71

Aku kembali bertemu dengan pagi yang bening ketika jam dinding menggeliat sambil bermalas-malasan. Kuraih ponsel untuk menyimak serangkaian notifikasi yang menyerbu di sisa sore kemarin. Tak ada yang istimewa. Karena seperti biasa, minggu ini akan padat sebagaimana minggu-minggu sebelumnya. Yang perlu dipersiapkan hanyalah fisik. Maka akupun segera mempersiapkan sebutir telur rebus dan secangkir teh hangat manis untuk bekal tubuh menghadapi aktivitas pagi sampai setengah hari nanti. Berharap cukup sampai siang nanti, saat waktunya mengisi perut tiba.

Aku berjalan diantara puing-puing yang tak kukenali kembali. Rasanya tantangan begitu besar untuk terus mengikis rasa sabar. Harus pandai mengukur diri terhadap ke mana arah angin bertiup. Harus tahu kapan mesti mengalir seperti arus, kapan harus bertahan seperti ikan yang berenang melawan derasnya aliran. Akhirnya akupun harus memaknai puisi karya Darwin itu, untuk bertahan dikala adaptasi harus terus dilakukan di tengah derasnya perubahan.

Lalu terdengar pula nyanyian Einstein, manakala berharap hasil yang berbeda dengan cara yang sama hanya dilakukan oleh orang gila. Lagu lama yang benar-benar populer kembali akhir-akhir ini. Ah, persetan sajalah. Ada banyak ragam kegilaan yang tidak harus demikian. Ada sisi kegilaan di setiap diri manusia, yang kadang keluar tanpa disadarinya, kadang juga disengaja. Bahkan untuk sebuah mahakarya sering dibutuhkan kegilaan yang disempurnakan. It’s a perfect insanity!

Untuk itu wahai saudaraku, janganlah lantas kamu menghakimi aku dengan senyum kecutmu. Karena kamu tidak pernah berlenggang dengan sepatuku.

Tiba-tiba....
“Cling....!”

Tersadar, aku telah lama bengong. Duduk di dalam pesawat, menerawang pandangan hampa ke luar jendela. Menatap mega-mega yang menyerupai kuda-kuda pony yang beterbangan. Antara imajinasi dan halusinasi, entah yang mana. Deru mesin pesawat beradu dengan suara angin yang menggelora, redup oleh sistem peredam suara di dalam kabin, nyaris tak terdengar. Angan-anganpun berlari ....

Ini sudah yang kesekian kalinya begitu. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku beterbangan ke sana ke mari seperti Superman. Makan, tidur, kencing di udara. Disamping itu, aku juga sering mengalami kebingungan sesaat. Manakala terbangun di pagi hari dalam kondisi lupa, tak tahu aku di mana. Sebab aku seringkali terbangun di atas sofa, di atas ranjang hotel, di atas karpet mushola, di kursi pesawat, dalam pelukan sang Cinta, bahkan di tempat sampah!

Rasa-rasanya aku memang benar-benar sudah merdeka, sekarang. “Rasa-rasanya”, karena kemerdekaan itu memang soal rasa. Karena hanya perasaanlah yang sanggup memproklamirkan kemerdekaan itu di dalam hati kita masing-masing. Walaupun itu tidak selalu mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Kalau pikiran sudah mengatakan “harus bisa”, maka untuk apa perasaan tidak sanggup mengalah? Untuk apa? Untuk ego yang tinggi? Untuk harga diri? Untuk terus memenjara diri dalam tahanan semu? Untuk terus terikat dalam rantai kaki gajah hanya ada dalam angan-angan kita sendiri? Lalu bagaimana bisa Kerja Nyata kalau seperti itu?

Lalu mengapa tidak dari dulu? Kemerdekaan sejak 71 tahun yang lalu kok hanya begini begitu saja? Memang susah kalau bangsa ini tidak tahu bagaimana caranya merdeka. Sudah saatnya kejar tayang sinetron seri sampai 71 episode. Walaupun baru hanya 70 kali penetrasi pasar, tapi setidaknya kejar tayang telah dilakukan. Keberhasilan tidak hanya diukur dari kegagalan yang “satu” itu, dengan mengabaikan 70 tayangan yang indah. Tunjukkan kemerdekaanmu wahai negriku!

Eh, kamu sudah merdeka belum sih?

0 komentar: