Pada hari ini dunia sedang menghadapi fenomena disrupsi (disruption), yaitu suatu situasi pergerakan dunia industri atau persaingan kerja yang tidak lagi linier. Perubahan yang terjadi sangat cepat, fundamental dengan “mengacak-acak” pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.

Disrupsi ditandai dengan lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif. Menurut Clayton M Christensen perubahan mendasar ini sifatnya juga destruktif, menggantikan seluruh cara kerja yang lama dengan yang baru. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, dunia pendidikan dan juga kesehatan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Teori Darwin yang menyatakan bahwa makhluk hidup yang dapat beradaptasi terhadap perubahan alam akan tetap lestari, sedangkan yang tidak mampu akan punah, ini akan berlaku juga dalam dunia manusia modern sekarang ini.

Banyak yang menganggap disrupsi hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang marak belakangan ini, atau lebih spesifiknya lagi selalu soal taksi online. Memang fenomena ini menjadi contoh mudah dalam menjelaskan terjadinya disrupsi. Kita bisa melihat femomena ini secara nyata dan pernah terjadi demo besar-besaran dari para sopir taksi yang mewakili perusahaan taksi yang menolak kehadiran taksi online. Bahkan di beberapa daerah dan beberapa tempat seperti di bandara, terdapat larangan beroperasinya taksi online di area tersebut.

Contoh mudah lainnya adalah tenggelamnya raksasa besar di bidang telepon seluler Nokia, yang tergeser oleh kompetitor lain seperti Samsung. Sebelum itu kita mungkin sudah hampir lupa bahwa dulu pernah ada teknologi radio panggil bernama Pager yang hilang karena hadirnya teknologi SMS (Short Messaging Service) di ponsel. Disamping itu juga kita sekarang tidak menyadari sudah tidak ada lagi wartel dan warnet yang dulu pernah menjamur di mana-mana.

Tetapi kita harus juga memahami bahwa disrupsi bukan hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam bidang bisnis tampak lebih fenomenal lagi. Disrupsi sejatinya telah mengubah segalanya, bukan hanya cara berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri.

Banyak cara-cara bisnis lama menjadi usang atau ketinggalan zaman. Persis seperti sebagian besar bangunan pabrik es yang kini telah berubah menjadi "rumah hantu", atau mesin faksimili yang sekarang hanya teronggok di sudut ruangan, berdebu menunggu kiriman surat yang tak kunjung tiba.

Disrupsi juga bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke masa saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradaban baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break).

Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap". Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Hal ini akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman. Pikiran seperti itu amat kental dengan logika masa lalu. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita.

Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, re-learn. Sebab dunia itu terus berubah. Disrupsi sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial.

Bahkan pelayanan kesehatan pun segera akan terdisrupsi. Berbagai pelayanan kesehatan global kini didorong memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan. Pemikiran publik mungkin belum sampai pada metode pelayanan kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan kolaboratif. Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard. Tidak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya.

Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam UI, di Jakarta, mengungkapkan bahwa salah satu kemajuan tersebut ialah inovasi kapsul endoskopi nirkabel pada penanganan penyakit lambung. Dilengkapi dengan indikator pendarahan, kapsul endoskopi otomatis bisa memberi tanda lokasi pendarahan pada saluran pencernaan pasien. Dengan demikian dokter tak perlu lagi melakukan pengamatan gambar secara manual.

Intinya belum banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sekarang tengah digeluti para dokter, para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar lagi akan beralih. Bahkan masih ada beranggapan bahwa disrupsi seakan-akan hanya masalah meng-online-kan layanan, menggunakan aplikasi dan mem-broker-kan hal-hal tertentu.

Supaya kita tidak salah anggapan, Rhenald Kasali, Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia telah menegaskan lima hal penting dalam disrupsi:

Pertama, disrupsi berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disrupsi. Lagipula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk? Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. Keempat, produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita. Kelima, disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.

Itulah lima ciri disrupsi yang belakangan ini marak terjadi di mana-mana. Semoga kita segera menyadari kondisi ini, untuk bersiap diri dalam menghadapi tantangan perubahan yang begitu cepat.

0 komentar: