Saya benci sekali kata-kata itu, “Tidak masuk akal!” Seolah yang mengucapkan kata-kata itu akalnya sudah merupakan segalanya. Dia lupa bahwa akal manusia ini diciptakan terbatas.
Memang manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena dia memiliki akal. Pikiran manusia jauh lebih hebat dibandingkan pikiran dari makhluk apapun. Bahkan makhluk lain dianggap tidak memiliki pikiran, tidak memiliki akal.
Saya sendiri sudah belajar menggunakan akal sejak kecil. Sampai tumbuh dewasa akal terus digunakan dan dikembangkan. Akal pikiran ini banyak dilatih di masa usia sekolah. Kita dijejali ilmu-ilmu pengetahuan yang sarat dengan pemahaman yang memerlukan akal.
Selepas pendidikan dasar, saya meneruskan ke pendidikan lanjutan dengan memilih jurusan eksak. Disini saya semakin banyak menggunakan akal, karena semua yang dipelajari menuntut logika, analisa dan perhitungan yang sangat masuk akal. Alasan saya memilih jurusan eksak waktu itu hanya sederhana: kalau ada ujian, jawaban dapat dicari dengan menggunakan akal. Beda kalau jurusannya non-eksak: sebagian besar ilmunya berdasarkan hafalan. Jadi kalau pas ujian, kalau tidak belajar/baca buku, ya tidak bisa menjawab.
Jadi selama menjalani pendidikan lanjutan di SMA, saya hampir tidak pernah belajar. Hanya memahami logikanya sebentar saja dan mengembangkannya sendiri ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang disajikan. Jawaban bisa dicari sendiri, dan hampir selalu ketemu jawabannya. Saya sangat menikmati sekali belajar di bangku SMA meskipun tidak pernah bisa menduduki peringkat sepuluh besar disana (emang dasarnya bego juga sih gue).
Mata Pelajaran yang sangat saya cintai seperti: Matematika, Fisika dan Kimia. Sementara banyak temanku yang muak dan benci dengan pelajaran-pelajaran seperti itu. Padahal mereka barangkali hanya tidak suka pada cara gurunya mengajar. Mata pelajaran yang banyak disepelekan tapi tidak bisa dianggap remeh antara lain Bahasa Indonesia.
Coba sambil membaca tulisan ini tolong diteliti bagian mana yang belum sesuai kaidah penulisan dengan Bahasa Indonesia: pengguaan tanda baca, huruf kapital, bahasa asing, singkatan, pemutusan kalimat, dll.
Saya sendiri sangat tidak suka pelajaran Biologi. Itulah sebabnya saya sangat menderita ketika orang tua saya mengingikan anak sulungnya ini menjadi seorang dokter. Saya kuliah di Fakultas Kedokteran dengan “tertatih-tatih”, untungnya tidak sampai kena drop-out. Beberapa teman seangkatan terpaksa keluar karena tidak kuat menjalaninya. Seperti dugaan saya, bukan masalah biaya.
Bayangkan saja, ketika di SMA sudah tidak menikmati pelajaran yang memerlukan hafalan, masuk Kedokteran isinya hafalan melulu! Bahkan hafalan tidak hanya meliputi hafalan terhadap istilah, melainkan juga harus bisa menghafal gambar. Misalnya Mata Kuliah Mikrobiologi, Parasitologi dan Patologi Anatomi, ketiganya memerlukan hafalan secara visual, yakni menghafal gambaran preparat yang disediakan dalam gelas obyek yang harus dilihat di bawah mikroskop. Contoh lainnya seperti ilmu Radiologi, menuntut kita menghafal gambaran hasil foto Rontgen dada, misalnya: yang begini disebut TBC, yang begini Bronkhitis, yang begitu pneumonia, kalau yang ini namanya pneumothorax, hematothorax, dan masih banyak lagi kelainan yang harus dihafalkan gambarannya. Padahal gambaran yang normal saja sudah sedemikian banyak variasinya.
Bahkan hafalan visual ini bisa dikembangkan lebih jauh, misalnya hanya dengan melihat sikap duduk pasien di ruang tunggu atau cara berjalan seorang pasien menuju ke ruang periksa, kita sudah bisa menyiapkan diagnosa untuk pasien tersebut. Contoh lainnya, pasien penderita penyakit tertentu memiliki wajah yang sangat khas, sehingga kalau terbiasa melihat pasien dengan penyakit ini, 80% diagnosa kita benar hanya dengan melihat wajahnya ketika pertama kali kita bertemu dengannya.
Jadi jangan heran kalau kita berobat kepada seorang dokter spesialis yang sudah sangat senior, dia memeriksa kita hanya sebentar saja seolah sudah tahu penyakit kita dan langsung menuliskan resep, sementara kita belum selesai mengungkapkan semua keluhan kita. Jangan lantas bertanya, “Ini dokter ataukah dukun, sih?”
Selain hafalan visual, kita juga harus menghafal lewat pendengaran (auskultasi). Alat kita stetoskop, tempelkan di dada seorang pasien, ini namanya suara jantung, ini suara paru-paru, ini suara bising jantung, ini suara abnormal pada bronkhus, dan sebagainya. Demikian juga pemeriksaan auskultasi lewat dinding perut. Aku paling terkesan dengan suara “metalic sound” pada penderita ileus obstruktif. Suara yang berasal dari dalam perut itu mirip suara lentingan pegas baja yang digetarkan.
Bahkan perabaan (palpasi) juga harus dituntut terampil. Ketika dokter memeriksa pasien dengan meraba perutnya, dapat menentukan apa yang ada dalam perut itu. Mungkin suatu timbunan cairan, pembesaran organ, atau timbunan massa patologik yang mengarah ke tumor. Bukan itu saja, menentukan posisi dan perkiraan volume massa tersebut juga dapat diketahui dengan tekhnik palpasi ini.
Hampir semua indera, selain lidah, bagi seorang dokter sangat penting untuk dilatih kepekaannya. Ini akan menjadikan dia seorang physical examiner yang baik. Selain penglihatan, pendengaran dan perabaan, penciuman juga berperan. Penyakit tertentu menyebabkan penderitanya mengeluarkan aroma yang khas, bisa dari bau nafasnya, bisa juga dari bau keringatnya.
Sedemikian banyak hal yang harus dihafal, padahal kekuatan memori otak ini juga sangat terbatas. Untungnya masih banyak mata kuliah yang tidak melulu memerlukan hafalan, seperti Mata Kuliah Fisiologi, Biokimia, Patologi Klinik, serta mata kuliah klinik lain seperti Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Bedah, Kesehatan Anak, Kebidanan dan Kandungan, dan lain sebagainya. Jadi aku masih bisa bertahan di pendidikan yang menyebalkan itu.
Aku pernah bersumpah, kalau sudah lulus dokter nanti, tidak akan meneruskan ke PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Kalau mau sekolah lagi lebih baik mengambil S2 lainnya untuk mengambil gelar seperti MM., M.Kes atau MARS. Saat ini aku belum beruntung, jadi belum sempat sekolah lagi. Di Provinsi tempat aku tinggal sekarang, baru ada pendidikan S2 yang menghasilkan gelar M.Pd., yang tidak sesuai dengan bidang tempat aku bekerja sekarang.
Di dunia kerja, aku menikmati pekerjaanku yang setiap hari mengelola administrasi. Aku sengaja “banting stir” untuk alih profesi. Karena dokter ternyata bukan profesi yang cocok bagiku. Tapi sudah terlanjur menyandang gelar (dr.) di depan namaku. Kebetulan pekerjaanku sekarang masih ada hubungannya dengan kesehatan, sehingga ilmu yang kudapat waktu kuliah dulu masih banyak digunakan disini. Dalam dunia kerjaku sekarang aku mengembangkan logika dan analisaku kembali. Lebih menyenangkan lagi pekerjaanku dibantu dengan peralatan berupa komputer yang didukung jaringan, baik LAN (Local Area Network) maupun Internet. Pekerjaan yang banyak, tapi hanya perlu waktu yang relatif lebih cepat untuk menyelesaikannya.
