Sore itu tumben perut sudah terasa lapar. Biasanya nanti agak malam mulai terasa laparnya. Di saat warung-warung makan sudah tutup, di saat para penyedia jasa penyaji makanan favorit sudah tak lagi beroperasi biasanya baru terasa lapar. Kulihat jam menunjukkan waktu 17.00 WITA. Langit mendung, walaupun sudah jarang hujan.

Niat hati mau keluar rumah cari bebek goreng, makanan favorit saya. Daripada nanti pulang kehujanan, atau terjebak hujan, kuputuskan pergi menggunakan mobil saja. Walaupun terasa aneh saja pergi sendirian menggunakan mobil. Biasanya saya lebih memilih menggunakan motor untuk sekedar cari makan di warung. Tak lama sayapun segera cuzz… menuju TKP.

Gerimis mulai menitikkan air di kaca mobil. Tempat jualan bebek penyet itu lumayan jauh dari rumah. Benar sudah keputusan untuk tidak bermotor menuju ke sana. Bisa basah kuyup kedinginan nanti. Niat mau cari kehangatan bebek goreng malah jadi kedinginan oleh kuyup air hujan.

Setiba di tempat makan, hujan sempat beberapa kali turun deras. Tak lama berubah hanya gerimis biasa, lalu deras lagi. Gerimis lagi. Begitulah, tandanya musim hujan sudah mau berakhir. Seperti biasa, pesanan bebek penyet disitu tidak langsung instan. Butuh ditunggu dulu. Disamping bebeknya harus ditangkap digoreng dulu, sambalnya juga dibuat “on site” dan “on demand” sesuai level pedas yang diinginkan. Bayarnya di muka.

Akhirnya tersaji juga tuh sang bebek hangat. Setelah tersaji, tak butuh waktu lama buat melahapnya. Lebih cepetan melahapnya daripada menunggu tersajinya. Dasar perut juga sudah semakin ramai memainkan K-Pop. Tau lah, tingkat kelaparan berbanding lurus dengan kecepatan makan.

Singkat cerita tuh bebek dah bener-bener tamat deh. Sampai sini kan gak nyambung sama judulnya, yak? Kok jadi mbahas makan bebek goreng? Sabar, Son…. Belum kelar nyampek sini.

Gerimis masih mengguyur jalanan depan warung bebek itu saat saya berencana mau pulang. Lumayan lama juga saya ngabisin waktu tadi. Tahu-tahu waktu maghrib pun tiba. Saya pun bergegas pulang sekalian mau mampir mesjid. Mobil saya baru berjalan sekitar 50 meter dari tempat makan, terdengarlah tangis sang kucing, “Miaw…!, Miaw…!, Miaw…!” Jendela semua tertutup rapat, dari mana asal suara itu? Suaranya terdengar kencang sekali, seperti di dalam mobil. Mengikuti terus. Tapi dari mana dia masuk? Wah, bisa jadi masalah nih…

Untung dekat situ segera kutemukan mesjid. Aku berhenti parkir di halamannya lalu turun dan mencoba mencari dari mana arah suara itu. Sayangnya dia sudah tiak bersuara lagi. Tapi kuat dugaan dia sembunyi di ruang mesin. Aku buka kap mesin, tak melihat seekor kucing di bagian atas. Mungkin di bagian bawah. Sayangnya gelapnya maghrib menyulitkan saya mencari lebih dalam lagi. Tapi dengan menu “Flashlight” dari ponsel bisa membantu. Kutemukan sesosok kucing kecil di bagian dasar ruang mesin. Tidak bisa dijangkau karena terlalu sempit celah menuju ke sana.

Hujan masih turun, cukup basah juga bagian belakang baju yang saya kenakan. Saya berharap itu kucing segera turun dari ruang mesin sementara saya masuk masjid untuk ibadah maghrib. Saya hanya khawatir dia kenapa-kenapa nantinya kalau tidak mau turun.

Maghrib selesai, segera aku menuju tempat parkir. Hujan masih berstatus gerimis. Tak ada lagi suara kucing. Berharap itu kucing sudah bener-bener keluar dari mobil. Tapi banyak genangan air di bawah mobil itu. Mana mungkin dia sudah pergi dari sana? Sepertinya bukan hanya aku yang mencari kehangatan di senjakala yang basah itu. Ruang mesin mungkin cukup hangat untuk bersemayam sang kucing kecil. Tapi bahayanya kalau dia sampai menyentuh bagian panas dari mesin ketika sedang melaju, apa nggak matang dagingnya nanti?

Bagaimanapun aku harus pulang. Kuserahkan semuanya pada Tuhan. Apapun yang terjadi, semoga menjadi yang terbaik buat si kucing malang itu. Aku menyalakan mesin dan menggebernya pulang.

Di jalanan tidak lagi terdengar tangis kucing. Hanya suara rintik hujan yang mengetuk atap mobil serta suara wiper yang melambai-lambai di kaca depan. Sepertinya si kucing memang sudah tiak mengiutiku lagi. Aku sedikit ngebut biar segera sampai ke rumah.

Jalan sedikit bergelombang ketika mau berbelok di tikungan dekat rumah. Saya tidak mengurangi laju mobil ketika melaluinya. Disitulah terjadi sedikit sentakan, lalu tak lama kemudian terdengarlah…

“Miaw!”

