Dimanakah pangeran pembawa sekuntum cinta itu? Tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin kini dia tengah berdansa bersama bidadari-bidadari yang lain.

Batu hitam, dingin dan diam. Walau bayang-bayang hendak menyeruak sekalipun, tak ada tanda-tanda bergeming. Bukankah aku telah menasihatimu lebih dari seribu satu kali? Oke, sekarang aku menyerah. Aku mengaku tak lagi punya kompetensi untuk memberimu khotbah agama ataupun dongeng malam menjelang tidur. Barangkali lebih mirip raungan serigala atau lolongan anjing yang hanya bisa menyayat telingamu hingga bercucuran darah.

Sampai saat ini aku masih juga tidak habis mengerti, mengapa masih juga kausimpan ketololan itu sedemikian lama. Aku sudah sangat bosan mendengar kegalauan yang kaunyanyikan, juga melalui puisi, tarian, dan bisikan-bisikan yang terus menggerogoti hati. Menusuk kalbu. Bahkan anginpun tak mampu menghalau awan yang menggelapi langit biru.

Tidakkah terpikir untuk berhenti menggerutu, menggenggam tangan dan menyematkan senyum. Berlinangan tangis telah menyudutkanmu dalam sebuah bilik, gelap, sepi, terisolir jauh dari kegaduhan dunia. Tidakkah terlihat olehmu bunga-bunga mawar yang bermekaran yang selalu bercerita tentang "duri" hari esok. 

Kalaupun sekarang kaupilih sendiri jalanmu dengan menapaki kegelapan, di bawah cucuran hujan lebat yang terus menghunjam punggungmu dengan cambukan demi cambukan, itu bukan skenario dalam pelajaran kita terdahulu. Aku juga tidak punya semacam jaminan untuk memberikanmu sekedar kesejahteraan, apalagi kebahagiaan.

Maka kembalilah kepada ketololanmu itu. Kembalilah kepada kerasnya hatimu dengan pintu-pintu yang telah rapat kaututupkan. Sehingga cahaya mataharipun tak mampu menembus ke dalam kesenyapan yang kauciptakan. Lalu dengan bangganya engkau terlena, ketika sang Pangeran datang membawa sekuntum cinta. Merayumu, menciumimu, lalu membawamu terbang tinggi ke pelosok-pelosok surga yang terlarang.

Sejujurnya, akupun suka terlena dan berharap bisa selalu bersetubuh dengan setiap kenyataan yang kukagumi. Tapi tidak seperti ini.

Perempuan pualam yang selalu jadi perhiasan itu kini tergolek merana. Kisah cintanya sebentar lagi mungkin berakhir, atau mungkin akan berlanjut di alam lain. Tak ada yang bisa dilakukannya, membisu, entah apakah di dalam batinnya masih mengingat seribu satu nasihat basi dariku. Mukanya pucat, badannya lemah terkulai di sudut ruangan ICU. Panas badannya naik-turun, bekas noda cintanya kini berupa seonggok jaringan yang membusuk bersama rahimnya, infeksi berat. 

Disebutnya pengorbanan cinta, yang dia coba menghentikannya. Persemaian buah cinta berupa penggandaan sel-sel yang sekarang menjadi segumpal jaringan. Pembunuhan!

Tak lama kemudian telepon genggam pun berbisik. Pesan teks masuk, "Innalillaahi wa inna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia, saudari kami tercinta...." 

0 komentar: