Di tengah gemuruh negeri yang terus mengharu biru dengan berbagai permasalahan sekarang, saya memilih untuk menyusup ke pedalaman. Mencari peluang kedamaian hati yang barangkali masih tersisa. Lari dari tempat saya berdiam ketika ribuan problema tiba-tiba menyesakkan dada, tidak tahu siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Udara sudah sedemikian pengap oleh asap kebakaran hutan; sampah plastik membuat cemaran air semakin parah; ibukota negeri juga akan dipindah karena sudah tidak tahan dengan iklim yang semakin pengap; aksi demonstrasi mahasiswa menolak perubahan regulasi peninggalan jaman Belanda memakan korban jiwa; wacana kenaikan iuran jaminan kesehatan juga diprotes; isu rasisme yang menggejolak menyinggung hati sebagian dari penghuni negeri ini juga menimbulkan prahara yang panjang buntutnya; masih banyak lagi hal yang tak dapat disebutkan disini.

Biarlah, mungkin sebagian orang akan menuduh saya pengecut, pecundang, atau jenis binatang tertentu yang mungkin lebih hina dari makhluk paling hina. Tapi saya tetap akan menyusup ke pedalaman untuk sebuah alasan. Sebuah egiosme yang sudah lama tidak saya gunakan, ya sesekali lah egois, karena kepedulian saya kali ini saya pastikan tidak akan ada manfaatnya juga.

Entahlah, apakah hanya saya, yang saat ini tidak lagi bisa membedakan mana kawan, mana lawan? Ketika kawan-kawan baik saya berseteru sedemikian hebat, sementara untuk mendamaikan mereka justru berpotensi menjerumuskan saya dalam situasi yang serba salah. Atau saya yang sedemikian bodohnya memahami situasi saat ini, ketika cibir-mencibir, nyinyir-nyinyiran, serta olok-olok dengan bahasa-bahasa yang mengandung binatang itu sudah menjadi hal biasa saat ini? Sungguh, saya tidak sanggup mendengarnya.

Apakah mereka sungguh-sungguh berantem dan saling membenci sehidup semati untuk berlanjut ke tujuh turunannya nanti? Ataukah hanya sekedar mengikuti trend gegap gempita suasana yang tengah membara untuk ikut-ikutan melampiaskan nafsu amarahnya yang selama ini ditahan-tahannya?

Sungguh, aku tak mampu memahami…. Sepertinya aroma imperialisme itu masih kental terasa. Kita memang paling semangat untuk menjadi domba-domba dalam devide et impera.

Tetapi dari tempat persembunyian saya yang paling dalam ini, saya mencoba untuk berbisik. Mengingatkan saja, siapa tahu ada hati yang masih bisa terketuk. Janganlah mudah meledak seketika panasnya api baru mulai terasa. “Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman.” Dewasakanlah diri dengan kemampuan-kemampuan mengolah rasa, sehingga perasaan-perasaan ingin meledak itu bisa ditunda sedetik, dua detik, sampai meredam dengan sendirinya. Percayalah, ledakanmu tidak akan membuatmu lebih baik, hanya akan mengurangi sebuah nilai keindahan dalam dirimu sendiri.

Menepi disini lebih adem, Coy!

Adakalanya perlu suatu ajian sarira ndableg (jurus keras kepala) diperlukan untuk menghadapi benturan-benturan yang tidak perlu menyinggung sampai ke hati. Namanya hati itu tempatnya ada di dalam, terlindung oleh lapisan lemak yang lembut, juga oleh kerangka tulang yang kuat. Jadi jangan malah meletakkan hati di luar tempatnya, sehingga mudah tersinggung dan tersakiti. Apa enaknya menjadi korban kedzaliman pihak lain? Belum tentu juga dia yang dzalim, siapa tahu kamu sendiri yang kebangetan. Play victim bukan hal yang indah untuk meraih simpati, melainkan kekonyolan yang hanya membuatmu semakin tampak menyedihkan, bukan malah mengundang rasa kasihan.

0 komentar: