Pernah ngliat UFO nggak?
Kalau alien?
Belum pernah ya? Kalau di film pernah donk?
Belum pernah juga? Parah banget sih lu?
Wkwkwkwk.....

Kalau kamu misalnya suatu ketika ketemu alien, bagaimana perasaanmu? Takut? Kaget?
Atau jangan-jangan kamu malah bernafsu? Jiaah.... tergantung aliennya ya? Cantik apa enggak. Mana ada alien cantik? Alien ya pasti aneh, beda sama kita-kita ini. Tapi ya terserah kamu lah. Cantik itu kan relatif.

Terus kalau kamu tiba-tiba yang menjadi alien gimana? Misalnya kamu tersesat di sebuah planet dengan penghuni yang serba aneh. Kamu paling beda. Aliennya kamu apa mereka? Kamu donk?

Begitulah yang saya rasakan sewaktu hendak mendarat di Papua, Sabtu (07/06/2014) lalu. Bayangkan, saya akan menjadi alien, siap dilihat orang banyak, diperhatikan gerak-gerikku dan diwaspadai. Salah sedikit bisa kesrempet tombak atau anak panah, wah!

Tapi nggak begitu serem juga sih. Setelah beberapa kali browsing alias ngintip-ngintip dikit, ternyata nggak sengeri itu suasananya. Mungkin lebih horor kisah tetangga di areal perumahan saya yang lagi berantem masalah buang sampah beberapa waktu lalu. Santai Bro!

Waktu mengudara terasa begitu lama. Biasanya terbang dari Makassar ke Jakarta dalam waktu 2 jam 10 menit itu sudah terasa lama sekali. Ini sedikit lebih lama, 2 jam 40 menit dari Makassar ke Timika, lanjut 1 jam dari Timika ke Jayapura. Terbang dalam waktu selama itu biasanya membuat badan terasa tidak nyaman. Kesemutan, pegal-pegal, capek, nyeri pinggang, kaku leher, sakit kepala, pokoknya sindrom akibat peredaran darah tidak lancar lantaran kurang bergerak.

Belum lagi suhu udara ber-AC dalam pesawat yang memang dingin banget, melengkapi penderitaan waktu itu. Ini juga akibat kelamaan terbang, kontras kalau dibandingkan waktu terbang dari Solo ke Jakarta dimana AC seolah tidak menyala, gerah luar biasa.

Padahal niat hati mau menikmati penerbangan, melihat-lihat pemandangan alam di atas pulau Papua yang eksotik, eh ... malah lain ceritanya. Melihat ke luar jendela gelap gulita. Gimana nggak gelap, terbang jam dua malam! Giliran sampai di Papua, secercah fajar seperti menyongsong, hingga akhirnya keremangan pagi itu mulai tersibak. Pegunungan yang sangat tidak rata permukaannya, terjal dan berbatu. Warnanya gelap, hitam legam seperti bongkahan batubara raksasa. Entah karena belum terpapar matahari atau memang gelap begitu, tidak tahu deh.

Tapi kalau aku perhatikan dari para penumpang pesawat yang menuju Papua ini kok jarang yang berciri khas hitam manis gitu, ya? kebanyakan mereaka semua biasa-biasa saja kayak orang-orang Sulawesi atau Jawa. Bahkan ada orang bule juga sempat aku lihat. Ah, barangkali Papua sekarang sudah dipenuhi banyak pendatang.

Singkat kisahnya, sayapun mendarat di Sentani tepat jam 08.00 WIT. Bandara Sentani sedikit lebih gede dari bandara Jalaludin Gorontalo. Setidaknya ada tiga garbarata yang siap menerima kedatangan penumpang. Sambil menelusuri garbarata itu saya mulai mikir. Siapa orang kantor yang mau menjemputku. Hari Sabtu tidak ada yang mengenakan seragam kantor yang bisa dikenali. Ah, yang penting nomor telepon pak Hardi sudah di tangan.

Seperti biasa, pintu keluar juga dijejali para penjemput dan para sopir taksi yang menawarkan tumpangan. Yang berbeda hanyalah tampang mereka. Lagi-lagi saya merasa jadi alien disitu. Sayapun nekad menerobos keluar dan mendapati sebuah pusat ATM di depan bandara. Karena tengak-tengok tidak ada yang aku kenal, akhirnya bergegas menelepon pak Hardy.

"Saya di depan ATM, Pak!"

Seorang pria paruh baya dengan wajah yang sepertinya pernah kukenal mengangkat telepon di telinganya dan menuju ke arah saya. Lalu dia menunjuk saya dan bertanya, "Mas Hendro?" Suara itu juga terdengar dari dalam telepon genggam saya. Berarti benar ini yang namanya pak Hardy. Kamipun mulai berbincang sambil jalan. Usut punya usut, ternyata beliau pernah satu regional sama saya. Waktu itu beliau menjabat kepala bidang keuangan di Manado pada saat saya masih pelaksana di Ternate.

Alhamdulillaah, nyampai!

0 komentar: