Mendung masih berseklibut di kepala, tatkala pagi sudah berlari dan berkoar-koar tentang ukiran sejarah hari ini. Kemudian perlahan goresan-goresan itu dimulai dan tak begitu lama di pohon-pohon telah tertulis cerita-cerita dan pesan-pesan baru. Juga di dinding-dinding batu.

Kopi pagi pun menemani sejenak, mencoba untuk menyeimbangkan semuanya. Tapi tetap saja, seperti belenggu yang harus dipaksa di seret-seret oleh setiap langkah.

Sang Jiwa akhirnya tertunduk. Dalam relung terdalamnya dia sudah tak mau lagi berseklibut diri dalam khayalan yang selalu membawanya terpuruk. Ditepiskannya semua kisah-kisah fana sebagaimana dia telah menepiskan diri sejauh ini.

Sandaran hati yang dia rengkuh dalam setiap pelukan, setiap helaan nafas, setiap denyut yang menggema di dalam rongga telinga, semua dia tinggalkan dalam sela-sela ruang maya di bawah sana.

Namun kini rindu itu menggelayutinya. Setiap langkah dan angan-angan selalu dibawanya ke lorong-lorong lapang, yang selalu ingin ditempuhi walau tidak ada tujuan pasti. Rindu suasana yang hening, segar, penuh aroma daun-daun padi dengan sepoi-sepoi angin menggoyang ranting-ranting pepohonan.

“Aagh! Ini apa?” tanyaku kepada sang Jiwa. Mengapa harus ada belenggu-belenggu tak kasat mata yang selalu menjadi penyerta. Tak adakah udara kebebasan yang ketika dihela, seluruh kesegaran terhirup, menyusup dan mengheningkan seluruh pembuluh nadi, gejolak jiwa dan ombak-ombak yang bergemuruh dari hari ke hari?

0 komentar: