Aku masih meregangkan keangkuhan di tengah pedihnya duri yang menancap di dada. Masih setega itu kau membuka diri untuk dihinggapi kekejaman itu? Lalu dimanakah kausimpan cintamu padaku di saat itu? Aku sungguh tidak percaya dan tidak terima ini semua.

Engkau telah berguru kepada keledai dungu itu selama bertahun-tahun, maka kinipun kau tak lagi bisa membedakan kasih sayang dengan kekejaman. Bagaimana bisa, ketika kau sudah dihempaskan, diludahi, dihina, dan disiksa, lalu kaubalas dengan tempat teduh yang berisikan kasih sayang itu?

Dari dulupun aku hanyalah angin yang jauh. Yang berhembus tak tentu arah dan waktu. Hanya terkadang mampu terbang menghampiri di saat masih cukup tenaga dan waktu. Begitu juga dengan hujan, di saat musimnya tidak datang, akupun hanya bisa diam. Menunggu dan bersabar.

Masih embun pagi jugalah aku. Bening, kosong, tercerai-berai dari luapan rindu yang menggumpal. Tapi akan selalu membeku selama kehangatan itu tidak pernah terbit. Hanya hujan yang terus berbicara. Seperti tangismu. Terisak dalam kegetiran.