Pekerjaan di kantorku memang sangat memerlukan ketrampilan mengoperasikan komputer. Sehingga satu pegawai punya  satu komputer untuk bekerja setiap harinya. Hal ini sangat wajar dan biasa saja bagi Anda yang mungkin sekarang bernasib sama seperti saya, bekerja di perusahaan atau instansi yang sudah menerapkan tekhnologi informasi. Tapi kenyataannya, terlebih di luar Jawa seperti sekarang saya berada, masih banyak orang yang enggan mengenal komputer. Bahkan ironis sekali, mereka sebagian tahu dan cukup mengenal Facebook, situs jejaring pertemanan yang sekarang masih booming, tapi ketika bicara tentang mengirim e-mail mereka tidak tahu sama sekali. Padahal untuk memiliki sebuah akun Facebook harus memiliki sebuah alamat e-mail terlebih dahulu. Aneh ‘kan? Tidak masuk akal ‘kan? Apalagi tentang Windows, Office, MS Word, MS Excel, MS PowerPoint, MS Access, mereka buta! Jadi, nggak ada harapan aku bisa berbagi tentang apa itu Open Source, Linux, Macintosh, SQL Server, Visual Basic. Padahal semua itu adalah pengetahuan yang tidak saya peroleh di Fakultas Kedokteran, tempat aku mengenyam pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi dahulu. Semuanya hanya didapat secara sambil lalu.
Saya tidak sombong, tapi hanya prihatin saja ketika menemui seorang Sarjana Komputer (S.Kom) yang ternyata tidak mampu melakukan formatting hard drive, pemasangan Operating System, bahkan Windowspun mereka tidak tahu bagaimana menginstallnya. Menghadapi serangan virus saja sudah seperti kebakaran jenggot! Bingung bagaimana harus menyelamatkan data. Alamak...
Padahal di perusahaan tempat saya bekerja, saya pernah memerintahkan seorang driver/sopir senior lulusan SLTA tempo doeloe, “Tolong pergi ke Rumah Sakit A, temui petugas yang bernama B untuk meminta file XML yang berisi data bulan kemarin.” Lalu saya menyerahkan sebuah flashdrive kepadanya. Sopir itu sudah tahu apa yang saya maksudkan.
Kalau ada komputer tiba-tiba tidak mau menyala atau rusak malah digebrak-gebrak. Biasanya sih nyala lagi, tapi kalau berulang kali demikian ada saatnya tidak mau menyala lagi seterusnya. Padahal kartu memorinya hanya kurang pas menempel pada socketnya sehingga longgar. Jadi daripada digebrak, mendingan dibuka casingnya, kartu memorinya dicabut dan dibersihkan sebelum dipasang kembali. Bego banget sih?
Disinilah saya mulai banyak menemukan hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu. Belum lagi ditambah banyak hal-hal konyol yang saya tidak mengerti bagaimana penjelasan yang masuk akal. Banyak hal-hal yang dulu saya kira hanya mitos dan takhayul, ternyata disini nongol di depan mata saya. Saya seakan dipaksa mempercayai hal-hal yang dulu tidak saya percaya.
Bayangkan saja, di tengah musim kemarau yang terik panasnya minta ampun, tiba-tiba terjadi hujan deras dengan angin dan halilintar. Orang bilang ada "sesuatu" (biasanya pembunuhan) yang sedang terjadi. Ternyata “sesuatu” itu pun terbukti memang benar-benar terjadi. Ini bukan kebetulan, karena setiap terjadi hujan deras “salah musim”, maka besoknya ada kabar di koran bahwa telah terjadi hal-hal (yang tidak wajar), yang peristiwanya tepat sama dengan saat dimulainya hujan itu.
Saya juga pernah punya pengalaman dirawat di Rumah Sakit selama hampir seminggu. Pemeriksaan fisik normal semua. Manifestasi laboratorium berupa kenaikan titer untuk Salmonella paratyphi B pada pemeriksaan Widal test. Sayapun didiagnosa demam tifoid. Padahal panas badanku baru dua hari. Makan dan minum tidak ada masalah. Hanya lidahku yang sedikit berubah, makanan tidak saya rasakan seperti biasanya.
Setelah enam hari dirawat, pada hari terakhir di Rumah Sakit titer untuk pemeriksaan yang sama sudah turun mendekati normal. Manifestasi fisik sudah tidak ada kelainan. Pulang dari Rumah Sakit, penyakitku kok belum hilang? Kambuh lagi? Malah Sakit kepalaku tidak hilang sampai empat hari sepulang dari Rumah Sakit itu. Tersiksa sekali. Ada seorang teman dekat yang merayuku untuk bersedia dibawa ke “mbah dukun”. Sudah pasti saya menolak mentah-mentah. Wibawaku akan turun dari seorang dokter yang diobati sama dukun. Disamping itu latar belakang pengetahuan medis maupun pengetahuan agama yang kumiliki sangat melarangku untuk mempercayai hal-hal demikian. Namun apa daya, keadaanku tidak membaik juga dan aku sempat terpikir pada pemahaman bahwa semua penyakit bisa disembuhkan. Tapi apakah aku hanya yakin saja akan sembuh dengan sendirinya?

Hari-hari berlalu dengan siksaan yang tidak pernah berakhir. Aku khawatir kelamaan tidak masuk kerja bisa membuatku dipecat dari pekerjaanku. Banyak lagi hal-hal yang menuntutku untuk mengambil keputusan. Tapi aku masih berpikir panjang untuk mencoba terapi alternatif yang ditawarkan.
Hari kesekian berlalu, akhirnya semua seakan memaksaku untuk hanya bisa pasrah. Mungkin benar, semua penyakit bisa disembuhkan. Tapi tidak selalu dengan obat, tidak selalu dengan dokter, bahkan mungkin tidak selalu masuk akal! Dengan segala pertimbangan akhirnya aku terpaksa bersedia mencoba “kuliner” daerah setempat.
Hanya dengan air satu ember yang telah dibacakan doa-doa (entah japa mantra atau script dari bahasa SQL aku nggak ngerti) disiramkan ke kepalaku sampai mengguyur seluruh tubuhku. Sakit kepalaku langsung hilang. Semua penderitaanku yang berkepanjangan itu juga seketika berhenti. Aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada diriku.
Tentu saja sebagai orang eksak, aku meminta penjelasan kepada si mbah dukun tadi. Aku dijejali istilah-istilah baru yang asing bagiku. Logika-logika dunia mistik yang sangat tidak masuk akal aku paksa juga jejalkan ke pikiranku. Hmm... dunia jin, iblis, setan dan kawan-kawan akhirnya kupahami juga sedikit.
Aku sih percaya mereka semua ada, aku tadinya hanya tidak percaya kalau mereka semua bisa dilihat, diraba, ditrawang (‘emangnya uang kertas?) Apalagi mereka bisa mempengaruhi hidup kita sedemikian rupa, membuat kita sakit. Mereka ‘kan gaib? Alamnya ‘aja ‘udah beda sama kita.
Aku malah ditawari oleh si mbah dukun tadi, kalau aku berminat akan diajari bagaimana melihat keberadaan makhluk-makhluk itu dan berinteraksi dengan mereka. Aku tidak mau gegabah, aku perlu tahu apa konsekuensinya (informed consent harus dipahami dulu). Tapi akhirnya aku menolak. Karena kemampuan kita bisa melihat mereka tidak bisa dikembalikan lagi (menjadi tidak bisa melihat mereka lagi). Bukan karena saya takut menatap wajah-wajah mereka yang katanya banyak yang serem itu. Tetapi bahayanya kalau saya sedang ngebut di jalan (hobi sejak remaja dulu), lalu tahu-tahu saya melihat makhluk tidak berperikemanusiaan itu tiba-tiba muncul di depanku... apa aku nggak kaget? Kalau cuma kaget sih nggak papa. Tapi kalau dampak kagetnya itu menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mencederai aku ataupun orang yang sedang  bersamaku, aku pasti akan sangat menyesal. Apalagi aku sering bepergian bersama org-orang tercinta: istri dan anak-anakku, lebih lagi kalau mendekati tengah malam jalanan sepi aku pasti berkecepatan tinggi.
Akhirnya aku mencapai sebuah kesimpulan yang menurunkan sedikit arogansiku sebagai seorang dokter, bahwa semua penyakit diciptakan dengan obatnya. Tinggal kemauan untuk sembuh itulah yang paling utama. Pengobatan terhadap suatu penyakit tidak harus secara medis. Ada ribuan, bahkan jutaan jenis penyakit di dunia ini, ada yang bisa sembuh dengan cara medis, tapi sebagian memang hanya bisa sembuh dengan cara-cara di luar medis, termasuk pengobatan alternatif melalui para tabib, dukun, paranormal dan kawan-kawannya.
Hooa hah hemmm... ‘ngantuk!

0 komentar: