"Kesetiaan hanyalah limbah yang mengalir dari peradaban yang jauh...." Saya pernah menuliskan kata-kata ini. Tapi di mana ya? Saya lupa. Kalau nggak salah dulu saya pernah punya catatan yang hilang. Judul catatan itu adalah "Cinta dalam Skema Rumit" (Elegi Cinta buat TJ).

Ah, sayang mengapa harus hilang. Mungkin masih era floppy disk dan saya juga belum memiliki flashdrive, hard disk, bahkan komputer, apalagi laptop. Saya juga belum mengenal shared-drive yang dikenal dalam cloud computing sekarang ini. Jadi sayapun merelakan catatan itu hilang begitu saja.

Saya pernah mencetaknya, membuatnya dalam format buku kecil, mirip novel. Waktu itu tahun 2001. Tapi entah di mana saya juga sudah tidak tahu lagi juntrungannya. Semuanya tidak berbekas. Hanya beberapa kata dan frase yang sempat kuingat. (Buat TJ, kalau masih punya catatanku, pinjam donk!)

Dalam kata-kata itu saya sepertinya sudah mulai merasakan bahwa kesetiaan kedepan menjadi sesuatu yang langka. Akan ada jamannya dimana kesetiaan itu musnah, seperti dinosaurus yang punah ditelan jaman. Mungkin saja jaman itu adalah jaman sekarang ini!

Sepertinya sekarang sudah bukan lagi jamannya untuk setia. Kesetiaan pada idealisme politik saja tidak kelihatan, tidak ada bedanya dengan setia pada pasangan. Pindah-pindah partai sudah biasa, seperti ganti baju saja. Tentunya banyak juga yang memiliki “cadangan” di mana-mana.

Melampiaskan seks sudah seperti makan kacang goreng saja. Begitu mudah dilakukan dan banyak sekali alasan serta pembenarannya. Agama dan Tuhan pun bisa diabaikan, kepentingan rakyat banyak dan kebenaran bisa dijual untuk mengatasnamakan kepentingan pribadi dan keuntungan kelompok tertentu.

Malahan, hak asasi dan privasi yang seharusnya dijunjung tinggi justru dibantai dengan tindakan yang menerjang batas-batas norma, etika, dan hukum. Lihat saja, banyak sekali masalah seks dan politik yang seolah kian mencari sensasi dan cenderung sensasional.

Waktu terus berputar, jaman boleh terus berganti. Tetapi perilaku manusia sekarang sepertinya malah mengalami kemunduran, semakin primitif dan terbelakang. Teknologi yang semakin canggih seolah tidak berpengaruh untuk membuat manusia berpikir lebih modern dan maju ke depan. Yang dipikirkan hanya urusan kekinian. “Sekarang” dan "saat ini", tidak ada keinginan atau tidak mau berpikir selangkah dua langkah maju atau lebih jauh ke depan. Tingkat pendidikan semakin tinggi juga tak menjamin seseorang bisa menunjukkan sikap orang terdidik. Kalau sudah urusan jabatan dan harta, semakin menunjukkan betapa “primordial” manusia-manusia saat ini.

Mungkin ada benarnya kalau beberapa orang berpendapat bahwa Indonesia ini belum siap untuk merdeka. Perilaku orang Indonesia memang masih menunjukkan sikap masyarakat terjajah dan senang dijajah. Ada yang menjajah, ada yang dijajah. Dibodohi serta membodohi. Yang berbeda hanya pelakunya. Jika dulu kita dijajah oleh bangsa asing, sekarang dijajah oleh bangsa sendiri, bahkan diri sendiri.

Kadang saya sendiri muak melihat perilaku orang-orang ini. Yang pantas disebut elit ternyata sama sekali tidak elit. Aji mumpung. Terlalu bodoh atau justru terlalu arogan sehingga tidak tahu bagaimana menempatkan diri. Jangankan untuk melakukan kewajibannya, untuk mengetahui apa dan siapa dirinya sendiri saja tidak bisa. Bisa dibayangkan kalau urusannya sudah masalah bangsa dan negara ini. Saya tidak percaya kalau mereka benar mengerti apa duduk persoalannya. Kerjanya hanya tuding menuding, tunjuk jari dan membuat sensasi, berlagak seperti pahlawan tetapi tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Huuh... tidak usah saya contohkan. Beberapa kejadian di pemberitaan akhir-akhir ini sudah cukup membosankan buat didengar.

Gagal mendapat posisi di partai yang satu, loncat ke partai yang lain. Peduli apa dengan idealisme? Padahal mengakunya idealis. Berbagai alasan dan pembenaranpun dilakukan. Lagi-lagi pembohongan kepada publik. Mana mungkin berani mengakui apa yang sebenarnya ingin diraih. "Ya, saya ingin jabatan dan ingin punya banyak uang!" Semua juga bilangnya tak menginginkan semua itu. Semua "hanya" ingin berbakti dan mengabdi kepada nusa dan bangsa. Niatnya memang benar sedemikian mulia. Lalu bagaimana dengan jalan yang ditempuh? Mengabdi atau merampok?

Lebih mengerikan lagi justru ketika semua ini dianggap biasa, lumrah, wajar, sudah rahasia umum! Siapapun bisa melakukannya dengan nyaman-nyaman saja tanpa memiliki rasa bersalah. Tinggal tunjuk jari, si itu juga begini, si ini juga begitu, selesailah sudah. Idealisme hanyalah omong kosong. Kesetiaan adalah bualan saja. Perilaku seks dan politik sama-sama sudah seperti perilaku binatang. Tidak manusiawi. Sama-sama dijadikan objek untuk memuaskan hasrat dan nafsu semata. Padahal kita tahu, seks dan politik merupakan anugerah dan kemampuan yang berperan besar dalam kehidupan ini. Maka kalau sudah dijadikan sekedar “objek”, akan semakin hancurlah semua kehidupan ini.

Kesetiaan benar-benar menjadi langka saat ini. Sebagai salah satu bentuk dari rasa hormat yang bisa membuat seseorang betul terhormat, sekarang sudah punah. Ketika seseorang bisa melakukan seperti itu, maka yang lainpun ikut-ikutan. Bukan hanya yang kaya, yang berpendidikan, yang terpandang, yang miskin, yang bodoh dan rakyat jelata akan sama-sama mengikuti trend ini. Semakin banyak yang tak setia, maka semakin banyak juga yang tidak terhormat. Lalu bagaimana menjadi sebuah bangsa dan negara yang terhormat? Bagaimana mau dihormati?

Trus, mau sampai kapan? Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Masih bisakah membayangkan sebuah happy ending untuk bangsa tercinta ini?

0 komentar: