Libur panjang lebaran sudah mau habis nih. Yang mudik juga sudah mulai ada yang balik. Tahun ini aku nggak mudik lagi. Jadi sudah 2 kali lebaran tidak pulang. Pesan senior: kalau bisa jangan sampai 3 kali, deh. Ntar nyaingi bang Toyib, lagi.

....♪♬...tiga kali puasa, ♪...♬...
....♪..♪...tiga kali lebaran....♪♬...
....♪♬...Abang gak pulang-pulang....♬...♪..
...♬...♪...sepucuk surat tak datang ♪♪..♬..

Setidaknya kerinduanku udah nggak menderu seperti dulu. Entahlah, mungkin karena ada beberapa teman yang ternyata juga tidak pulang mudik tahun ini. Lagian aku juga sudah telpon buat mengendorkan muatan impuls di saraf kerinduan. Emang ada ya, saraf kerinduan? Secara ilmiah sih nggak ada. Ini istilahku sendiri.

Yang jelas tempatnya di otak, yang mengatur perasaan dan emosi. Disitu ada semacam lokus yang mengeluarkan persepsi berupa kerinduan.

Aku juga nggak tahu apakah kerinduan itu sembuhnya hanya dengan bertemu atau bisa luntur seiring berjalannya waktu? Tapi setidaknya aku bahagia hidup di era komunikasi digital sekarang ini, manfaatnya sudah banyak dirasakan orang, terutama untuk mengurangi simptom kerinduan yang banyak diderita orang.

Kali ini aku nggak akan ngobrolin soal tekhnologinya, tapi soal kerinduannya. Nggak tau kenapa ini jadi menarik bagiku untuk diulas. Direnungkan.

Sekarang coba bayangkan, kalau seandainya saja saya merindukan seseorang, maka sesungguhnya orang itu telah menciptakan "sindrom" berupa rindu dalam diri saya. Orang itu, dengan ketiadaannya dalam jangkauan kita, telah menciptakan kekosongan dalam hati. Makanya, jangan suka menjadi orang yang dirindukan, itu nyiksa namanya.

Untungnya aku ini jadi orang nggak banyak dekat dengan orang lain. Aku nggak banyak singgah di hati mereka lalu pergi dengan menciptakan ruang kosong. Jadi aku nggak banyak menyiksa hati mereka dengan kerinduan akan diriku. Paling hanya istri dan ibuku yang sering merindukan aku. Selebihnya, terserah mau jungkir balik, mau koprol, mau nungging, mau nyungsep... bilangnya, "Emang gue pikirin?"

Bapak saya tipe orang ekstrovert. Beliau hampir tidak pernah mengungkapkan emosi, baik berupa kerinduan ataupun perasaan lain yang melibatkan hati. Bagi beliau, yang penting aku baik-baik saja, trus berusaha meyakinkan kalau yang disana juga baik-baik saja. Semoga tidak kurang sesuatupun. Kalau butuh apa-apa, silahkan ngomong. Udah, itu saja.

Dari pandangan bapak, life's so simple. Nggak ribet dengan perasaan-perasaan tak berguna. Semuanya berjalan logis dan based on experience and reality. Kadang terpikir kenapa nggak sifat bapak saja yang nurun ke aku. Melainkan sifat ibu yang introvert, sehingga egosentrisnya sangat kentara.

Jujur saja kadang-kadang perasaan-perasaan seperti ini justru menggelayuti langkah-langkah, membelenggu, membuat hidup jadi kurang produktif. Tapi kalau bisa dikelola dengan baik, sih, sebenarnya tidak mengganggu sekali. Bagaimanapun harus disyukuri dikasih perasaan yang lebih, sehingga bisa berempati lebih banyak, serta mampu turut merasakan apa yang orang lain rasakan. Dengan begitu aku bisa menyelami perasaan orang-orang ini. Hmmm... yang benar saja?

Tapi justru nggak boleh terlalu sering menyelami perasaan orang. Ntar tenggelam! Atau malah larut di dalamnya? Cukup menyeimbangkannya dengan rasio saja. Sehingga antara pikiran dan perasaan berjalan selaras dan saling menyeimbangkan.

Jadi, soal rindu ini bagaimana? Oh iya. Sudah terobati, kan? Lima belas menit pembicaraan dalam telepon itu sudah mengurangi derita rindu yang membelenggu. Sisanya biarkan tetap tinggal di hati. Agar kelak aku tetap punya tujuan untuk kembali.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H,
mohon maaf lahir dan batin.

0 komentar: