“Satu suapan lagi! Habis ini boleh tidur.” katanya sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku. Dengan malas kuturuti kata-kata itu, aku membuka mulut dan berjuang keras untuk melawan rasa mual di perutku, agar makanan yang telah kutelan tidak tumpah lagi. Ini suapan terakhir semoga tidak mengacaukan semuanya. Sambil mengunyah pelan-pelan, aku benahi selimut tidurku dan mencoba memejamkan mata. Rohmi beranjak pergi, mungkin ke dapur. Biasanya dia menghabiskan sisa makananku itu sebelum akhirnya menyusulku tidur.

Malam beranjak larut. Mataku terbuka kembali seketika Rohmi merebahkan tubuhnya di sebelahku. Sempat kulihat wajah letihnya yang menyiratkan perasaan pilu. Perempuan itu masih setia menemaniku hingga di usia senja seperti ini. Diapun mulai memejamkan mata. Aku sering memperhatikan raut wajahnya yang belakangan semakin menunjukkan penderitaan. Bukan lantaran merasakan penderitaan yang kualami, tetapi penderitaan yang lain. Entah karena apa. Aku tidak bertanya. Paling-paling dia tidak lagi mau bercerita. Alasannya sudah bisa ditebak: tidak mau menambah penderitaanku.

Perempuan itu tertidur semakin lelap. Wajahnya yang redup seperti rembulan, seakan menahan kepedihan hatinya. Rohmi… andaikan saja aku masih akan sehat seperti hari-hari lalu… niscaya aku akan lebih membahagiakanmu lagi. Kesetiaanmu begitu dalam, saat ini aku tak sanggup membalasnya dengan apapun. Sekarang aku lebih banyak membebaninya dengan sakitku. Tapi aku juga tidak pernah meminta sakit. Dia datang begitu saja tanpa permisi. Dokter bilang aku sudah stadium lanjut. Sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Aku hanya tinggal menunggu waktu dan keajaiban.