Kalau lagi di penghujung tahun begini rasanya segala sesuatu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah sedemikian banyak yang telah kita lewati. Anak-anak kita semakin besar dan kitapun semakin tuwir. Rasanya belum puas menikmati masa muda, tapi apadaya. Malang tak bisa diraih, mujur tak dapat ditolak. Segala sikap dan perbuatan kita juga harus menyesuaikan dengan usia. 

Dulu sewaktu muda suka berbuat seenak pantatnya sendiri, sekarang harus lebih santun dan bijaksana. Dulu hobinya teriak-teriak di kamar mandi nyanyiin lagunya Metallica, sekarang lebih sering mengalunkan syairnya Ebiet G Ade. Jadi ilmunya mengikuti ilmu padi: makin matang makin merunduk. 

Walaupun adakalanya hati suka berontak, tidak menyadari kalau usia semakin senja. Alasannya, biar tua tetap berjiwa muda. Ikut-ikutan gaul, bahkan ikutan 4L@1. Jadi ilmunya ilmu keladi: tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.

Jadinya resultan sekarang ya begini ini. Pingin jadi manusia baik yang kadang masih terbawa juga sifat-sifat aslinya. Kaki kanan sudah menginjak surga, kaki kiri masih di neraka. Kadang bahkan bisa menasihati orang sebagaimana para ustad menasihati anak didiknya, tapi di lain waktu masih suka mengucap sumpah serapah dan menghujat orang. Ini sih namanya bukan ustad. Namanya mubalek, mubal-ubal samubarang elek (menyebarkan segala keburukan). Tentunya melalui blog yang seksi ini. Ya mohon dipahaminya juga secara dewasa sajalah. Jangan tiba-tiba saya dituduh menyiarkan ajaran sesat. Jadi penyembah jamban semua! Huwaaa....

Apapun pilihan kita, mau menjalani kehidupan yang seperti apa, itu terserah kita masing-masing. Kita boleh berbuat sekehendak hati, apapun itu, yang jelas semua pasti akan ada balasannya. Semua pasti ada tanggung jawab yang dituntut. Itupun kalau kita percaya bahwa Tuhan Maha Adil. 

Keadilan itu ada di mana-mana. Setidaknya bagi orang eksak seperti saya, pernah memahami teori keseimbangan alam. Baik itu berlaku di dalam thermodinamika, kekekalan energi, maupun seleksi alam. Semua ilmu itu ternyata berkaitan, atau setidaknya memiliki pola yang sama dalam menunjukkan kecenderungan untuk seimbang. Bahkan dalam ilmu ekonomipun kita mengenal neraca, hukum supply and demand, semua mengacu pada keseimbangan.

Itu semua memberikan gambaran bahwa kalau kita menciptakan ketidakseimbangan dalam hidup ini, maka keseimbangan akan segera terjadi. Bisa jadi keseimbangan itu akan tercipta dengan cara yang sangat menyakitkan. Maka dikala itu, jangan pernah menyalahkan siapapun. Boleh dikata, apapun yang terjadi dalam hidupmu, adalah hasil dari perbuatanmu sendiri.

Hiks! Uhuk... Uhuk... Huuu.... Huwaaaa....

Jangan nangis dulu....
Masih banyak waktu, masih banyak kesempatan. Kesempatan itu selalu ada. Jadi jangan bilang kalau kesempatan itu hanya datang sekali saja. Dalam beberapa hal mungkin benar, tapi tidak dalam hal membenahi diri.

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Jadi kita itu memang cenderung merugi dalam hidup ini. Sesat, menderita, nyesek, lari dari kenyataan, pengen ngamuk, bunuh orang, dan sebagainya. Itulah kodratnya kita. Seiring jalannya waktu, penderitaan itu makin kronis. Kita makin terbiasa dengan pola-pola kehinaan seperti itu. Alhasil, kita ini bagaikan manusia setengah iblis!

Kecuali orang-orang yang beriman
Beriman bagaimana? Nggak tau, ah! Gelap! Cuman tahu, atau pernah denger, istilah Rukun Iman doank. Rukun iman itu katanya ada enam: Percaya kepada Tuhan, Malaikat, Kitab Suci, para Rasul, Hari Kiamat dan Takdir. Jadi kalau masih belum bisa meyakini salah satu saja, misalnya nggak percaya kalau hari kiamat itu ada, belum bisa dikatakan beriman. Ya harus percaya semua dulu, mulai dari mengimankan batin kita dulu lah. 

Setelah mampu meyakini semua secara batin, barulah kita mengimankan  diri secara lahiriah. Kalau baru percaya, itu baru rohani kita yang beriman. Lalu mengimankan jasmaninya bagaimana? 

Susah! Susah banget itu! Misalnya saja kita percaya bahwa Tuhan itu ada, tapi mampukah kita selalu menjaga semua sikap, lisan dan perilaku kita sedemikian rupa bahwa seolah-olah Tuhan mengamati semuanya? Buktinya, masih ada yang mabok, masih banyak kasus korupsi, masih ada perempuan jalang, masih ada yang main tipu, ... . Terbukti susah kan? Bahkan ironisnya, kita justru sering menganggap bahwa Tuhan itu tidak lebih dari seorang pembantu!

Itu baru soal Tuhan. Padahal kalau kita mengimani Malaikat, maka sebenarnya yang mengamati seluruh tindak tanduk kita bukan hanya Tuhan. Terlebih Malaikat yang bertugas mencatat setiap titik (zarah) nilai perbuatan baik dan ada juga yang mencatat amal keburukan kita. Nah, loh!

Maka tidak sadarkah bahwa kita sesungguhnya malah mengimani Jin dan Setan? Kita lebih takut pada penampakan-penampakan di larut senja. Bahkan setiap perbuatan kita malah mengacu pada bisikan-bisikan keji para makhluk terkutuk itu? Naudubilahi mindalik! Sadar nggak, Lu?!

Kalau perbuatan kita sudah beriman, tentunya kita tidak akan lupa rukun yang lain. Syahadatnya, sholatnya, puasanya, zakatnya, lalu kalau sudah mampu ya naik haji. Itu semua setidaknya untuk kepentingan kita sendiri dulu. Kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan terlebih dulu. Seperti yang diajarkan para Rasul, gitu lah! Beriman kepada Rasul juga kan?

dan beramal sholeh.
Nah, tentu ini lebih susah lagi. Jadi kalau sudah beriman secara lahir batin, trus beramal sholeh pula?

Keimanan kita itu bisa berubah menjadi amal sholeh kalau sudah mampu berimplikasi secara sosial. Jadi yang tadi itu, yang sahadat, sholat, puasa dan bla, bla, bla, itu harus bisa berdampak bagi masyarakat di sekitar kita. Itulah baru namanya amal sholeh. 

Bagaimana sholat kita bisa jadi amal sholeh? Bagaimana sholat itu harus bisa berguna bagi orang-orang di sekitar kita? Ya jangan hanya sholat-sholat tapi masih menyimpan dendam, iri dan dengki sama tetangga sebelah, misalnya. Hidup di tengah-tengah masyarakat itu sudah seyogyanya bisa memberikan jaminan bahwa mereka akan aman dengan keberadaan kita. Bukan malah sebaliknya, orang malah merasa terganggu, was-was, khawatir dengan kehadiran kita. Katakan, "C'mon guys! You'll be allright with me here." Nah kalau sebaliknya, bagaimana? Kita dianggap duri dalam daging, musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Pendeknya, sampah masyarakat. Nggak mau kan jadi orang seperti itu?

Bagaimana dengan ibadah haji? Katanya Indonesia kita ini terkenal sebagai negara terbesar dalam jumlah jamaah haji tiap tahunnya. Belum lagi umrohnya. Kalau nggak dibatasi kuota, mungkin kota Mekah bisa 'meledak' oleh kunjungan massal dari orang Indonesia.

Lalu apa yang didapat oleh negeri ini dengan para jamaah haji kita yang beramal sholeh? Bukankah mereka hanya bikin repot saja selama ini? Belum lagi kalau sudah selesai haji hanya sekedar dipakai sebagai gelar saja. Buat gaya, atau buat wah-wahan saja? Apa ekses dari sekian juta pak Haji dan bu Hajjah yang sudah berhasil mabrur dengan hajinya, bagi bangsa Indonesia? Halo? Pak haji? Bu haji?

Mestinya semakin banyak para haji di negri ini banyak juga orang yang bisa dijadikan panutan. Mestinya banyak orang yang bisa dijadikan rujukan dalam bersikap, bertutur kata dan berperilaku. Mestinya nggak ada lagi berita-berita tentang pelanggaran hukum di televisi, terlebih pelakunya yang justru orang-orang berilmu. Nggak tahu juga apakah memang masyarakatnya yang kebangetan atau hajinya yang melempem?

Nasihat menasihati dalam kebenaran dan nasihat menasihati dalam kesabaran. Katakan yang benar meskipun pahit. Jadilah orang jujur. Yang fair, gitu loh! 
Jujurlah padaku, bila kau tak lagi cinta...
Tinggalkankah aku, bila tak mungkin bersama...
jauhi diriku lupakanlah aku oh..oh..oh ...
Auwoooo uwoooohh....
(lagunya Tarzan si Radja hutan, judulnya: Jujur Kacang Ijo)
Kesabaran itu sebenarnya tidak ada batasnya. Kalau ada batasnya, namanya ya tidak sabar. Tapi karena emosi sudah meledak, biasanya kita suka lupa dalam bersabar. Untuk itu harus ada yang menasihati. Seperti syair lagunya Guns N' Roses: "All we need is just a little patience!"

Okeh deh... Sekian dulu. Mari menyambut tahun baru! Sampai ketemu tahun depan yach?
Mmmmmmmmuach!

0 komentar: