Meliuk, mendayu, manja. Begitulah sang Jiwa kalau sudah bertemu sandarannya. Sepertinya segala kerinduan yang dibendungnya selama tujuh purnama, kini ditumpahkan begitu saja. Demikian pula sang Sandaran Hati, serasa menenggak hujan pertama di akhir kemarau panjang, tersenyum bahagia.

Ketika itu wacana untuk menyelipkan selembar rencana di dalam serangkaian skedul yang teramat padat telah menjadi nyata. Dibayarnya sang Angin yang biasanya hanya dititipi salam, untuk mengangkat sayapnya terbang menuju kekasih hati pada hari itu. Beban rindu di pundaknya sudah melebihi segalanya, hingga harga mahal yang dimintapun tak dihiraukannya. Yang dia tahu hanya satu: menciptakan kebersamaan, walau dia tahu itu hanya untuk sesaat.

Tidak semudah itu juga sih. Kegagalan pernah terjadi ketika wacana hanya tinggal wacana. Kekecewaanpun bergulir. Menangis. Mengelus dada dan bergumam, sabar, sabar, sabar, .... Akan indah pada waktunya,....

Masih seperti mimpi, ketika sang Jiwa tiba di tempat yang dijanjikan. Di bawah atap Surga itu ia masih terus berkelahi dengan dirinya sendiri. Berharap segera bertemu agar pertengkaran itu bisa rehat sejenak seperti kisah bersambung. Sang Sandaran Hatipun masih mengatur waktu dan berhadapan dengan hujan. Hanya serbuan pesan pendek yang bisa dia kirim-terimakan melalui jaringan, kebetulan cukup bersahabat di siang yang basah itu.

Sudah terlalu siang. Sang Jiwa menghitung kembali waktu yang habis buat perjalanannya, baik yang sudah lewat dan yang tersisa untuk sebuah kebersamaan langkanya nanti. Rasanya masih cukup untuk bisa dinikmati, walau terasa lama pula dia telah menghabiskan setengah hari untuk menuju titik koordinat yang telah disepakati bersama. Maka duduk tenanglah dia di sebuah lobby yang hiruk-pikuk dengan salam dan obrolan bisnis.

Serangan pesanpun berhenti, ketika ditatapnya bidadari bergaun biru telah mendarat di depan pintu dan tengah merapikan sayap-sayapnya yang berantakan diterpa badai angin dan basah oleh hujan. Sang Jiwa tersenyum lega dan bergegas menghampirinya. Dengan penuh rasa tidak percaya, ditatapnya sang Sandaran Hati, seperti tatapan pertamanya dahulu, beratus-ratus tahun yang lalu. Jabatan tangan, sentuhan pipi dan pelukanpun seakan mengalir begitu saja, mulai dari pintu lobby sampai di dalam lift yang mengantar mereka menuju lapisan langit yang ke tiga ratus sekian!

Maka di sehampar awan putih itulah sang Jiwa memesrai sandaran hatinya. Dipeluknya, didekapnya, dibisikannya kerinduan yang tak mampu lagi dia simpan sendiri. Sang Sandaran Hatipun tak kuasa menahan, dibalasnya ciuman demi ciuman. Disitulah sang Jiwa melampiaskan dendam rindunya.

Serasa tiada penghalang, serasa semesta milik berdua, serasa surgalah yang ada. Tak terbayang besarnya cinta yang berpadu mencairkan kebekuan rindu yang lama tersimpan. Meleleh, membanjiri sungai-sungai kering yang membelah padang gersang. Mendesah, seperti angin yang selalu menyapakan salam kangen. Merintih, seperti kepedihan rindu yang menyayat. Memacu nafas dan menggelorakan badai asmara yang berkecamuk. Menggelegar bagai dewa petir yang sedang dilanda mabok yang menghantam mendung. Hujanpun turun membasahi atmosfer, lembab, mengucur ke bumi, terus menerus meleleh, hingga tak tersisa kebekuan rindu itu lagi.

Akhirnya keindahan itupun kembali menjadi bayangan, setelah kebersamaan usai, dan perpisahan panjang mulai melanda. Sang Jiwa dan sang Sandaran Hati kembali memahat hati dengan rindu yang mulai membeku kembali. Di sela-sela mimpi untuk kembali bertemu, tercipta kembali cemburu di setiap malam, di setiap pagi, dan di setiap saat dimana nafas kebersamaan tiada terasa mendesah lagi.

0 komentar: