Hidup ini sulit. Jangan membuatnya semakin sulit. Kalimat yang pernah dikatakan oleh seorang sahabat ini sekarang kian terngiang-ngiang di telinga. Waktu itu saya sempat menyangkal, "Apanya yang sulit? Hidup kan tinggal hidup saja. Kalau nggak suka hidup ya mati sana." Say live and let die! Seperti judul lagu, ya? Maksudnya, hidup itu ya sebaiknya optimis, jangan mudah putus asa lah.

Sekarang baru memahami, lagi-lagi saya terlambat memahami sesuatu. Hidup ternyata memang sulit dan saya telah membuatnya semakin sulit. Bukan karena sekarang saya jadi pesimis, tapi memang ternyata ada sudut pandang lain yang terlepas dari optimisme ataupun pesimisme.

Melihat di sekeliling, ternyata saya bukan satu-satunya orang. Hampir semua orang telah mempersulit hidupnya sendiri-sendiri. Bahkan telah menjadi sistemik dan mengakar dimana-mana, hingga budaya dan rutinitas hidup bersama ini telah membuat dunia ini menjadi kian sulit untuk hidup.

Kasus 1
Suatu ketika saya mengendarai mobil bersama keluarga, berkeliling kota dan sekedar menikmati jalan-jalan menggunakan mobil yang baru saya beli belum lama ini. Terlihat pemandangan yang sebenarnya sudah tidak asing lagi: di tepi jalan tampak berderet-deret mobil mengantri bahan bakar premium di sebuah SPBU. Walau ini bukan SPBU satu-satunya di kota ini, namun hampir semua SPBU terdapat pemandangan serupa. Bahkan di sebuah SPBU lain dengan jelas mereka memasang papan bertuliskan, "HABIS".

Terlintas sebuah gambaran betapa saat ini jumlah mobil sudah jauh lebih banyak daripada dulu. Permintaan jumlah bensin jauh lebih banyak dari ketersediaannya. Ini bukan salah SPBU saja, bukan juga semata-mata salahnya Pertamina. Jika kita mau sedikit melek, ketersediaan minyak bumi kita juga semakin menipis. Coba cari informasi di Internet, tahun lalu saja saya mendapat informasi bahwa cadangan minyak bumi sekarang ini hanya akan cukup untuk 21 tahun ke depan. Itu tahun lalu, dengan asumsi bahwa penggunaan masih tetap seperti sekarang ini. Kalau benar angka itu, artinya cucu saya kelak sudah tidak kenal lagi apa itu minyak bumi.

Dengan membeli mobil baru berarti saya telah ikut serta dalam mempercepat habisnya cadangan minyak bumi di negeri ini. Ada dosa yang turut saya rasakan di tengah kenikmatan yang saya miliki sekarang. Jadi terbayang bahwa dalam waktu kurang dari 20 tahun kedepan, saya sudah harus memasang alat untuk mengkonversi suatu bahan energi menjadi bahan bakar untuk mobil saya itu. Suatu alat yang pastinya sangat mahal di awal kemunculannya, hampir sama dengan harga sebuah mobil baru. Tapi kalau saya tidak memasang alat itu, maka saya harus merelakan mobil saya menjadi barang rongsokan yang tidak laku dijual. Setidaknya akan melalui tahapan sebagaimana yang pernah dialami oleh sepeda motor bermesin dua tak: tidak diperbolehkan untuk dikendarai di jalan-jalan protokol di kota-kota besar karena menimbulkan polusi udara, sebelum akhirnya tidak diproduksi lagi.

Kasus 2
Menyangkut pekerjaan saya sehari-hari, saya banyak menerima keluhan dari pasien yang menyatakan obat-obatan habis. Obat-obat itu tidak banyak tersedia di apotek Rumah Sakit. Kebanyakan obat yang dimaksud adalah obat kemoterapi untuk kanker. Setelah diusut ke apotek, ternyata bukan apoteknya yang tidak mau sedia obat kanker. Obat sudah dipesan, namun yang datang dari distributor selalu tidak sesuai pesanan. Jumlah yang datang jauh lebih sedikit. Sehingga buffer stock di apotek tidak memadai untuk semua pasien yang memerlukan.

Sementara jumlah kebutuhan obat kemoterapi kian banyak. Artinya, jumlah penderita kanker semakin bertambah. Belum lagi, fenomena gunung es menimbulkan anggapan bahwa penderita yang sebenarnya jauh melebihi jumlah yang ada sekarang. Mengapa begitu banyak orang kena kanker? Dari mana asalnya? Dari mana lagi kalau bukan dari makanan? Mulut adalah pintu masuk penyumbang peran yang paling penting untuk segala jenis penyakit. Segala sesuatu yang masuk ke tubuh paling banyak lewat mulut.

Tak bisa disangkal lagi, makanan sehari-hari kita adalah penyumbang penyakit-penyakit itu. Makanan yang mana? Jaman sekarang tidak bisa lagi kita memilih-milih. Dulu kita masih bisa memilih makanan yang bersih dan sehat. Sekarang itu saja tidak cukup. Kandungan bahan aditif tidak terhindarkan lagi. Kalaupun tidak menimbulkan dampak secara langsung, secara tidak langsungpun kita telah "menabung" zat-zat aditif dalam tubuh kita. Untuk mendapati penyakit dalam tubuh kita hanya tinggal menunggu.

Makanan yang masih alami, buah dan sayuran segar sekalipun tidak lepas dari kandungan pestisida yang mempertahankan dia dari serangan hama selama ditumbuhkan di kebun. Tanaman organik? Yakinkah kita bahwa tanah tempat tumbuh tanaman ini bebas dari pencemaran zat-zat kimia?

Apalagi di era industri sekarang ini penggunaan plastik begitu besar, mulai dari atap rumah sampai tempat makanan. Bisa jadi justru perangkat dapur dan alat makan yang terbuat dari plastik inilah yang mencemari makanan kita. Pernahkah kita menyadari, bahwa penggunaan kantong plastik untuk membungkus makanan itu bisa menyebabkan pencemaran terhadap makanan kita? Membeli bakso atau mie ayam untuk dibawa pulang dengan dibungkus dalam kantong plastik bisa jadi sangat berbahaya. Larutnya zat-zat tertentu dari kantong plastik ke dalam cairan panas dan berlemak semacam itu sangat mungkin terjadi. Zat-zat inilah yang secara pelan tapi pasti akan mencapai konsentrasi tertentu hingga menjadi karsinogen dalam tubuh kita.

Bagaimana mungkin kita membatasi penggunaan kantong plastik dalam kebutuhan kita sehari-hari? Untuk saat ini pasti sulit. Beberapa pusat perbelanjaan telah mengganti kantong mereka dengan kertas. Beberapa yang lain menggunakan bahan yang bisa hancur dalam tanah. Tapi tidak serta merta diikuti oleh yang lainnya. Bahkan pusat perbelanjaan terkemuka saat ini juga masih menggunakan kantong plastik untuk membungkus belanjaan. Kita tidak pernah berpikir bahwa semua kantong plastik ini akan segera kita buang, bahkan sebagian besar untuk membungkus sampah-sampah, yang akibatnya semua kantong plastik ini akan mencemari tanah.

Tidak ada pilihan, kita harus mengubah gaya hidup! Tapi bagaimana mungkin kita akan mengubah gaya hidup kita sendirian? Memang susah. Bagaimanapun kita tetap harus memulai dari diri sendiri, sekarang juga. Green lifestyle, istilah yang sudah pasti sering kita dengar. Apakah kita hanya mengajarkan definisinya kepada anak-anak kita tanpa mengajari mereka mengamalkannya? Bukankah ilmu tanpa amal hanyalah sia-sia?

Tuhan itu Maha Adil. Bagaimanapun juga alam telah diciptakan dengan sistem keseimbangannya. Keseimbangan merupakan salah satu prinsip keadilan. Semakin banyak orang tidak peduli kepada alam, maka alam juga tidak akan compromize dengan hidup kita. Seleksi alam itu tetap ada.

0 komentar: