Ada apa dengan kapak?
Ini adalah sebuah cerita pendek yang perlu dibaca sebagai bahan perenungan. Cerita ini saya dapatkan dari seorang senior saya dan sempat membuat saya merenung seharian. Pada hari ini saya baru sempat berbagi dalam blog ini. Semoga bermanfaat...

Pada jaman dahulu kala ada seorang pengembara yang mencari makan dengan menjual jasanya sebagai seorang penebang kayu. Namanya pengembara, dia tidak punya rumah ataupun harta benda berharga selain pakaian yang menempel di tubuhnya dan sebuah kapak sebagai alat penebang pohon. Dengan modal kapak itulah dia mendapatkan upah dari hasil menebang pohon. Hari-hari dia lalui dengan mengembara untuk mencari pelanggan yang akan memanfaatkan jasanya sebagai penebang kayu. Upah yang didapatnya lumayan buat bekal hidup beberapa hari sebelum dia mendapatkan pelanggan baru untuk memanfaatkan jasanya itu. Bayangkan betapa miskinnya dia waktu itu.

Hari berganti, bulan berganti. Ia masih tetap seorang pengembara yang setia dengan pekerjaannya. Tapi dia sudah mulai bisa menabung dan membeli pakaian baru. Tak lama kemudian dia sudah mulai bisa memiliki tempat tinggal. Setelah tahun berganti, iapun sudah mulai memiliki rumah yang sudah cukup memadai untuk dia tinggali.

Dia masih miskin, tapi dia begitu rajin menabung. Bahkan sekarang dia tidak lagi repot-repot mencari pelanggan untuk menggunakan jasanya sebagai penebang pohon. Setiap hari ditebangnya pohon dan dikumpulkannya di sebuah lahan miliknya. Sejak saat itu jika ada pelanggan yang membutuhkan kayu tinggal datang ke tempat tersebut untuk membeli kayu sesuai jenis kayu yang dia inginkan.

Bukan main, perkembangan terasa begitu cepat. Sang pengembara ini sekarang sudah memiliki beberapa orang pekerja untuk membantunya menebang kayu dan mengumpulkannya. Pendek kata, orang ini sudah menjadi seorang pengusaha kayu yang sukses. Pelanggannya tidak saja dari wilayah sekitar, tapi juga dari luar batas wilayah kerajaan tempat dia tinggal.


Tapi sayang sekali, orang ini begitu pelit lagi sombong. Dia sangat sayang kepada hartanya. Dia tidak pernah sedekah atau memberikan bantuan kepada orang lain kecuali dengan imbalan jasa atau apapun yang akan ditukarnya dengan uang. Bahkan ia juga tidak mau menikah. Biarpun banyak gadis cantik yang telah ia kenal, tetap ia tidak pernah tertarik sedikitpun. Yang dia yakini, mereka hanya tertarik dengan hartanya. Toh selama dia miskin, tak ada satupun perempuan yang mau mendekat. Jangankan gadis cantik, janda-janda peot sekalipun tak ada yang sudi meliriknya.

Sekarang dia kaya raya. Dia begitu berbangga diri. Barangkali dialah orang terkaya yang paling dikenal dan dihormati di wilayah kerajaan yang ia tinggali. Setiap hari seolah kekayaannya semakin bertumpuk, hingga tak terhitung lagi berapa jumlah harta yang telah dia miliki. Di matanya, orang lain hanyalah sampah. Seakan-akan dia telah menyimpan dendam mengingat bagaimana orang lain memperlakukannya sewaktu dia miskin dahulu.

Tapi kondisinya sekarang berbeda. Dia semakin tua dan lemah. Ia menyesali keadaan itu, tapi sudah terlambat untuk menyesal. Dia mulai berpikir, seandainya suatu ketika ia mati, siapa yang akan memiliki kekayaan dan melanjutkan usahanya itu. Dia tidak memiliki ahli waris seorangpun. Ia mulai cemas dan ketakutan.

Menjadi manusia renta yang semakin hari semakin tidak tahu kemana tujuan hidup. Tidak ada anak, tidak ada istri, tidak ada teman yang setia. Dia sudah sedemikian sombong kepada semua orang.

Penyakit tuanya sudah tidak bisa dihindarinya lagi. Dia baru sadar arti pentingnya seorang teman, anak atau istri. Semua itu seakan jauh lebih berarti dari harta yang telah dikumpulkannya setinggi langit itu. Tapi semua itu sudah tak mungkin lagi. Waktu tidak akan mungkin berputar dan mengulang kembali sejarah untuk memperbaiki kesalahan besarnya di masa yang telah lampau. Namun, sekali lagi, penyesalan tinggallah penyesalan.

Ketika keputusasaan telah memuncak, akhirnya dia memutuskan suatu hal yang sangat penting. Dia ingin meninggalkan sebuah wasiat. Dia menghadap kepada raja yang memerintah waktu itu untuk menitipkan wasiatnya. Sebuah wasiat yang sungguh besar, sudah barang tentu berhubungan dengan kepemilikan harta kekayaan yang besarnya segunung itu sepeninggalnya nanti.

Wasiat yang dia tinggalkan berupa sebuah sayembara. Dia bermohon kepada sang Raja untuk mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum. Tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, perawan ataupun janda, cantik ataupun jelek, kaya ataupun miskin, semua berhak ikut sayembara ini: Bahwa barangsiapa yang sanggup menemaninya di kubur saat sepeninggalnya nanti, dialah yang berhak mewarisi harta benda itu seluruhnya. Sekali lagi, seluruhnya! Tetapi orang itu harus sanggup menemani di dalam kubur selama tujuh hari, tujuh malam tanpa henti.

Kemudian secara tekhnis, segala sesuatunya diatur dan diperhitungkan. Karena orang yang menyatakan sanggup untuk mengikuti sayembara itu akan dikubur hidup-hidup di samping jenazah si orang kaya dan harus tetap hidup selama tujuh hari di dalam kuburan itu. Sebuah rongga udara akan dialirkan ke liang kubur dan sejumlah bekal yang cukup harus disediakan untuk bertahan di bawah sana. Tetapi orang ini tidak diperkenankan berhubungan dengan orang lain di luar kuburan. Apapun yang terjadi, selama tujuh hari dan tujuh malam tidak ada yang mengusik kuburan itu kecuali pada akhir hari ke-7 kuburan yang berisi orang hidup ini baru akan dibongkar.

Suatu ketika tibalah saatnya sang Raja harus mengumumkan wasiat itu kepada rakyatnya, karena kabar meninggalnya sang Pengusaha kaya sudah ada. Kabar besar itu memang sempat beredar beberapa saat sebelum si Kaya meninggal. Tak lama kemudian kabar itupun telah terdengar di seluruh pelosok kerajaan, bahkan sampai di kerajaan seberang.

Sang Raja sudah sedemikian putus asa karena sudah hampir tiba saatnya jenazah dikuburkan, tetapi belum ada yang berminat mengikuti sayembara itu. Sebenarnya sederhana saja, hanya tinggal tidur dalam rongga kubur selama tujuh hari tujuh malam di samping mayat, itu saja. Makanan dan minuman dijamin, bahkan setelah itu dia akan mendapatkan sejumlah harta yang tidak tahu lagi bagaimana menghitungnya. Tapi rupanya memang berat, terbukti tidak ada yang bernyali mengikuti sayembara itu. Bahkan oleh sebagian orang menjalani sayembara itu dirasa sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Mereka yang tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, perawan ataupun janda, cantik ataupun jelek, kaya ataupun miskin, bahkan preman kerajaan paling sangar sekalipun ternyata tidak bernyali sama sekali.

Ketika keputusasaan hampir mencapai puncaknya, tiba-tiba ada seseorang yang menyatakan sanggup mengikuti sayembara itu. Seorang laki-laki berusia separuh baya yang miskin dan tinggal di sebuah gubuk di pinggiran kota kerajaan. Orang yang kesehariannya mengemis, meminta-minta dan kadang-kadang saja dia melakukan pekerjaan kasar sebagai buruh di pasar kerajaan.

Mungkin memang masuk akal bagi kebanyakan orang bahwa orang miskin seperti dialah yang sanggup memenuhi semua persyaratan yang diminta. Orang miskin memang sudah terbiasa hidup susah, makan apa adanya, bahkan kalau perlu tidak makan, tidak terbiasa kerja keras, sehingga kalaupun hanya tiduran selama tujuh hari dengan bekal seadanya, pasti dia mampu melakukannya. Barangkali memang sudah waktunya bagi orang itu untuk mengubah nasibnya, dari miskin menjadi kaya mendadak.

Akhirnya, orang itupun menjalani semua persyaratan dengan segala kondisi tekhnis yang ditentukan sebelumnya, termasuk menandatangani kontrak bahwa dia akan sanggup melakukan semua itu. Karena jika dia gagal, batal, atau turut meninggal, maka seluruh harta yang akan diwariskan kepadanya akan menjadi milik kerajaan.

Setelah ritual penguburan selesai, pada hari pertama dia tinggal di dalam kubur bersama mayat sang Pengusaha Kaya, tepatnya beberapa saat setelah semua orang pergi meninggalkan kuburan, dia mendengar suara-suara percakapan. Dia tidak melihat apapun, karena kebetulan ada sekat pemisah antara dia dan jenasah di sampingnya. Hanya suara-suara yang dia dengar secara jelas. Jelas sekali!

Rupanya jenasah si Orang Kaya tadi didatangi oleh dua malaikat dan diinterogasi mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan perbuatan selama hidupnya.

Pada hari pertama itu, banyak pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat kepada si Orang Kaya, terutama mengenai hartanya. Ketika ditanya berapa jumlah kekayaannya saat ditinggalkan, orang kaya itu tidak bisa menyebutkan. Sedemikian besarnya kekayaan itu sehingga ia tidak pernah bisa menghitungnya. Lalu pertanyaannya mengarah ke asal mula kekayaan yang besar itu. Asal mula kekayaan itu bermula dari sebuah kapak. Kapak satu-satunya yang dia miliki. Tetapi interogasi ini berakhir ketika hari sudah mulai malam.

Pada hari kedua, malaikat-malaikat itu datang kembali dan kali ini banyak pembicaraan mengenai kapak. Tentang dari mana asalnya kapak itu, bagaimana mendapatkannya, didapat dengan cara halal atau tidak, dan sebagainya. Tapi pembicaraan berakhir ketika hari sudah mulai malam.

Hari demi hari dilalui oleh si Miskin dalam kubur bersama mayat di sampingnya. Dia mendengar semua pembicaraan antara si Mayat dengan para malaikat itu. Dari hari ke hari, semakin banyak pertanyaan dan jawaban. Sesekali terdengar suara bentakan dan teriakan, bahkan tangisan. Semua terdengar begitu dramatis, bahkan tak jarang si Miskin yang hanya mendengar percakapan itu terpaksa ikut menangis.

Sampai hari ke tujuh, para malaikat itu belum selesai mengucurkan pertanyaan kepada si mayat. Masih soal kapak! Hari itu hari berakhirnya sayembara yang dijalani si Miskin. Kuburanpun dibongkar. Tapi kuburan si Mayat tidak ikut dibongkar. Begitu kuburan dibongkar, si Miskin tadi segera bergegas dan meloncat ke permukaan tanah. Beberapa orang sempat memeluknya, sekedar memberi ucapan selamat bahwa dia telah berhasil memenangkan sayembara dan memiliki seluruh harta peninggalan sang Pengusaha Kaya yang menitipkan wasiatnya kepada pihak kerajaan. Sang Raja yang kebetulan hadir di situ turut mengucapkan selamat.

Tapi tiba-tiba si Orang Miskin ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak! Tidak! Tidak!” Di depan sang Raja dan semua orang yang hadir di situ dia menyatakan tidak akan mengambil harta itu dan memilih kembali ke gubuknya yang ada di pinggiran kota. Kontan semua orang bingung dibuatnya. Sudah jelas-jelas dia memenangkan sayembara itu dan berhak atas harta yang tidak terhitung jumlahnya, kok malah memilih kembali kepada kehidupannya yang miskin sebagai pengemis di pasar.

Lalu diapun menceritakan semua pengalamannya selama tujuh hari di dalam kubur bersama si Mayat. Yang dia tidak habis pikir, baru masalah kapak saja sampai tujuh hari tidak selesai dipersoalkan, apalagi dengan harta sebanyak itu? Dia tidak bisa membayangkan seperti apa pertanggungjawabannya atas kepemilikan harta yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan kenyataan yang telah dia saksikan itu, maka tanpa berpikir panjang diapun lebih memilih untuk tetap miskin dan melupakan soal haknya sebagai pemenang sayembara. Jangankan seluruhnya, sedikit saja dia tidak bersedia mengambil bagian dari harta itu.

TAMAT

0 komentar: