Mengapa tiba-tiba aku merindukan Ternate? Kota kecil berupa sebuah pulau kecil yang pernah kutinggali selama kurang lebih dua tahun. Setidaknya ada beberapa kerinduan yang sekaligus menghantam diriku tentang Ternate.

Pertama kerinduan akan kamar kosku dengan semua penghuninya yang ramah dan penuh perhatian.

Kedua, kerinduanku akan tempat kerja lamaku di Ternate bersama seluruh anggota team work yang dulu pernah solid disana. Kurindukan kantor lamaku, meski aku bekerja disana sampai bosan-bosan dengan rutinitas harian yang monoton. Kurindukan rekan-rekan kerjaku, terutama yang selalu tepat duduk di sebelahku dengan canda tawa di sela-sela pekerjaan yang membosankan itu. Kurindukan suasana dalam pekerjaanku yang dulu, meski bosan-bosan tapi dengan tanggung jawab yang lebih ringan dari sekarang.

Ketiga, alam luas Ternate yang berupa sebuah pulau dengan sekian nama lokasi-lokasi penuh memori indah. Yang tak akan terlupakan adalah Swering, lokasi dimana banyak penjual makanan di malam hari. Sulamadaha adalah nama pantai wisata yang boleh dibilang masih alami dibanding pantai-pantai di pesisir Pulau Jawa.

Meski ada beberapa kenangan pahit, tapi pada kerinduan ini hanya tampak sebagai keindahan yang seakan telah pergi dan tak mungkin kembali.

Oh, kerinduan. Andaikan mungkin aku akan kembali ke sana untuk mengenang sejenak keindahan dan kehangatan di sana. Tapi banyak benturan tentunya. Tidak mungkin kutinggalkan pekerjaan di kantor untuk saat ini meskipun bisa kuambil cuti untuk beberapa hari. Untuk menuju kesana aku tak mungkin sendiri, jantung hati dan buah hatiku ini pasti akan mengekor juga. Biaya pergi kesana dengan ekorku pastilah tidak sedikit. Uang cuti tidaklah cukup, bahkan dengan menghabiskan tabungan sekalipun. Sayang juga kalau uang tabungan harus terhambur sesaat untuk sebuah kerinduan . Kerinduan yang mahal!

Sudahlah. Kerinduan hanya tinggal kerinduan. Dikubur saja. Mungkin akan ada kenangan lagi di tempat baru ini. Duhai Ternate, semoga Tuhan memberkatimu bersama semua penghunimu!

Hidup ini dipenuhi banyak sekali tantangan, hambatan, gangguan dan ancaman. Masih ada lagi? Mungkin masih banyak, tapi itulah diantaranya. Setiap individu akan menghadapi semua unsur diatas dengan caranya masing-masing.

Dengan demikian setiap individu tidak selalu menghadapinya dengan cara yang baik. Sebuah masalah bisa jadi sangat mudah bagi mereka orang-orang tertentu, namun masalah yang sama bisa jadi justru menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihadapi.

Dapat dikatakan seseorang memiliki ketrampilan menghadapi masalah-masalah dengan baik, sementara di lain pihak ada orang yang tidak memiliki ketrampilan itu. Bisa juga saya katakan bahwa sebuah permasalahan dapat menimbulkan stressor yang berbeda pada setiap orang.

Besarnya stressor yang dialami akan berhadapan dengan ketrampilan pemecahan masalah orang yang bersangkutan, akan menimbulkan suatu resultan dan efek sampingnya. Resultan dapat berupa masalah yang terpecahkan atau tidak terpecahkan, sedangkan efek samping biasanya menyertai permasalahan yang tidak terpecahkan berupa perbuatan atau sikap-sikap anomali akibat dari stress yang ditimbulkan.

Jika masalah tidak terpecahkan, maka akan menimbulkan stress untuk yang kedua kalinya. Stress ini timbul akibat kegagalan yang dialami, dapat menyebabkan anomali sikap yang pada awalnya merupakan pelampiasan namun dapat berlanjut secara berlebihan dan berkepanjangan.

Hari ini orang sebut sebagai Hari Kasih Sayang. Kenapa juga harus ada hari tersendiri buat Kasih Sayang. Itu tandanya kita manusia ini sudah jarang-jarang menunjukkan kasih sayangnya, sehingga perlu adanya hari khusus memperingati Kasih Sayang.

Padahal dalam hidup kita ini sejak lahir sampai nanti kita ketemu Sang Ajal, yang namanya Kasih Sayang itu tidak akan pernah lepas. Bahkan pada satu segmen yang lebih singkatpun, di dalam keluarga sendiri Kasih Sayang itu begitu melekat. Sudah menjadi jiwa dalam setiap hubungan antar individu.

Hari kasih sayang mungkin perlu hanya bagi mereka yang memiliki kehidupan yang tidak harmonis. Bagi mereka yang hidupnya dipenuhi ketegangan-ketegangan satu sama lain. Mungkin memang perlu bagi mereka yang memang tidak terbiasa dengan kisah kasih sayang yang indah-indah melainkan kekerasan hidup sebagai anak bekerja, sebagai anak tiri, sebagai anak jalanan, atau yang semacam dengan itu.


Aku jadi teringat kepada seorang dokter yang menjadi dosen pembimbingku waktu masih koassisten ketika memasuki stasis Ilmu Kesehatan Anak. Dokter dengan wajah garang, kepalanya botak mengkilap, bicaranya keras, galak killer, seolah tidak mengenal basa-basi. Dia juga selalu menunjukkan dirinya yang up to date untuk ilmu-ilmu kedokterannya, sehingga ia tidak terdebatkan, tak terbantahkan, tak ada yang bisa menyalahkannya karena pada dasarnya dialah yang paling up-to-date!

Seperti biasanya, setiap pagi aku harus mempersiapkan semua mulai dari Anamnesis pasien baru, follow up pasien lama dan memberikan beberapa usulan terapi atau tindakan, sebelum akhirnya mengikuti dokter itu untuk visite setiap pasien yang ada di bangsal Anak. Suasana tegang selalu menyertai hari-hariku karena tak ada hari tanpa dimarah-marahi. “Otakmu itu kamu taruh di pantat, kamu kentuti tiap hari, gimana nggak gebleg kamu!” begitu kata-kata yang selalu terngiang di setiap koassisten yang memang sedang tidak beruntung sepertiku. Gebleg itu bodoh, lebih bodoh dari goblog. Bayangkan saja orang goblog masih bisa diajari jadi pinter, tapi yang gebleg ini sudah payah.

Pada suatu ketika pak Dokter tidak bisa hadir di RS karena ada acara selama beberapa hari di luar kota. Hatiku senang tiada kepalang karena setidaknya hari-hariku akan ada semacam relaksasi, jauh dari stressing yang merenggut setiap harinya. Sebagai pengganti sementara adalah bu Dokter senior dalam SMF Anak saat itu.
Kebetulan baru banyak pasien di SMF Anak, kebetulan lagi, baru musim demam berdarah (DB/DHF). Banyak pasien DB dirawat disana dan semuanya tidak bermasalah karena penanganan pasien-pasien ini sudah ada protapnya, tinggal dijalankan.

Tentu saja aku sangat memaklumi dengan gaya pengobatan tiap-tiap dokter. Ilmu Kedokteran ibaratnya suatu seni pengobatan. Jadi wajar-wajar saja ketika bu Dokter menambahkan anti-infeksi dan juga vitamin penambah nafsu makan.
Hari-haripun berlalu, dan habis pulalah hari-hari santaiku. Kembali kepada hari-hari yang menegangkan, menyeramkan, penuh teriakan, wah,pokoknya kayak di film horor aja deh! Pak dokter was back, and we were gonna be killed!

Tapi aku dan teman-temanku sudah siap. Karena setidaknya selama beberapa hari ini refreshing, kini siap diteror lagi.
“Apa ini? Ini pasien apa?” teriaknya membuka pagi yang hening, dikeheningan bangsal pasien-pasien yang sebagian masih tertidur.
“Ini observasi febris, Dok! Hari keempat suspek DHF” kebetulan aku yang jawab karena matanya kebetulan tertuju padaku waktu menanyakan itu.
“Kamu tahu Protap DHF tidak?” tanyanya kembali setelah membaca status pasien.
“Tahu, dok!”

Dalam protap DHF yang berlaku waktu itu disebutkan antara lain Infus RL, Paracetamol, Serial HB, Hct, AL, AT tiap 6 jam, awasi tanda-tanda perdarahan, awasi tanda-tanda syok.

“Lha trus ini apa?” sambil menunjuk ke status yang tadi dibacanya.
“Antibiotik dan vitamin itu bu dokter kemarin yang memberi, Dok!” aku mencoba mencari aman.
Sambil meringis sinis, pak dokter itu berkata,”Kamu sama gurumu itu sama-sama geblegnya!”
“Protap DHF ini disusun oleh para dokter ahli, Professor-professor, orang-orang pilihan bukan orang-orang sembarang. Protap ini juga disusun dalam suatu forum dengan pembahasan yang alot! Berhari-hari mereka bahas ini untuk menghasilkan protap itu. Lalu gurumu yang gebleg itu seenaknya saja mengubah protap dengan menambah vitamin.”katanya sambil geleng-geleng.
“Sama seperti kamu kan? Nggak pernah belajar! Gebleg aja terus!” tambahnya.

Kata-katanya itu diulang-ulangnya di keesokan hari dan hampir di setiap pertemuan dengannya. Setidaknya tertanam bahwa Antibiotik tidak diperlukan pada kasus DHF! Apalagi vitamin.

Bertahun-tahun kemudian kujalani diriku sebagai dokter. Kulihat ada banyak sekali dokter-dokter gebleg yang menerapi DHF dengan antibiotik. Bahkan ketika diriku sendiri terkapar sebagai pasien DHF, aku hanya bisa pasrah dijejali antibiotik, antiemetik, anti nyeri kepala, bahkan jus jambu, buah anggur merah segar, Buavita, Pocari Sweat, ... makin jauh dari protap!

Tapi aku hanya diam karena aku merasa telah kembali kepada kegebleganku yang dulu dan tetap beranggapan bahwa mereka semua termasuk dokter yang merawatku adalah dokter gebleg sebagaimana aku. Ada secercah harapan mereka telah menimba ilmu baru sehingga penatalaksanaan DB/DHF memang sudah melalui perkembangan yang pesat, sehingga mereka memang tidak gebleg.