Lalu terulang lagi tangisnya beberapa kali sampai tiba di rumah. Karena hujan masih menggerimiskan diri (ini bahasa sedikit maksa ya, jangan ditiru), maka segera saya sudahi perjalanan itu. Tibalah saya di rumah dan langsung saya parkirkan di garasi sebelum akhirnya aku membuka kap mesin itu lagi.

Si Kecil Mpussy itu melenggang tenang di depan radiator pendingin. Badannya cukup kecil untuk menyelinap ruang-ruang kosong di bawah kap mesin. Aku pegang begitu saja dengan mudahnya. Dia sangat kecil, kasihan. Bulunya yang berwarna putih belang kuning-coklat itu tampak kotor sekali. Aku turunkan dia ke lantai garasi lalu segera menutup kembali kap mesin. Selesai menutup, sempat kulihat dia menyelinap di bawah mobil kembali, lalu tampak lari ke belakang rumah. Di sana gelap gulita sebab saya belum sempat menyalakan lampu rumah satupun.

Setelah sempat menyalakan lampu rumah dan juga lampu garasi, saya menyambar sebuah lampu senter dan mencari ke arah larinya si Kucing malang itu. Dengan senter yang cukup terang itu saya mengelilingi rumah, tak ada hasil. Entah menghilang ke mana dia tadi. Meong-nya pun sudah tidak terdengar lagi. Mungkin sembunyi di bawah tumpukan kayu milik tetangga itu, tapi aku senter-senter tidak ada juga sosoknya. Takutnya nanti malah tetangga lihat saya sorot-sorot tumpukan kayunya lalu curiga macam-macam, aku memutuskan untuk tidak mencarinya lagi. Masuk rumah, mandi.

Keesokan harinya adalah hari libur tengah minggu. Tanggal merah. Biasanya malam menjelang libur begitu saya agak larut malam tidurnya. Bukan begadang juga sih, hanya sayang menghabiskan waktu buat tidur doang. Mendengarkan streaming musik dari Spotify biasanya masih menjadi pilihan mengisi waktu.


Pagi yang indah itupun tibalah. Setelah subuh saya biasanya tidur lagi kalau libur begitu. Tapi pagi itu saya terperanjat oleh suara meong lagi ketika hendak mancal selimut. Semalaman tidak ada suara kucing itu, tapi kenapa pagi ini nongol lagi? Tanpa berpikir panjang saya langsung keluar rumah dan mencari sumber suara. Sepertinya ke arah garasi. Suara itu… ada di dalam ruang mesin mobil lagi! Rupanya si Meong menyelinap kembali ke dalam mobil ketika saya masuk rumah buat menyalakan lampu tadi malam. Aku buka kap mobil, dianya sudah berada di atas bagian mesin, kalau tidak salah itu kotak saringan udara. Aku pegang dengan mudahnya, lalu aku turunkan. Kali ini dia tidak menyelinap kebawah mobil.

Ada sisa potongan ikan mentah di dalam kulkas. Kau kasih ke si Mpus. Pasti dia kelaparan. Malam yang dingin telah dia lalui tanpa cemilan sedikitpun. Benarlah, dilahapnya ikan itu sampai tinggal tulang belulangnya doang. Padahal tadi masih beku baru keluar dari freezer.

Niat mau mengembalikan ke tempat asalnya akhirnya saya urungkan. Saya sendiri tidak yakin dari mana dia ikutan naik mobil. Bisa jadi dia memang sejak dari rumah tadi sudah ada di mobil. Setelah dipikir-pikir, ada baiknya saya piara saja dia sebagai teman di rumah. Ya sebenernya saya tidak terbiasa memelihara kucing. Tapi dengan baca-baca artikel di internet mungkin bisa membantu bagaimana baiknya memelihara kucing. Lagian kucing kampung macam dia agaknya lebih adaptif buat hidup. Enggak terlalu ribet seperti kucing jenis lain yang mahal-mahal itu. Bisa makan apa saja dan di mana saja. Termasuk dipiara dengan ala kadarnya. Tidak perlu diada-adain buat kucing begini. Tak perlu makanan khusus, vitamin khusus, shampoo buat mandiin dia, parfum, dan segala tetek bengek perlengkapan ala kucing mahal.

Cukup merebus air, menyediakan air hangat buat mencuci bersih bulunya yang kotor itu. Adanya cuma Sunlight® pencuci piring. Mungkin kotoran berminyak bisa larut. Sekalian kuman-kumannya bisa mati! Hahaha… jadilah si Mpus kucuci seperti caraku mencuci piring!

Si Mpus tampak nurut aja. Ya memang meang-meong terus, tapi tidak banyak meronta. Dilap handuk kecil juga diem aja. Eh, ngomong-ngomong kamu tuh jantan apa betina? Duh, gue kagak tau bagaimana membedakan jenis kelamin kucing. Kayaknya kamu betina deh, soalnya gak nampak apa-apanya nih. Ya sudah. Kukasih nama Elora, ya? Biar jadi kucing cantik yang selalu membahagiakan pemiliknya, hehehe....

“Bobok sini, Elora Sayang!”
“Miaw!”

0 komentar: