Merica Masam?
Loh?... Merica 'kan pedas? Bagaimana mungkin merica -atau yang disebut juga lada- berasa masam? Memangnya ada spesies baru? Atau suatu produk rekayasa genetik?

Ini hanya sebuah istilah untuk menggambarkan suatu keadaan. Dalam kesusasteraan Jawa atau Kawruh Basa, banyak dipelajari beberapa cara mengungkapkan suatu kalimat secara tidak langsung. Memang sih kesannya berbelit-belit. Tidak langsung mengarah ke satu tujuan tertentu atau to the point. Tapi begitulah yang namanya sastra. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa memang seperti itu.

Sebagaimana karya puisi, pantun dan sebagainya, pasti sarat akan pengayaan istilah. Tapi penggunaannya tetap memenuhi kaidah tata bahasa yang sudah ada.

Dalam bahasa Jawa, merica masam disebut sebagai mrica kecut. Yang dimaksud adalah buah yang bernama wuni. Buah dari tumbuhan liar di kebun berbentuk bulat kecil-kecil layaknya merica, tapi memiliki cita rasa yang masam.

Istilah ini terbentuknya sama dengan istilah-istilah seperti: klapa mudha (kelapa muda) atau degan, balung pakel (tulang [biji] mangga) yaitu pelok, kimpul wulung (talas berdaun ungu) sarilaya, witing klapa (batang pohon kelapa) yaitu glugu, balung janur (tulang daun kelapa) yaitu sada (lidi), dan masih banyak lagi.

Penggunaannya seperti pantun, tapi frase pendahulunya merupakan plesetan dari frase berikutnya. Misalnya begini:
"Wong kok saben dina ngimpul wulung, ngajak sulaya ra uwis-uwis."
Artinya: Orang kok setiap hari mengajak berantem terus, tidak ada habisnya. Nah, disini ngimpul wulung merupakan plesetan dari sulaya, karena kimpul wulung artinya sarilaya.


Contoh lain dalam bentuk pantun:
"Klapa mudha enake kanggo rujakan.
Leganana aku kang nandang kasmaran."

Disini kelapa muda yang sering disebut degan, plesetan dari legan yang mengawali baris kedua.

Agak rumit memang, tapi kalau dipahami ini cukup menarik, indah bagi penikmat sastra. Hal ini cukup menunjukkan bahwa karya sastra tersebut tidak dibuat secara asal-asalan. Terkesan pengarangnya cukup pintar juga. Masih ingat lagu karangan Manthou's yang dinyanyikan oleh Evie Tamala yang berjudul Kangen? Lagu berbahasa Jawa itu sarat dengan tata tulis jenis ini. Sayangnya aku lupa apa istilah untuk ini.

Kembali ke mrica kecut atau wuni. Penggunaannya begini:
"Wis ben mrica kecut sauni-unine."
Cukup jelas wuni dengan sauni-unine.
Artinya: Biar saja mau bicara apa terserah.

Sesuai dengan blog ini, ini juga blog mrica kecut. Bicaranya kemana-mana. Terserah apa saja yang dibicarakan. Nggak jelas kemana arahnya. Beberapa teman yang berkunjung ke blog ini sering bertanya, kenapa nama blog ini Sexy Goodliving. Menurutku sih biar menarik aja. Bikin penasaran juga. Pada saat membuat blog ini dulu kebetulan aku lagi tertarik dengan kata "sexy". Kata ini bermakna luar biasa saat itu. Lebih jauh lagi sebenarnya aku ingin memposting segala sesuatu yang serba seksi. Seksi menurut persepsiku sendiri tentunya.

Memang sih konotasi kata ini agak rentan dengan hal-hal yang berbau seks atau cenderung porno. Terus terang aku ingin membahas seks waktu itu. Hanya sayangnya masih terbentur pengalaman dan pengetahuan yang dangkal tentang hal yang satu ini. Sebenarnya bicara seks nggak melulu porno. Tapi kadang memang sulit menemukan batas keduanya.

Keengganan menulis perihal inilah yang menyebabkan blog ini akhirnya kehilangan fokusnya. Yang terjadi malah pembicaraan terlalu luas.kemana-mana. Lebih lagi ada kategori "ngayawara" yang semakin memperluas lagi bahasan dan terkesan tidak fokus pada masalah tertentu.

Aku terus terang iri melihat blog-blog di kiri-kanan. Mereka kelihatan fokus, konsisten, dan menarik. Bahkan beberapa diantaranya juga bicara seks, seperti yang kumaksud.

Aku juga sering melakukan blogwalking dan menemukan beberapa hal yang menarik. Beberapa diantaranya membuat saya tidak tahan untuk meng-copas (copy-paste) hal-hal menarik untuk diposting disini. Nah, sekalian saja ngomongin sembarang. Ya itu tadi: merica kecut, sauni-unine.

0 komentar: