu.

Hari kasih sayang mungkin perlu hanya bagi mereka yang memiliki kehidupan yang tidak harmonis. Bagi mereka yang hidupnya dipenuhi ketegangan-ketegangan satu sama lain. Mungkin memang perlu bagi mereka yang memang tidak terbiasa dengan kisah kasih sayang yang indah-indah melainkan kekerasan hidup sebagai anak bekerja, sebagai anak tiri, sebagai anak jalanan, atau yang semacam dengan itu.


Aku jadi teringat kepada seorang dokter yang menjadi dosen pembimbingku waktu masih koassisten ketika memasuki stasis Ilmu Kesehatan Anak. Dokter dengan wajah garang, kepalanya botak mengkilap, bicaranya keras, galak killer, seolah tidak mengenal basa-basi. Dia juga selalu menunjukkan dirinya yang up to date untuk ilmu-ilmu kedokterannya, sehingga ia tidak terdebatkan, tak terbantahkan, tak ada yang bisa menyalahkannya karena pada dasarnya dialah yang paling up-to-date!

Seperti biasanya, setiap pagi aku harus mempersiapkan semua mulai dari Anamnesis pasien baru, follow up pasien lama dan memberikan beberapa usulan terapi atau tindakan, sebelum akhirnya mengikuti dokter itu untuk visite setiap pasien yang ada di bangsal Anak. Suasana tegang selalu menyertai hari-hariku karena tak ada hari tanpa dimarah-marahi. “Otakmu itu kamu taruh di pantat, kamu kentuti tiap hari, gimana nggak gebleg kamu!” begitu kata-kata yang selalu terngiang di setiap koassisten yang memang sedang tidak beruntung sepertiku. Gebleg itu bodoh, lebih bodoh dari goblog. Bayangkan saja orang goblog masih bisa diajari jadi pinter, tapi yang gebleg ini sudah payah.

Pada suatu ketika pak Dokter tidak bisa hadir di RS karena ada acara selama beberapa hari di luar kota. Hatiku senang tiada kepalang karena setidaknya hari-hariku akan ada semacam relaksasi, jauh dari stressing yang merenggut setiap harinya. Sebagai pengganti sementara adalah bu Dokter senior dalam SMF Anak saat itu.
Kebetulan baru banyak pasien di SMF Anak, kebetulan lagi, baru musim demam berdarah (DB/DHF). Banyak pasien DB dirawat disana dan semuanya tidak bermasalah karena penanganan pasien-pasien ini sudah ada protapnya, tinggal dijalankan.

Tentu saja aku sangat memaklumi dengan gaya pengobatan tiap-tiap dokter. Ilmu Kedokteran ibaratnya suatu seni pengobatan. Jadi wajar-wajar saja ketika bu Dokter menambahkan anti-infeksi dan juga vitamin penambah nafsu makan.
Hari-haripun berlalu, dan habis pulalah hari-hari santaiku. Kembali kepada hari-hari yang menegangkan, menyeramkan, penuh teriakan, wah,pokoknya kayak di film horor aja deh! Pak dokter was back, and we were gonna be killed!

Tapi aku dan teman-temanku sudah siap. Karena setidaknya selama beberapa hari ini refreshing, kini siap diteror lagi.
“Apa ini? Ini pasien apa?” teriaknya membuka pagi yang hening, dikeheningan bangsal pasien-pasien yang sebagian masih tertidur.
“Ini observasi febris, Dok! Hari keempat suspek DHF” kebetulan aku yang jawab karena matanya kebetulan tertuju padaku waktu menanyakan itu.
“Kamu tahu Protap DHF tidak?” tanyanya kembali setelah membaca status pasien.
“Tahu, dok!”

Dalam protap DHF yang berlaku waktu itu disebutkan antara lain Infus RL, Paracetamol, Serial HB, Hct, AL, AT tiap 6 jam, awasi tanda-tanda perdarahan, awasi tanda-tanda syok.

“Lha trus ini apa?” sambil menunjuk ke status yang tadi dibacanya.
“Antibiotik dan vitamin itu bu dokter kemarin yang memberi, Dok!” aku mencoba mencari aman.
Sambil meringis sinis, pak dokter itu berkata,”Kamu sama gurumu itu sama-sama geblegnya!”
“Protap DHF ini disusun oleh para dokter ahli, Professor-professor, orang-orang pilihan bukan orang-orang sembarang. Protap ini juga disusun dalam suatu forum dengan pembahasan yang alot! Berhari-hari mereka bahas ini untuk menghasilkan protap itu. Lalu gurumu yang gebleg itu seenaknya saja mengubah protap dengan menambah vitamin.”katanya sambil geleng-geleng.
“Sama seperti kamu kan? Nggak pernah belajar! Gebleg aja terus!” tambahnya.

Kata-katanya itu diulang-ulangnya di keesokan hari dan hampir di setiap pertemuan dengannya. Setidaknya tertanam bahwa Antibiotik tidak diperlukan pada kasus DHF! Apalagi vitamin.

Bertahun-tahun kemudian kujalani diriku sebagai dokter. Kulihat ada banyak sekali dokter-dokter gebleg yang menerapi DHF dengan antibiotik. Bahkan ketika diriku sendiri terkapar sebagai pasien DHF, aku hanya bisa pasrah dijejali antibiotik, antiemetik, anti nyeri kepala, bahkan jus jambu, buah anggur merah segar, Buavita, Pocari Sweat, ... makin jauh dari protap!

Tapi aku hanya diam karena aku merasa telah kembali kepada kegebleganku yang dulu dan tetap beranggapan bahwa mereka semua termasuk dokter yang merawatku adalah dokter gebleg sebagaimana aku. Ada secercah harapan mereka telah menimba ilmu baru sehingga penatalaksanaan DB/DHF memang sudah melalui perkembangan yang pesat, sehingga mereka memang tidak gebleg.

Mata terbelalak dari tidur ketika mendengar suara telepon seluler berbunyi tepat di pukul enam pagi. Dengan malas kuangkat, tiba-tiba suara anakku meledak di telingaku mengatakan kalau dirinya hari ini berulang tahun. Suaranya semakin lantang dengan kata-kata khas dari logat Ternate. Semakin lama semakin cerewet saja anak itu sampai ibunya sering marah karena sering menyela ketika orang sedang sibuk membicarakan masalah-masalah yang serius. Tapi ia tetap anak yang manis, sayang sama orang tuanya dan bisa mengerti bila diberi nasihat, dorongan maupun larangan akan sesuatu hal.

Dialah Hani, anakku yang baru satu-satunya. Orang tuanya belum mau memberinya adik karena berbagai alasan yang menggunung. Alasan ekonomi yang klasik, tapi entah mengapa justru dia dulu hadir pada saat ayah dan ibunya masih sama-sama jadi pengangguran.

Hanya beberapa saat setelah dia hadir di dunia ini, lima tahun yang lalu, aku baru memperoleh panggilan kerja. Di tempat kerja itu aku mulai merasakan gaji tetap, meskipun hanya sebagai pegawai tidak tetap. Hanya bekerja tiga tahun disana, kontrak kerja telah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi.

Selang beberapa bulan, pas semua tabungan hampir habis dan berakhir dengan terjualnya sepasang cincin kawin, panggilan datang dari pekerjaan baru yang menyuruhku pergi ke Ternate, Maluku Utara. Daripada menganggur, untuk melanjutkan hidup dan membeli susu buat anakku, akhirnya kujalani juga walau berat.

Singkat cerita, setelah dua tahun di Ternate bekerja sebagai seorang karyawan kantor yang bergelut dengan administrasi dan komputer akhirnya aku memperoleh SK Promosi dari seorang Karyawan Pelaksana menjadi Asisten Manajer. Tetapi sekaligus Mutasi ke Gorontalo.

Setelah terbit SK itu akupun harus segera beranjak meninggalkan Ternate tanpa harus menunggu lama. Waktuku tersisa hanya untuk mengurus pindahan barang-barang, sementara istriku mengurus pekerjaannya yang belum selesai dan anakku masih testing di semester I Sekolah Dasar.

Berubahlah!
"You must change. If you don't change, you'll die!"
Begitulah yang pernah diteriakkan oleh Winston Curchill pada suatu ketika. Entah pada kesempatan apa dulu ia katakan itu, jelasnya kata-kata itu selalu terngiang dalam setiap kejenuhan hidup yang nyaris tak berubah.
Pada dasarnya perubahan haruslah dibuat, bukan menunggu keadaan atau malah menunggu waktu. Memang ada hal-hal yang bisa diharapkan berubah seiring perubahan jaman. Tapi ada hal-hal yang harus diubah tanpa menunggu waktu. Harus diingat pula bahwa perubahan yang seiring waktu adalah usia. Pada masa pertumbuhan seseorang, misalnya, bersama waktu seseorang akan tumbuh dan berkembang.
Namun ketika pertumbuhan terhenti, hanya proses kematangan yang bisa diharapkan. Sebagian lagi hanya perubahan ke arah uzur, degeneratif!
Itulah sebabnya masa-masa di awal usia seseorang menjadi sangat penting. Sifat-sifat yang telah terbentuk akan menjadi sangat sulit untuk diubah di masa-masa tua mendatang. Sifat-sifat jelek yang harus diubah menjadi teramat sulit untuk dijadikan lebih baik. Sulit bukan berarti tidak bisa. Namun diperlukan usaha dan kemauan keras untuk perubahan yang diharapkan.

Ada yang bilang, aturan dibuat untuk dilanggar. Sebab kalau tidak dilanggar, atau tidak ada pelanggaran buat apa harus ada aturan. Sebenarnya yang lebih tepat adalah bahwa aturan dibuat sebagai filter atau batas, agar hal-hal yang menyimpang dari batasan tersebut akan dikenai sangsi atau hukuman sesuai dengan pelanggarannya.

Adakalanya seseorang menjadi kaku pada aturan. Dia bersikukuh untuk tetap berdiri diatas aturan tersebut. Meskipun tidak dipungkiri bahwa suatu aturan kadang-kadang bertentangan dengan aturan lain atau norma yang berlaku di masyarakat tertentu.
Orang seperti ini biasanya akan mengalami benturan-benturan. Di satu sisi dia bertahan pada aturan yang dipijaknya, di sisi lain ia berhadapan dengan aturan lain atau norma-norma yang berlaku di masyarakat sekitarnya.