Kita tahu dan percaya bahwa semua jenis profesi di dunia ini adalah mulia, kecuali penjahat. Kita boleh jadi apa saja asalkan jangan sampai menjadi penjahat. Anak kecil yang selalu ditimang-timang orang tuanya, selalu diharapkan besarnya menjadi orang yang berguna, bukan jadi penjahat.

Penjahat itu ada tingkatannya, mulai dari penjahat kelas teri, kelas coro, sampai kelas kakap. Mungkin masih ada kelas-kelas yang lebih tinggi lagi, karena biasanya berlaku juga prinsip di atas langit ada langit. Konkritnya, ada orang yang berbuat jahat secara sembunyi-sembunyi, biasa disebut maling, ada pula yang terang-terangan merampas hak milik orang lain, biasanya disebut perampok. Dari maling sampai perampok ada serangkaian gradasi yang bervariasi, bisa terselubung juga, seperti yang disebut calo, rentenir, koruptor, penipu, pemalak, penodong, tukang gendam dan sebagainya.

Setiap orang juga memiliki potensi menjadi penjahat. Ada yang bisa menekan kejahatan dalam dirinya sehingga hampir tidak pernah manifes dalam hidupnya, tapi ada juga yang justru hobi melakukan kejahatan. Celakanya, dalam kondisi terbiasa melakukan kejahatan, orang sering tidak sadar bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan jahat. Itu sudah biasa dilakukan secara turun temurun, jadi tidak masalah, toh yang dijahati juga rela menjadi korban dan tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi kalau orang-orang sekitarnya juga melakukan hal serupa. Pasti anggapannya,"Gak masalah kok, banyak yang melakukan itu. Kalau dianggap salah, berarti semua orang itu juga harus dihukum, itu tidak mungkin. Jadi pasti dibolehin." Padahal yang namanya kesalahan itu juga bisa bersifat massal.

Ada banyak macam kejahatan, ada banyak variasi modus operandi. Di berbagai media masa sampai media sosial banyak dibagikan berbagai jenis modus baru kejahatan. Ada kejahatan yang bersifat kejam sampai melukai fisik korbannya, ada juga yang sifatnya lebih ringan dengan hanya menimbulkan sakit hati. Sakit hati juga bervariasi, mulai dari sakit hati yang biasa saja sampai dengan trauma psikis yang sangat berat. Pendeknya, kejahatan itu menimbulkan kerugian bagi korbannya. Reaksi si Korban juga biasanya bervariasi, mulai dari bersabar dan berbesar hati karena merasa didzolimi, ada yang hanya menggerutu di media sosial, ada juga yang sampai menuntut pelaku melalui jalur hukum.

Kita juga pasti sepakat bahwa di setiap profesi yang mulia sekalipun selalu ada saja penjahat yang menyusupinya. Mereka ini biasanya disebut oknum. Setiap orang bisa saja menjadi oknum, tergantung tingkat keimanannya. Kita tahu, kadar keimanan seseorang juga tidak pernah sama persis dari waktu ke waktu. Hari ini beriman, besok belum tentu. "Kejahatan itu timbul bukan hanya karena adanya niat, tapi juga kesempatan." begitu kata Bang Napi di televisi. Lebih sering juga kejahatan ini dilakukan apabila seseorang berada dalam kondisi terdesak. Dia akan menghalalkan segala cara, mencari jalan pintas, demi keluar dari permasalahan yang membelitnya.

Sekarang saya bicara tentang penjahit. Kurang mulia apa profesi ini dibandingkan penjahat? Hanya beda satu huruf vokal saja maknanya sudah jauh berbeda. Seorang penjahit tidak ada bedanya dengan seorang profesional yang memang ahli di bidangnya, sehingga banyak orang yang percaya kepadanya untuk menyerahkan pekerjaan menjahit dan membuat baju dengan berharap hasil sesuai dengan apa yang diinginkan.

Tapi jujur saja, seumur hidup saya tidak pernah bertemu seorang penjahit yang benar-benar profesional. Terlalu banyak oknum diantara para penjahit-penjahit yang saya temui. Betapa tidak, saya belum pernah ketemu penjahit yang bisa memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikannya. Saya tidak pernah mendatangi seorang penjahit kurang dari tiga kali untuk menjahitkan sepotong baju saja. Minimal harus tiga kali, minimal ada dua kali janji yang dia buat, bahkan ada yang parah lagi, saya pernah harus menemui seorang penjahit enam kali untuk membuatkan sebuah kemeja saja.

Saya pernah di Solo, penah di Gorontalo, sekarang di Jayapura, kok sama saja? Saya curiga jangan-jangan mereka ini memiliki semacam konsorsium nasional yang menyepakati penundaan itu. Tapi kayaknya itu mustahil. Apa mungkin mereka ini pernah mengenyam pendidikan ketrampilan yang di dalamnya ada materi khusus etika atau apalah, yang intinya penundaan semacam itu seharusnya dilakukan oleh seorang penjahit?

Di Gorontalo dulu saya memperoleh cerita dari seorang kyai, ketika menyampaikan kotbah Jum'at beliau memberi ilustrasi tentang janji. Begini ceritanya:
Suatu saat pak Haji datang ke seorang penjahit untuk minta tolong membuatkan baju. Pada awalnya penjahit tersebut berjanji menyelesaikannya dalam waktu lima hari."

Insya Allah nanti lima hari, ya, Pak Haji? Ini sekarang hari Kamis." Lalu menghitung dengan jarinya, "Berarti Jum'at, Sabtu, Minggu, Senin, Selasa.... Selasa Pak Haji bisa datang ke sini deh!"

Hari Selasa yang dijanjikan tiba, pak Haji mendatangi penjahit itu....

"Waduh, mohon maaf, Pak Haji! Saya sibuk sekali, ada banyak pesanan dari anak-anak sekolah yang kemarin juga belum selesai. Insya Allah tiga hari lagi ya, Pak Haji?"

Tiga hari kemudian Pak Haji datang lagi....

"Aduh, sekali lagi saya mohon maaf. Kemarin saya sibuk ngurusi anak saya masuk sekolah baru. Besok Insya Allah selesai. Datang lagi saja besok, Pak Haji!"

Besoknya Pak Haji datang lagi ... sudah hampir kehabisan kesabaran.

"Ini tinggal dipasang kancingnya, Pak Haji. Beri saya waktu lagi. Nanti sore selesai kok. Insya Allah!"

Karena jengkel, Pak Haji akhirnya berujar, "Hmm... dari kemarin bilangnya Insya Allah, Insya Allah, tapi molor terus! Tidak pernah ditepati janjinya. Saya pingin tahu, sebenarnya kalau tidak pakai Insya Allah gitu berapa lama jahitan saya ini bisa diselesaikan?"
Saya yakin Anda juga pernah memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan peristiwa yang dialami Pak Haji tersebut. Malahan, teman saya kemarin bercerita kalau dia juga pernah mendapatkan pengalaman yang tidak kalah menarik. Kain yang akan dijahitkan sampai sebulan belum diapa-apakan! Padahal dia sudah ngasih spare waktu sampai sebulan karena tidak mau bolak-balik seperti contoh cerita Pak Haji tadi. Harapannya supaya ketika datang, sudah jadi tuh pakaian. Alih-alih mendapat permintaan maaf dari sang Penjahit, ini malah membandingkan dengan penjahit yang diseberang sana, itu bisa sampai setahun kainnya baru dikerjakan. Waduh, kok patokan standarnya malah yang lebih parah gitu? Ada apa dengan para penjahit ini sebenarnya?

Kalaupun tidak dirugikan secara materi, setidaknya pelanggan akan dirugikan dari segi waktu. Terlalu banyak "oknum penjahit" daripada penjahit yang benar-benar profesional. Terlalu banyak penjahatnya. Lalu apa bedanya penjahit dengan penjahat?

0 komentar: