Haus masih melanda, terus menerus. Hanya embun pagi dan air mata yang dijadikan tumpuan untuk dapat diteguk. Walau jelas-jelas tidak ada harapan dapat melegakan dahaga dengan cara seperti itu. Tapi karena terbiasa, akhirnya menjadi kebutuhan untuk melepas dahaga walau kenikmatannya tidak seberapa. Akhirnya lupa bagaimana seharusnya menghilangkan rasa haus yang sesungguhnya. Tidak dikenali lagi air jernih, melainkan kenikmatan sesaat yang terus dinikmati, walau penuh kepalsuan.

Kegelisahan melanda, seperti sunyi yang selalu mengajak perasaan untuk senantiasa resah. Cinta yang diharapkan selalu menjadi penghibur, pengisi hati, pikiran dan jiwa, seakan sudah tidak ada lagi. Mimpi itupun perlahan sirna. Harapan semakin jauh, tak tergapai. Hingga suatu ketika sampailah pada masa dimana keberanian untuk mengutarakan keinginan bersama mencapai tujuan itu sudah tidak ada lagi.

Kebersaman kian terasa semakin abstrak. Sepi selalu menyelimuti. Segala problema dihadapi sendiri-sendiri tanpa adanya sinkronisasi. Hanya tuntutan kewajiban yang terus menerus diminta. Walau kecukupan masih memadai namun jelas terjadi kesenjangan prioritas masing-masing pribadi. Tidak terlihat kejelasan masa depan yang menyatu. Kebersamaanpun makin pudar, luntur, antara ada dan tiada.

Maunya semua dibiarkan mengalir begitu saja. Tetapi ganjalan-ganjalan itu membuat friksi yang semakin mengiris hati. Menjaga dan mengatur perasaan serta pikiran agar senantiasa positif merupakan hal yang tidak selalu mudah dilakukan. Ibarat menaklukkan diri sendiri dan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, tidak semua orang mampu melakukannya dengan sempurna.

Memang sebaiknya hidup dilakukan dengan berdampingan sambil berbagi segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi bukan berarti membiarkan kebutuhan tidak terpenuhi dan menggantinya dengan hiburan semu yang memiliki sifat kesementaraan belaka. Kebutuhan batin biasanya terlupakan lantaran sibuk memenuhi kebutuhan lahirian yang semakin berlimpah. Mengalirlah ide-ide untuk sekedar menghibur diri dan mencari tempat untuk melabuhkan hati serta pikiran di saat dilanda resah.

Dunia ini masih panggung sandiwara juga. Dari dulu. Kalau dunia nyata pun sudah penuh dengan kesemuan, maka dunia maya tentunya menjadi makin penuh kepalsuan. Kemungkinan itu menjadi terbuka lebar apalagi ketika dunia ini menjadi terasa lebih dekat dan mudah untuk diraih. Tidak ada bedanya dengan dunia kasat mata, dimana makhluk tak terlihat itu bisa seenaknya menjelma menjadi sosok yang diinginkannya, sesuai suasana hati. Tempat pelarian itu semakin tersedia. Demikian juga tempat penghilang rasa sepi. Tidak sedikit yang kemudian terlena dan larut dalam “dunia maya” dan tidak lagi bisa membedakannya dengan kenyataan. Ilusi dan fatamorgana yang terlihat bagai mimpi indahpun membuai banyak harapan.

Kesemuan dan kepalsuan. Begitulah akhirnya isi dunia ini. Pergantian dan perubahan masih mengisi dinamika hidup, namun begitu monoton. Datang dan pergi, menghampiri dan dihampiri, meninggalkan dan ditinggalkan, gaduh dan sepi lagi, namun tidak sekalipun ada suatu kesan yang berarti. Segala sesuatu laksana kenikmatan sesaat yang pada akhirnya hanya membuat kesunyian kian membelenggu saja.

Akhirnya makna diripun semakin terasa hilang perlahan demi perlahan. Pikiran dan perasaan saling ditipu dan menipu, tak lepas pula dari rasa ketakutan dan bersalah, baik diakui maupun diingkari, disadari ataupun tak disadari. Yang kemudian tertinggal hanyalah sepi. Bibir kering menggigit jari dan terus merasakan dahaga tiada henti.

Kepahitan cinta bisanya meninggalkan bekas, seperti luka lama yang pernah ditorehkan. Memori tentang kepahitan cinta tidak pernah mau menerima kembali alasan-alasan mengapa cinta datang begitu cepat. Apalagi cinta itu tidak pernah diharapkan. Tak ada lagi kepercayaan dan keyakinan. Analisa dan logika terus saja bertanya dan menginginkan kebenaran, namun hanyalah semata-mata pembenaran yang dirasionalisasikan.

Telah terlupakan bagaimana sesungguhnya cinta itu harus dipelihara, dirawat dan dijaga. Masing-masing hanya bersikukuh, teguh pada pendiriannya dan ego yang terus menerus ditinggikan. Cinta hanya tinggal kata-kata. Mengaku cinta tapi tetap saja memandang diri paling utama. Merasa telah nyaman dengan pengakuan-pengakuan dan kredibilitas egonya, maka kesombongan tak lagi disadari, prioritas tetap prioritas walau tak pernah menilai kualitas, lantaran takut menghadapi kenyataan pahit yang pernah terjadi. Menutup mata dan terus bermimpi tentang diri sendiri ditengah kebersamaan yang sebenarnya telah dilupakan.

Kalau hati mulai merasa terancam sedikit saja, kadang nama Tuhanpun disebut, atas nama kekecewaan, atas jiwa yang tersiksa, terzholimi, seolah hanya dia yang paling dekat dengan Tuhannya. Tanpa menyadari bahwa hatinya selama ini telah ditutup rapat oleh Dzat yang Maha Tinggi itu, lantaran ketinggian hati itu sudah sedemikian lewat dari batas.

Rasa bersalah sudah hilang, bahkan melakukan kesalahan sudah menjadi kebiasaan yang dibenarkan. Ingin selalu dimaklumi dan dimaklumi. Keakuan itu sangatlah besar bila selalu ada yang harus dibuktikan dan rendahnya rasa percaya diri serta keyakinan. Keraguan memupuskan segalanya.

Semua selalu ada masa dan waktunya, kesabaran, keteguhan hati, dan usaha akan mewujudkan semua mimpi pada masa dan waktunya. Apa yang nyata belum tentu benar nyata dan apa yang tak nampak belum tentu pasti tidak ada.

1 komentar:

Unknown mengatakan...


I every time spent my half an hour to read this web site's articles or reviews every day along with a mug of coffee. yahoo mail sign in