Sejujurnya saya takut menggunakan judul ini. Karena ketika kita menyebut kata "pulang", bisa berarti pulang yang sesungguhnya: pulang ke rumah; tapi bisa jadi pulang entah ke mana. Pasalnya saya jadi kehilangan makna "pulang" itu sendiri. Tidak tahu ke mana saya akan "pulang" dalam maksud yang sesungguhnya. Saya memiliki rumah, tetapi dalamnya kosong tanpa cinta, tanpa derai tawa, tanpa penghuni. Kalaupun saya "pulang" ke rumah ini, tentu bukanlah "pulang" yang saya maksudkan. Apa sejatinya "pulang" itu?

Beberapa waktu lalu saya bisa menyempatkan diri "pulang" ke Gorontalo dan tinggal sehari semalam di rumah penuh kenangan itu. Rumah kecil yang sederhana, tapi benar-benar terawat, bersih dan tidak berbau. Hanya saja instalasi listriknya jadi sedikit berantakan akibat beberapa saklar yang sudah aus dan mengalami malfungsi. Yang pernah menempati rumah ini menambahkan beberapa helai kabel yang melintang pukang di atas ruang tamu, sehingga pemandangan menjadi tidak sedap, tidak rapi. Saya datang ke sana sibuk membenahi kembali. Sayang tidak selesai, tidak cukup waktu, disamping peralatan yang serba terbatas.

Rumah itu saya beli tahun 2010 ketika masih tugas di sana. Saya tinggal sekeluarga selama beberapa tahun saat menjalani tugas dinas di Gorontalo, sampai tahun 2014 saya meninggalkan Gorontalo untuk pindah tugas di Papua hingga sekarang. Sepeninggal saya sekeluarga, rumah itu pernah dihuni beberapa mahasiswa. Kontrak setahun saja, tidak memperpanjang lagi. Jadi sekarang nganggur tak berpenghuni. Hanya dititipkan kepada sepasang suami istri dari sebuah keluarga bahagia yang sudah seperti saudara kami di sana. Mereka tidak tinggal di rumah itu. Tetapi sesekali rumah saya dibersihkan, dirawat, diisikan pulsa listriknya, juga sering menyampaikan hal-hal tertentu kepada saya yang berkaitan dengan rumah itu. Sungguh baik hati mereka ini. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkah dan hidayah kepada mereka, Aamiin!

Selama tugas di Papua saya mengontrak rumah lagi di sebuah perumahan di Distrik Abepura. Rumah yang baru selesai dibangun oleh pemiliknya dan belum sempat ditinggali, sayalah penghuni pertama rumah itu. Walaupun upaya pemeliharaan sudah dilakukan, tetapi dengan tugas kantor yang mengharuskan saya lebih sering meninggalkan rumah, membuat rumah itu sedikit tak terawat. Istri dan anak pernah tinggal di situ, tapi sudah sebulan ini tidak tinggal disitu lagi. Istri saya saat ini sedang mengambil kuliah S3 di Jakarta, jadi anak saya dititipkan di paman dan bibinya di Solo. Kalau saya sempat "pulang" ke rumah ini, saya hanya sempat bersih-bersih lantai dan kamar mandi saja. Selebihnya mengenai perawatan tuas pintu yang telah aus, retakan cor di talang yang menyebabkan air hujan merembes ke dinding rumah, serta beberapa bagian tembok yang warnanya kusam dimakan usia, belum dapat diperbaiki. Semoga yang punya rumah bisa memahami ini.

Selain dari itu hanyalah rumah orang tua dan rumah mertua. Keduanya ada di Kota Solo. Letaknya agak berjauhan, mungkin sekitar 2 kilometer jarak satu sama lain. Masih di wilayah Kelurahan yang sama. Walaupun bukan rumah saya sendiri tapi saya sering "pulang" ke sana, terutama saat mudik Lebaran ataupun kalau ada setiap kesempatan "pulang" ke Solo.

Rumah orang tua sudah secara eksplisit diperuntukkan bagi adik saya, walaupun kedua orang tua saya masih tinggal di sana. Bapak saya berkata, "Kamu sudah lebih berhasil dan lebih mampu dibandingkan dengan adikmu. Bapak minta kamu legowo (berlapang dada) ketika rumah ini Bapak peruntukkan bagi adikmu. Sebagai gantinya, kamu Bapak kasih kebun didesa peninggalan kakekmu dulu. Kamu boleh menjualnya kapan saja kalau kamu mau." Terharu saya mendengarnya.

Ayah saya itu memiliki prinsip tidak mau menikmati sesuatu yang bukan dari hasil jerih payahnya. Sebisa mungkin semua yang dinikmati dalam hidup ini adalah hasil tetes keringatnya sendiri. Ini kan artinya mengajarkan kepada saya untuk seperti beliau? Jadi, bagaimanapun juga terima kasih mendapat jatah itu dari bapak, tapi saya tidak harus mengambilnya sekarang. Biarlah sementara ini kebun yang dimaksud masih menjadi milik bapak saja. Kalau tidak terpaksa sekali saya tidak akan meminjamnya. Biarlah saya nikmati hasil jerih payah saya sendiri selagi saya bisa. Sukur-sukur kalau saya malah yang bisa memberi cipratan rejeki buat orang tua, walaupun jumlahnya tak seberapa.

Rumah mertua Alhamdulilah sudah hampir selesai saya renovasi. Saya menyebutnya Pondok Mertua Indah. Kebetulan di rumah inilah kedua anak saya tinggal, dengan maksud biar bisa sekolah di kota Solo, kota tempat bapak dan ibunya dibesarkan. Selain itu paman dan bibinya juga guru sekolah di Solo, tinggal sebelah rumah, sehingga memudahkan proses-proses yang terkait pendidikan mereka. Semula dititipkan kepada sang nenek (mertua saya), tapi beliau baru saja wafat tgl 3 September lalu, belum ada sebulan berlalu. Sementara sang Kakek juga sudah mendahului wafat akhir tahun 2014 silam. jadi sekarang saya titip ke paman dan bibinya yang di rumah sebelah dan masih satu pekarangan itu. Istri saya yang saat ini sedang mengambil kuliah S3 di Jakarta akan sering-sering mengunjungi mereka: anak-anak lucu penyemangat hidup saya. Sementara saya sendiri hidup sebagai "pengembara terpenjara" yang sangat jarang "pulang".

Gorontalo 2012
Gorontalo 2016

Jadi sejauh ini sudah ada empat rumah tempat saya bisa "pulang". Walaupun sebagian besar bukan rumah saya sendiri. Tidak tahu ke mana saya akan "pulang" dalam maksud yang sesungguhnya. Tiba-tiba saya jadi kehilangan makna "pulang" itu sendiri. Pulang ke mana? Untuk apa? Apakah hanya untuk sekedar tidur? Saya bahkan bisa tidur di mana saja. Dulu saya juga sering tidur di lantai mesjid. Akhir-akhir ini saya justru lebih banyak tidur di hotel dan di atas pesawat. Bagaimana tidak? Dinas di sebuah kantor Regional itu sedikit berbeda, wilayahnya meliputi beberapa kantor cabang yang bisa saja terdiri dari satu provinsi atau bahkan lebih. Di Papua, kantor saya berkedudukan di Jayapura. Wilayahnya terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat. Dari Sorong sampai Merauke, dari kepulauan Raja Ampat di wilayah Sorong sampai di Sota, Merauke: perbatasan Republik Indonesia dengan Papua Nugini.

Setiap minggu saya bisa mengadakan kegiatan di Jayapura saja ataupun di wilayah-wilayah luar Jayapura seperti: Biak, Manokwari, Sorong, Wamena, dan Merauke. Saya bahkan beberapa kali ke Nabire, Bintuni dan Waisai-Kabupaten Raja Ampat. Saat ini semua wilayah itu hanya bisa ditempuh dengan pesawat terbang saja. Kadang masih harus melalui transportasi air, ada juga yang masih melanjutkan perjalanan darat selama 7 jam dengan kondisi jalanan yang benar-benar off road!

Jadi yang namanya perjalanan dinas disini minimal dilakukan selama 3 hari. Sehari untuk keberangkatan, sehari untuk kegiatan, sehari lagi untuk kepulangan. Mujur bila bisa mengatur kegiatan yang dimulai siang hari, jika mendapatkan penerbangan pagi dan siang hari sudah sampai di tempat tujuan. Besoknya bisa pulang. Jadi hanya dua hari saja perjalanan dinasnya. Biasanya untuk menghemat anggaran dan melaksanakan tata nilai efisiensi operasional organisasi, maka kegiatan sering kali dirangkai menjadi serentetan kegiatan estafet. Jadi sekali jalan bisa banyak kegiatan dilakukan. Hal ini bisa memakan waktu 2-5 hari. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Tapi ini perjalanan udara, jadi tidak merengkuh dayung!

Belum lagi kalau saya harus ikut pertemuan tingkat nasional yang diadakan oleh kantor pusat. Pertemuan bisa di mana saja di wilayah negeri ini. Bisa di Jakarta, di Batam, di Bali, di Lombok, di Yogya, di Makassar, bisa di kota-kota besar lainnya. Yang pasti belum pernah di wilayah Papua sendiri. Karena dianggap jauh, tingkat kemahalan yang tinggi, juga keterbatasan sarana yang memadai. Salah satu contohnya, ketersediaan hotel untuk menampung akomodasi para tamu saja masih sangat kurang. Jadi kami di Papua lebih sering menjadi tamu dalam kegiatan nasional yang pesertanya bersifat akbar. Kedatangan tamu paling-paling hanya kunjungan tim dari pusat, atau beberapa anggota tim dari komisi tertentu di DPR-RI yang jumlahnya paling masih dibawah 20 orang.

Baik sebagai tamu undangan maupun sebagai tuan rumah, yang pasti saya tentu sibuk. Banyak waktu yang saya habiskan di luar rumah. Lalu kapan saya akan "pulang"?

Sewaktu istri saya ikut tinggal bersama saya di rumah kontrakan yang di Jayapura itu dan anak saya yang kecil juga sekolah di dekat rumah, mereka juga sering saya tinggalkan. Kami jadi jarang ketemu. "Kapan bapak pulang, Ibu?" pertanyaan anakku itu mungkin telah menebalkan telinga ibunya karena sering saya tinggalkan.

Saya sendiri sering kebingungan saat bangun tidur. "Aku di mana nih?" Karena pemandangan di dalam hotel biasanya hampir-hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Perlu beberapa saat untuk loading bagi si Otak menyadari keberadaannya. Padahal dulunya pertanyaan bangun tidur itu lazimnya, "Ini hari apa?" atau spontan melihat jam tangan untuk mengetahui jam berapa.

Bahkan belakangan saya juga semakin sering naik pesawat terbang. Jam terbang saya begitu tinggi akhir-akhir ini. "Jam terbang" dalam arti sesungguhnya, sebagai penumpang pesawat. Hanya saja saya bukan penumpang yang terlalu loyal kepada maskapai tertentu, sehingga kartu Frequent Flyer saya belum pernah mencapai Platinum. Hanya berhenti di Gold saja. Tapi lumayan lah, bisa masuk lounge bandara secara gratis.

Dengan sendirinya sayapun terbiasa tidur di dalam pesawat terbang. Padahal dulunya saya tidak pernah bisa tidur dengan posisi duduk seperti itu. Tak jarang sayapun bermimpi, lalu terbangun dengan kebingungan, "Saya sedang terbang ke mana ini?" Butuh waktu beberapa detik untuk menyadarinya.

Ini memang pengalaman unik yang saya alami selama bertugas di Papua. Sangat berbeda dengan ketika saya bertugas di Gorontalo dulu. Wilayah kerjanya lebih sempit, serta semua bisa ditempuh dengan perjalanan darat. Perjalanan udara hanya untuk pertemuan tingkat nasional yang frekuensinya sangat sedikit. Setahun pernah hanya sekali saja. Paling yang agak sering pertemuan tingkat regional yang kedudukannya ada di Manado, Sulawesi Utara. Itupun sebenarnya bisa jalan darat. Apalagi dulu jadwal penerbangan tidak seramai sekarang.

Tapi bagaimanapun juga ya harus dinikmati. Mungkin tidak akan ada lagi kesempatan yang sama persis dengan kesempatan ini. Nanti misalnya saya sudah kembali ke Jawa untuk bertugas di sana, belum tentu bisa terbang-terbang setiap saat. Yang ada mungkin perjalanan darat yang konon memabokkan itu. Ah, tapi semoga fisik ini telah teruji. Tak ada mabok perjalanan lagi. Itu dulu. Hehehe...

Ngomong-ngomong soal pindah Jawa, boleh dong saya berharap? Sudah dua tahun lebih loh saya tugas di Papua. Ini kan tempat belajar, tumbuh berkembang sekaligus transit of knowledge and skills menuju jenjang karir yang lebih mumpuni. Dua tahun cukup, lah. Tuhan, tolong kembalikan saya ke Jawa, biar bisa memaknai "pulang" yang sesungguhnya. Kalau disini kelamaan bisa-bisa kemampuan malah turun. Organ tubuh, terutama otak mengalami functio laesa karena tidak terlatih oleh hal-hal yang lebih bervariasi.

Kedua orang tua saya juga semakin manula disana. Butuh perhatian, butuh kedekatan dari anaknya yang telah lama berkelana ini. Kedua anak saya juga di sana. Semakin banyak alasan saya untuk "pulang" ke Jawa sekarang. Semoga dalam waktu dekat, ya Tuhan? Aamiin!

0 komentar: