Beberapa waktu lalu saya menerima surel dari seorang teman. Dia minta saya menanggapi artikelnya sebelum diterbitkan, yaitu tentang Atheisme yang dianggapnya sebagai pemikiran tidak rasional.

Sebelumnya saya mohon maaf kalau saya berpendapat: apa tidak kesiangan nih, bicara tentang Atheisme? Di tengah kehidupan masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, kita sudah sama-sama tahu semua orang menganut agama dan berusaha menghormati kebebasan menjalankan Agama masing-masing. Kita saling bertoleransi antar agama, walaupun kadang terjadi adu argumen tentang kebenaran agamanya masing-masing. Tapi saya tidak pernah berjumpa orang yang jelas-jelas tidak percaya adanya Tuhan. Jadi, buat apa bicara tentang Atheisme?

Tapi membaca tulisan itu saya jadi ragu dengan pendapat saya tadi. Jangan-jangan memang ada atheisme laten? Jangan-jangan ada orang yang diam-diam tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, tapi mereka takut eksis lantaran mereka bisa dianggap berbahaya dan takut diperlakukan sebagaimana para penganut komunisme dulu? Lalu mereka hanya menganggap agama hanya sebagai trend yang harus diikuti.

Kalau di luar negeri, apalagi Amerika, saya tidak heran. Di negara yang benar-benar bebas seperti itu apapun bisa terjadi. Diantara mereka memang menganut Freedom to be Free. Kalau di Indonesia, misalnya ada, bisa jadi orang ini memang orang bodoh, atau justru orang yang sangat pintar.

Memang manusia dengan segala keterbatasan –termasuk cara berpikirnya– kadang menjadi lupa bahwa dia ini manusia biasa. Menuntut ilmu terlalu tinggi diatas kemampuannya menerima ilmu, bisa jadi malah memperosokkannya ke dalam jurang kesesatan. Kita tahu, setan selalu membawa manusia ke dalam kesesatan. Siapapun orangnya, seberapapun tebal imannya, setan tidak akan pernah menyerah. Bahkan seorang ulama yang pernah besar namanya di kalangan para umatnya, mendadak menjadi murtad hanya karena ilmunya ketinggian.

Kita jangan lupa bahwa Ilmu Allah itu sangat luas, meliputi langit dan bumi, sebagaimana ayat ini:
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (LUQMAN ayat 27)
Dan juga ayat kursi ini:
… dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 255)
Kalau kita bicara kepada orang yang sama-sama sepaham, tentu tidak akan terjadi misunderstanding tentang apa yang disampaikan di tulisan itu. Tapi bagaimana kalau orang Atheis membacanya? Pasti sama, mereka akan bilang kalau kita ini bodoh, mau saja percaya pada hal-hal yang menurut mereka itu konyol. Ya ‘kan?

Katakanlah saya seorang ilmuwan yang sedang menyelidiki tentang Terjadinya Alam Semesta dan Kehidupan. Saya begitu kagum melihat matahari dan berjuta bintang di langit, baik melalui mata telanjang maupun lewat teropong canggih yang bisa menganalisa spektrum gelombangnya berkat sistem komputerisasi yang notabene itu diciptakan oleh manusia juga.

Saya begitu kagum bahwa ternyata dibalik bintang yang tampak berserakan di langit, ternyata memiliki keteraturan. Paling tidak mereka beredar menurut sistem peredaran tertentu, jangka waktunya tertentu, dan hampir pasti bentuk edaran (orbit) maupun jangka waktu yang dimaksud tidak pernah berubah atau cenderung konsisten.

Lalu saya penasaran bagaimana sistem seperti itu terbentuk, lalu saya berkhayal tentang itu dan saya gabungkan dengan referensi yang saya dapatkan. Beberapa ilmuwan yang berbicara tentang hal yang sama membuat saya tertarik dan saya semakin “mengerti” banyak hal yang tidak banyak dipahami orang lain. Disini rawan sekali seseorang menjadi sombong, karena kemampuannya memahami sesuatu lebih banyak dari orang lain.

Sebagai seorang yang beriman “mengerti” disini artinya memahami menurut persepsi saya sendiri dan tetap terbuka terhadap kebenaran sadar bahwa kebenaran yang sesungguhnya hanya milik Allah. Tapi sebagai orang yang sombong, dia cenderung menyepelekan segala sesuatunya. Apalagi jika ilmu tentang keberadaan Sang Maha Pencipta sedikit atau bahkan tidak pernah sampai kepadanya.

Kalau orang sudah sombong, dia hanya akan percaya kepada dirinya sendiri. Dia tidak akan percaya adanya Tuhan di balik semua sistem itu. Sebaliknya kita, pasti yakin dan percaya bahwa sistem yang sangat teratur dan indah itu tentunya tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Pasti ada Sang Kreator Besar yang membuat hasil karya sedahsyat itu.

Allah sudah memperingatkan kita:
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (AL ISRAA' (Memperjalankan di malam hari ) ayat 37)
Kembali lagi kepada saya, seorang ilmuwan yang sedang memahami alam semesta. Tentu saja saya boleh-boleh saja menggunakan teori dari para ilmuwan seperti teori kabut, bahwa kabut asap raksasa yang sebagian bergumpal dan memadat membentuk bintang, matahari dan semua planetnya. Kharakteristik tiap-tiap planet berbeda-beda, tapi hanya ada satu planet yang memiliki kandungan unsur kimia paling kompleks, yaitu bumi. Kharakteristik bumi memungkinkan terbentuknya kehidupan. Tapi sebelumnya didahului serangkaian reaksi antar beberapa unsur kimia tertentu, sehingga memungkinkan terbentuknya senyawa-senyawa. Diantara senyawa-senyawa yang terbentuk memungkinkan lagi sebagian menjadi bersifat organik, lalu “hidup” menjadi makhluk sederhana yang berukuran mikroskopik. Tentu saja ini terjadi dalam waktu yang sangat lama, berjuta bahkan trilyunan tahun. Dari sini, Ilmuwan yang bernama Darwin lalu mengembangkan teori evolusinya.

Sebenarnya teori-teori mereka ini sebagian cukup masuk akal. Tapi kita harus hati-hati memahaminya. Salah-salah kita bisa keblinger juga. Faktanya kita sebagai manusia tidak ada yang tahu kejadian yang sesungguhnya. Kita hanya tahu dari Al Qur’an, itupun dengan kata-kata yang bisa menimbulkan banyak penafsiran. Kita cukup menghormati berbagai penafsiran itu, yang penting kita sepakat hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Kalaupun teori kabut itu benar, tentu Allah-lah yang membuat hal itu jadi demikian. Allah yang menciptakan unsur-unsur kimia dengan kharakteristiknya masing-masing, sehingga memungkinkan mereka saling berinteraksi membentuk senyawa-senyawa organik. Begitu rapinya Allah ciptakan bentuk dan sistemnya, sehingga interaksi antar senyawa itu seolah-olah terjadi dengan sendirinya, karena sebelumnya Allah telah ciptakan sifat-sifat khususnya.

Akhirnya saya menjadi seorang ilmuwan yang tetap beriman kepada Allah, karena saya tetap menjaga kedekatan saya denganNya. Lain halnya jika saya terlalu sibuk dengan urusan penelitian sampai saya melupakan Allah, maka hilanglah kepercayaan saya kepadaNya. Yang terjadi, saya tidak lagi mempercayai eksistensiNya sebagai Sang Maha Pencipta. Yang saya tahu saya diciptakan dari sel telur ibu saya yang menjadi sempurna karena “bersenyawa” dengan sel sperma ayah saya. Lalu kedua sel itu mengembangkan diri dalam tubuh ibu saya dan terus berkembang melalui beberapa tahap perkembangan sel, jaringan dan organ, akhirnya lahirlah saya. Begitu pula para leluhur/pendahulu saya tercipta dengan cara seperti itu sudah sejak dulu kala. Bahkan saya tidak melihat di mana peran Tuhan dalam hal ini.

Padahal kita tahu lewat ayat ini:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (AL HAJJ (HAJI) ayat 5)
Saya sering melihat keistimewaan manusia dibanding makhluk lainnya berupa anugrah akal dan pikiran serta perasaan, membuat manusia cenderung sombong dan mendewakan diri. Kalau kita percaya ada makhluk bernama Malaikat dan Jin, tentu logika kita berkata bahwa merekalah yang lebih tahu dari kita, bagaimana alam semesta seisinya ini diciptakan. Mereka lebih dahulu diciptakan dan sampai sekarang masih hidup. Merekalah saksi hidup penciptaan alam ini. Masalahnya kita tidak bisa berkomunikasi dengan Malaikat. Kalaupun ada yang bisa berinteraksi dengan Jin, kita tidak pernah tahu apakah Jin itu berkata benar. Sebagian dari mereka begitu pintar, sehingga kita dengan mudah terperosok dalam kesesatan. Seperti kata ayat ini:

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (SURAT AL AN'AAM (Binatang ternak) ayat 112)
Misalnya saya bisa mengembangbiakkan bakteri dari secawan agar-agar yang sudah diberi komposisi zat-zat tertentu, dengan suhu dan kelembaban tertentu, tekanan udara di ruang tertentu. Dengan kedekatan saya kepada Tuhan, saya masih bisa memahami bahwa bakteri itu bukan ciptaan saya. Saya hanya menciptakan kondisi agar bakteri itu bisa tumbuh dan berkoloni banyak sehingga menjadi mudah dilihat. Bayangin saja kalau saya tidak dekat dengan Tuhan, saya tidak bisa melihat dimana peran Tuhan dalam hal ini. Hanya ada saya dan ilmu yang saya pahami, sehingga hasil karya saya berupa koloni bakteri tadi adalah ciptaan saya.


Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi memang telah membuktikan bahwa manusia memang hebat. Bukan hanya robot, tetapi makhluk hasil kloning telah berhasil “diciptakannya”. Kita juga tidak menutup mata adanya rekayasa genetika yang menghasilkan spesies-spesies baru "ciptaan" manusia. Mungkin tidak sadar kita telah menikmati beberapa jenis bahan pangan dari tumbuhan yang telah direkayasa secara genetik menjadi spesies baru.

Mungkin juga sebagian dari kita pernah mendengar adanya makhluk bernyawa hasil kloning pertama berupa biri-biri? Tentu saja kloning manusia sudah bisa dilakukan sekarang, tapi mendapat reaksi keras karena merupakan kegiatan yang sangat kontroversial. Tapi siapa yang tahu kalau sekarang ini ada kegiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Tahu-tahu di masa yang akan datang bermunculan manusia-manusia hasil kloning dalam jumlah yang massal. Mungkin saja mereka ini yang disebut sebagai dajjal, makhluk yang muncul menjelang hari kiamat!

Jika kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini tidak diimbangi dengan usaha-usaha mendekatkan diri dari Sang Maha Kuasa, saya yakin di masa yang akan datang agama dan semua bentuk kepercayaan kepada Tuhan akan punah. Awalnya jumlah kita yang masih percaya hanya tinggal sedikit. Mereka akan menganggap kita orang aneh. Mereka akan mewawancarai kita di sebuah stasiun televisi sebagai manusia langka, manusia yang masih bertahan untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Lalu mereka menertawai kita. Akhirnya sesuatu berbisik di telinga kita ”Selamat Datang di Hari Kiamat!”

0 komentar: