Kucium jejak aroma itu di udara sore yang hangat, ketika aku sedang melayang di atas awan. Diantara hembusan angin yang bertebarkan kerinduan, kutemukan sebuah harapan untuk sekedar menggapainya, dari mana jejak itu berasal. Aku terus mengendus-endus, sepertinya bidadari itu biasa beterbangan disini. Rupanya aku sedang memasuki jalur lalu lintas penerbangan hari-harinya, sehingga aroma itu tak pernah lepas dari atmosfer yang menyelubungi bumi, dimana dia tinggal.

Gemuruh rindu tidak pernah berhenti mengajakku untuk mencumbu senja yang jingga, sebelum tiba-tiba berubah menjadi hitam kelam malam. Aku tahu dia masih berada di sekitaran sini untuk menuai beberapa senandung cinta. Maka akupun mencoba menebar sinyal-sinyal, agar dia tau aku ada disini. Kalau saja ada rindu di hatinya, dia tak akan lari menghindariku. Tapi bila ternyata sebaliknya yang terjadi, ya nggak apa-apa. Aku masih punya waktu bersabar menunggu besok untuk menemukan aroma itu lagi. Karena setiap malam menjelang, jejak itu pasti tiba-tiba hilang, tak terlacak lagi.

Akhirnya kutemukan dia di semacam pintu lorong, yang terbentuk dari sela-sela gumpalan mega yang berwarna senja. Sedang terbang menyambutku. Ternyata dia tidak saja sekedar membaca sinyalku, tapi masih menyala juga kerinduan di hatinya. Rona wajah itu masih sama saja seperti biasanya, dengan tatapan malu-malu, membuang pandang ke arah mega-mega berwarna gradasi biru-jingga dan tak pernah melawan tatapanku terlalu lama.

Tanpa banyak bicara, akupun terbang bersamanya ke dalam lorong itu. Tak sadar tangankupun menggapai tangannya, berpegangan, entah sudah berapa lama hal itu terjadi. Tiba-tiba aku dan dia berhenti di sebuah persimpangan.

"Aku harus kesana dulu." katanya, sambil menunjuk.
"Ya sudah, silahkan. Aku tunggu di atas." jawabku. "Jangan terlalu lama!"

Diapun balik badan dan melesat pergi. Akupun membumbung, menerobos awan tebal dan udara dingin untuk meraih langit kedua. Aku berada di salah satu keramaian kota atas awan itu. Aku berharap dia tahu dimana aku menunggunya. Sebuah pusat perbelanjaan yang padat pengunjung, sebuah tempat yang sangat nyaman buat menikmati suasana sore itu. Disana aku pernah bersamanya, walau tidak lama. Mungkin aku juga butuh beberapa keperluan kecil seperti perekat, pisau cukur, permen karet dan cemilan kecil buat menghabiskan malam di kota yang hiruk pikuk dengan aktivitas jiwa-jiwa yang sibuk.

***

Entahlah. Mengapa kebersamaan dengannya selalu miskin pembicaraan. Lebih banyak diam daripada ngobrol. Akupun hanya melirik wajahnya yang selalu menunduk manis. Tak ada sepatah kata pun yang dia bicarakan. Akupun merasa seakan sudah banyak bicara dari hati ke hati dan tak perlu banyak hal teknis yang perlu dibicarakan lagi. Hanya terbang perlahan sambil terus sibuk mengepakkan sayapnya yang beraroma khas itu.

Aku menyambar sebuah camisa biru dari sebuah percha dan menaruhnya di keranjang belanjaku. Aku memanggilnya masuk ke dalam kamar pas. Tidak terlalu lama. Setelah puas, akupun keluar begitu saja.

Kulihat dia begitu tenang menghadapi perlakuanku barusan. Tidak ada kata-kata terucap. Tidak ada perlawanan, tidak ada pula pesan dan kesan. Hanya tertunduk bisu. Tapi aku tahu kalau dia menikmati. Padahal aku berharap dia mengatakan sesuatu, sehingga terjadi pembicaraan:

"Kok nggak jadi dicoba, camisanya?"
"Nggak, cuman mau ngerjain kamu doank!"
"Nakal kamu!"
"Salah sendiri, mau dinakalin?"
"Dapat ide dari mana kamu, main sosor gitu di tempat umum?"
"Habisnya dari tadi kamu diem saja, nggemesin!"
"Jangan-jangan kamu sudah biasa main begituan?"
"Eh, enggak ya? Cuma sama kamu kok!"
"Bikin jantungku berdebar dan merinding semua buluku, tau nggak?"
"Tapi kamu suka, kan?"
"Hehehe...."

***

Waktu terus berputar. Senja mengajak jiwa-jiwa itu pulang ke peraduan. Cuacapun beranjak kelam dan terus mengkerut bersama temperatur yang terus merosot. Aku mengajaknya menuju ke dasar langit dan terbang menyusuri jalan pulang. Bagaimanapun juga dia adalah bidadari yang tetap setia tinggal di bumi, walau sepanjang hari dia banyak beterbangan mencari harapan di atas awan.

Mendarat di sebuah kota daratan yang tak kalah hiruk pikuknya dengan kota di atasnya. Akupun melenggang bersamanya, menjelma dari jiwa-jiwa beterbangan menjadi manusia yang fana. Menyusuri jalanan yang bermandikan cahaya lampu merkuri, tak seperti langit yang mulai gelap dengan warna birunya yang semakin tua. Lalu aku berhenti di sebuah taman yang rindang, tanpa cahaya. Aku menarik tangannya dan menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon, lantas menghadapkan wajahku di depan mukanya.

"Aku kangen kamu!" aku berbisik.
"Aku juga!" bisikan balasannya terdengar lembut.

Tak kuasa aku menahan diri untuk mengecup bibirnya yang dari tadi menggemaskan itu.

"Jangan disini!"
"Kenapa?"
"Nggak mau, malu dilihat orang!"
"Nggak ada orang disini."

Beberapa kecupan lantas aku daratkan di bibirnya kembali.

"Nakal kamu! Masih kurang ya yang di atas tadi?"
"Hehehe...."

0 komentar: